130

1216 Kata
Aku terdiam, memperhatikan sekeliling. Lagi, kuperhatikan google maps yang menyala. Haduh, bagaimana ini? Kenapa aku jadi terbego gini? Sudah ikutin petunjuk sesuai google maps, tapi tak ketemu jua tempatnya. Ini pertama kalinya aku pergi keluar kota seorang diri. Tak ada satupun kenalan di kota ini. Yah, sebenarnya ini modal nekat juga sih. Untuk anak yang masih manja sepertiku, pergi ke kota orang pastilah hal yang sulit. Syukurlah masih bisa bertahan hidup di sini, kukira aku akan mati tanpa nama. Bukan, bukan berarti kota ini kota yang tidak aman. Sangat aman. Tapi segala kekhawatiran membuatnya tampak tak aman. Ingin aku bertanya, namun malu. Hanya ada bapak-bapak sedang berkumpul di warung kopi. Duh, kenapa diriku ini pemalu sekali sih? Aku terus berjalan sambil menggerutu. Kembali pikiran negatif itu membayangi. Apakah aku akan terus terjebak dalam kota ini? Mati terbunuh tanpa ada yang mengenali? Atau jadi gelandangan di sini? Segala macam pikiran yang tampak aneh dan nyaris tak masuk akal terus berbayang. Haduh, bagaimana ini? "Kenapa kak?"Tanya seseorang di sebelah. Aku menoleh. Tampaklah sosok pria badan besar. Tatto menyeramkan menghiasi lengannya yag berotot. Rambut gondrong yang agak berantakan, dengan hiasan codet di pipinya. Aku menunduk, tak menjawab pertanyaannya. Haduh, apes! Udah kesasar, kena palak preman pula! "Kesasar ya kak?"Tanyanya lagi. Aku mengangguk, tak berani menatap wajahnya. "Kakak mau kemana?"Tanyanya lagi. "Nganu ... Ke Kantor PT. Cerevil,"jawabku berbisik. "Hah? Kemana kak?"Tanyanya sambil mendekatkan telinganya ke arahku. Aku menunduk semakin dalam. "PT. Cerevil.."Jawabku masih berbisik. "Oh, tempat itu. Kakak nyasarnya kejauhan ini, itu tempatnya di kota, ini kakak mah di ujung kota kak. Kalo mau ke sana, kakak naik angkot aja, itu ada di sana. Sebelumnya nanya dulu sama abang angkotnya, tujuannya kemana. Kalo dia bilang ke pusat kota, kakak naik. Nanti dari sana berhentinya di jalan masuk kota, yah itu tempatnya sih gak bisa bilang di kota ya, cuma emang deket deketan sama kota. Terus nanti kakak lanjut lagi naik becak, atau naik angkot lagi juga bisa. Bisa juga naik bus gitu, lebih murah, sekali jalan, tapi udah mulai jarang lewat sih. Kalau mau sekali jalan, langsung sampai tujuan, ya naik becak kak. Tapi agak mahalan." Ia menjelaskan panjang lebar. Aku melongo. Ia ngomong terlalu cepat, membutuhkan waktu lebih untuk mencernanya. Pria itu terdiam melihat diriku yang terbego mencerna penjelasannya. "Sepertinya kakak masih bingung ya?"Tanyanya. Aku mengangguk. "Ya sudah, saya antar saja mau? Saya juga ada keperluan dekat situ,"tawarnya. Aku mengeleng. "Saya cariin angkot saja ya kak? Daripada kakak kesasar gini,"tawarnya lagi. "Hem, boleh,"jawabku. "Tapi kita harus ke depan jalan sana kak, kalo di sini gaada angkot masuk,"jelasnya. Aku mengangguk dan berjalan ke sana, tapi ia menghentikannya. "Ngapain jalan kak? Sini saya antar aja sampai depan. Hemat tenaga sikit." Ya, benar juga katanya. Akhirnya aku memilih diantar olehnya sampai depan. Aku duduk di paling pojok motornya, berusaha tidak dempet. Biar kalau ada apa-apa, bisa langsung loncat. Kukira, badannya akan bau, seperti anak jalanan yang pernah kutemui. Dugaanku salah. Gayanya memang ugal-ugalan, tapi badannya sangat wangi. Kami tiba di depan jalan utama. Ia memarkirkan motor di depan sebuah warung kecil. Beberapa kendaraan pribadi terus lewat di depan kami. Yah, beginilah resiko kalau pergi ke kota kecil. Tak ada ojek online. Sudah 15 menit kami menunggu, tapi tak kunjung datang jua. Pria itu menawariku untuk membelikan minum sembari menunggu, tapi aku menolaknya. Takut nanti kalau dimasukkan sesuatu ke dalam minuman itu. "Kalo udah jam segini, emang agak lama kak. Biasanya angkot itu ramainya jam pulang sekolah anak-anak atau pagi waktu ibu-ibu belanja. Yah, semoga saja masih ada angkot,"jelasnya. Aku mengigit kuku. Duh, bagaimana ini? Lantunan adzan memenuhi sekitar. Ah, sudah masuk waktu dzuhur ternyata. "Saya permisi kak, saya mau ke mesjid." Ia bangkit dari duduknya. Hah? Apa dia bilang? Ke mesjid? "Ngapain mas?"Tanyaku heran. Masa dia mau malak di mesjid? "Shalat kak. Udah masuk dzuhur. Saya pamit ya kak". Aku terpaku. Dia shalat? Aku tersadar saat mendengar suara starter motor. "Mas mas, saya ikut ya ke mesjid. Saya juga mau shalat dzuhur". ??? Menurutku, mesjid ini sedikit unik. Tak ada pintu sama sekali, hanya berdiri kokoh tiang-tiang penyangga. Mesjid lumayan ramai. Kami memarkirkan motor. Ia membuka jok bagasi dan mengambil baju koko berwarna putih gading yang terlipat rapi. "Saya wudhu dulu ya kak. Itu di sana, tempat wudhu wanitanya". Ia menunjukkan tempat wudhu di belakangku. Ia berlalu sambil memakai baju kokonya. Beberapa bapak-bapak menyapanya. Tak kusangka, ia cukup ramah. Shalat dilaksanakan. Aku shalat dengan khusyuk. Sudah lama sekali rasanya, aku tidak shalat dengan khusyuk. Selesai shalat, kembali kudatangi pria itu. Ia sudah duduk di bawah pohon, berbincang dengan seorang kakek tua yang menjajakan dagangannya. Kakek itu tampak ketakutan. Apa ini? Apa dia mau memalak kakek itu? Aku mendatanginya, hendak memarahi. Tapi amarahku hilang saat mengetahui yang sebenarnya. "Maaf nak, kakek gaada uang kembalian,"ujar kakek itu. Si kakek mengembalikan uang lima puluh ribu rupiah. "Gaapa kek, kembaliannya buat kakek saja". Senyum lebar terlukis dalam wajah keriputnya. "Alhamdulillah, terima kasih banyak nak. Semoga kebaikanmu di balas Allah". Kakek itu mendoakan. Pria itu tersenyum. "Amiin Kek". Aku terpaku melihatnya. Entah bagaimana aku jadi malu pada diri sendiri. "Syukurlah anak itu sudah banyak berubah. Saya tahu, sejak awal, dia memang anak yang baik,"ujar seseorang di belakang. Aku menoleh. Berdiri sosok bapak berjenggot tipis dengan baju koko putih dan peci yang menghiasi kepalanya. "Saya sempat mengira dia preman yang mau malak saya. Tapi dia malah membantu saya dan mengajak saya shalat ke mesjid." Bapak itu manggut-manggut. "Alhamdulillah, saya senang melihatnya yang sekarang. Bukan salahmu kalau kamu mengiranya begitu. Dulu ia memang preman, paling berandal di kampung. Meski preman, ia tetap patuh pada ibunya. Dari dulu itu yang saya kagumi darinya. Sejak ibunya tiada, ia bertaubat. Ia meminta tolong pada saya untuk membantunya berubah. Saya senang, yang saya ajarkan padanya, ia amalkan". Bapak itu menceritakan panjang lebar. Lagi, aku malu pada diri sendiri. "Assalamualaikum pak Ustad,"salam pria itu. Ia salim tangan bapak di belakangku. Ia melirikku. "Kakak mau tunggu angkot di sini apa balik ke warung tadi kak?"Tanyanya. "Loh? Kamu bukan dari sini nak?"Tanya si bapak. Aku menggeleng. "Enggak pak. Saya dari luar pulau, ada perlu di PT. Cerevil. Tapi saya malah kesasar. Mas ini udah bantu saya tunjukin arahnya, sekarang saya lagi nunggu angkot buat ke sana."Jelasku. Bapak itu mangut-mangut. "Angkot sih lama nunggunya memang nak. Dua kali jalan juga. Takutnya nanti kamu kesasar lagi. Nak Robi, sebaiknya kamu antar saja dia". Bapak itu menepuk pundak si pria. "Kakak mau saya antar?"Tanyanya lagi. Aku mengangguk. Boleh deh, daripada kesasar lagi. ??? Diam, tak ada yang membuka percakapan. Hanya deru suara motor yang terdengar. Kurang lebih 15 menit, aku sudah tiba di tujuan. Ia memberhentikanku tepat di depan pagar. Aku turun dan memberikan helm padanya. "Makasih Mas.. Nganu .. Saya minta maaf". Pria itu mengernyitkan alis. "Maaf kenapa?"Tanyanya lagi. "Maaf, saya sempat ngira Mas itu preman mau malak saya tadi." Aku menunduk. "Ternyata Mas orang baik. Maaf saya suudzhon tadi". "Oh itu. Gak apa kok kak, memang banyak yang salah kira. Tapi kakak salah, saya bukan orang baik." Aku terperengah. "Tapi, Mas memang orang baik". Ia mengeleng. "Enggak kak. Makasih udah bilang saya baik, tapi saya manusia yang tak luput dari dosa. Saya masih orang jahat. Saya tak ingin bilang diri saya baik. Nanti saya jadi tinggi hati, lupa untuk merendah". Ia menstarter kembali motornya. "Saya pamit kak." Ia pun melaju, pergi meninggalkanku yang terdiam memikirkan kata-katanya. ???
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN