bab 129

1044 Kata
“Eh? Kok gitu? Jangan gitu dong Van …” Mohon Valdi. Novan mendengus dan pergi meninggalkan Valdi. Andi mengikuti Novan dari belakang. “Beneran kamu mau keluar dari kepanitiaan?” Tanya Andi. Novan tidak menjawab. Ia mempercepat langkahnya. “Van …” Panggil Andi lirih. Novan duduk di tempatnya dan melirik Andi dengan tatapan tajam. “Kenapa sih? Kamu nggak seriusan kan bakal keluar dari kepanitiaan?” “Bakal aku pikirin, kalo si Valdi mau jelasin yang sebenarnya dan minta maaf,” jawab Novan ketus. “Memangnya kenapa sih? Kenapa kamu tiba- tiba marah sama si Valdi?” Tanya Andi. Novan menghela napas. “Kamu nggak ada buka heksagram yang baru buat event ya?” Tanya Novan. Andi mengeleng. “Berhubungan sama itu?” Novan mengangguk. Ia menceritakan semuanya dengan singkat. Andi mangut- mangut mendengarnya. “Oalah, kalau begitu mah .. hem, itu masalah pribadi kalian. Tapi tolonglah, jangan sampai bawa- bawa soal kepanitiaan gini. Ini kan beda masalahnya …” “Nggak akan ada masalah ini kalau dari awal Valdi gak genit dan blokir itu orang dari awal. Ini malah kasih nomor handphone segala .. Ck! s****n!” Novan merutuk kesal. “Kamu blokir aja si cewek itu kan beres. Terus suruh si Valdi juga buat blokir itu cewek di heksagram. Beres kan?” Andi memberikan saran penengah. “Udah aku blokir sih itu cewek.” “Ya bagus dong. Tinggal suruh si Valdi yang blokir. Atau kamu aja yang buka sosmed kamu, terus kamu blokir sendiri. Bisa juga kan begitu?” “Iya, bisa, tapi aku tetap nggak akan mau hadir acara kepanitiaan apapun sampai Valdi minta maaf.” “Yaelah. Udahlah, jangan di perpanjang. Ini demi kepentingan bersama loh ..” “Nggak, ini bukan demi kepentingan bersama. Ini demi kepentingan OSIS doang, bukan kepentinganku.” **** Andi tidak menyerah membujuk Novan. Setiap ada kesempatan, dia membujuknya. Tapi Novan masih teguh dengan pendiriannya. “Ayolah Van, masa kamu gitu sih. Kalo kamu main keluar seenaknya, kan tandanya kamu mangkir dari tanggung jawab,” bujuk Andi. Novan menghela napas panjang. Ia lelah seharian ini di buntuti oleh Andi terus. “Ndi.” Novan melirik Andi. “Maaf ya sebelumnya kalau aku mangkir dari tanggung jawab, tapi ada atau nggak adanya aku kegiatan itu bakalan tetap berjalan kan? Mungkin ya, menurutmu itu hanya permasalah sepele, tapi itu nggak sepele buatku.” “Jadi kamu bakalan keluar dari kepanitiaan?” Novan mengangguk. “Nggak akan gabung lagi?” “Nggak. Valdi juga nggak ikhlas minta maafnya, jadi untuk apa aku balik lagi?” Andi menghela napas panjang. “Ya sudahlah, terserah kamu aja.” “Tenang, untuk hekstagram, aku tetap bakalan kasih buat kalian. Anggap aja itu tanggung jawab terakhirku.” “Ya, makasih Van.” **** Andi tergopoh- gopoh pergi keluar kelas. Jam istirahat sudah hampir selesai, tapi urusannya belum selesai. Dia pergi mendatangi Valdi di kelasnya. “Valdi!!” Panggil Andi di depan pintu kelas Valdi. Valdi yang sedang asyik bercengkarama dengan teman- temannya yang lain menoleh. “Eh, tumben. Ada apa Ndi?” Tanya Valdi. Andi menghampiri Valdi dan menggebrak mejanya. Valdi tersentak kaget. “Eh ada apa nih, kok baru datang udah di labrak aja?” “Heh! Minta maaf kamu sama si Novan!” Valdi mengernyitkan alisnya. “Loh? Kan aku udah minta maaf?” “Itu bukan minta maaf namanya! Minta maaf yang bener!” “Lah, yang penting kan aku udah minta maaf kan …” Andi menatap Valdi dengan tatapan tajam. “Kenapa sih memangnya?” “Dia masih marah. Dia nggak mau gabung lagi sama kepanitiaan.” Valdi mendengus. “Ya udah sih kalau nggak mau gabung lagi. Cuma berkurang satu orang doang, nggak berpengaruh apa- apa lagi.” “Tapi dia bakalan tarik lagi heksagramnya.” Valdi terdiam. “Anak lain nggak ada yang mau pinjemin heksagramnya buat promosi.” “Iya iya, yaudah. Aku bakalan minta maaf. Nanti, pulang sekolah aku temuin dia.” Valdi mendengus. “Lagian masalah sepele doang, marahnya sampai sebegitunya. Bocah.” Andi menjitak Valdi. Ia meringis. “Kebiasaan. Belum tentu yang kamu anggap sepele itu juga sepele di mata orang lain,” nasehat Andi. “Pokoknya nanti kamu harus minta maaf sama dia.” “Iya iya, udah balik sana. Udah bel masuk.” **** Novan menggerutu kesal. Perasaan dia sudah blokir nomor Novia, tapi kenapa masih saja di hubungi? Ini masih jam sekolah, tapi Novia sudah berkali- kali menelponnya. Tentu saja tidak Novan angkat, dan tidak akan pernah dia angkat. “Kenapa tuh mukak di tekuk banget?” Tanya Andi yang kebetulan lewat. Novan menggerutu dan menyimpan smartphone ke dalam laci. “Nggak,” jawab Novan ketus. “Lagi kena terror sama orang gila.” Andi mengernyitkan alis, lalu mangut- mangut. “Oh, orang itu?” Tanya Andi. “Mmm.” “Blokir aja sih.” “Udah, tapi masih aja dia hubungi pake nomor lain.” Novan berdecak kesal. “Kayaknya aku perlu ganti nomor dah. Tapi aku malas.” “Yah, kalau misalnya dia masih coba hubungi lagi, kayaknya memang mesti ganti nomor sih.” Novan menghela napas panjang. “Ck, padahal udah tenang kemarin nggak di ganggu sama ini anak. Emang k*****t si Valdi!” Gerutu Novan. “Blokir aja dulu semua nomor yang dia hubungi itu. Itu anak juga, kenapa creepy banget ya.” “Emang dari dulu gitu.” Novan melirik Andi. “Kamu mau nggak nomornya? Lumayan loh, cewek cantik.” Andi menggeleng. “Nggak. Buat apa cantik tapi creepy gitu. Makasih.” Novan tertawa kecil. “Iya iya. Rugi aja kalau gitu mah. Ya udahlah, aku blokir aja. Matiin aja dah hp biar nggak berisik.” Novan mematikan smartphone dan menaruhnya dalam tas. “Nggak bisa kamu anggap dia mau silaturahmi aja gitu? Mungkin aja dia mau tahu kabar kamu, kan udah lama nggak ketemu ya,” tanya Andi basa- basi. Novan meliriknya dengan tatapan tajam. “Nggak. Jangan harap. Dia bukan mau silaturahmi, tapi emang mau nerror aku aja. Ah udahlah, jangan bahas dia lagi.” Novan menggerutu kesal. “Yah, iya sih. Kalau mau silaturahmi nggak gitu ya caranya,” gumam Andi. “Oh ya, aku hampir lupa. Gais, semuanya, hello. Untuk pelajaran selanjutnya kita di suruh pergi ke perpustakaan. Ibu udah nunggu di sana.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN