Bab 22

3756 Kata
Novan menghela napas panjang. Ia mendaratkan kepalanya di meja yang penuh dengan tumpukan kertas. Akhirnya, selesai sudah tugas hukuman dari bu Julia. Terima kasih banyak untuk Stevan yang bersedia mengajarinya sampai saat ini. Juga teman- teman Stevan yang secara tidak langsung ikut terlibat membantu Stevan yang sempat kewalahan. Sepertinya Stevan juga mulai gumoh dengan soal yang begitu banyak ini. “Akhirnya selesai juga …” Gumam Stevan. Ia merenggangkan badannya yang mulai kaku karena duduk sedari tadi. Novan mengangguk. “Kepalaku hampir berasap kerjain soalnya, banyak banget.” “Masih mending sih kamu hampir berasap. Aku udah pecah kali rasanya ini kepala. Udah nggak sanggup lagi nengok rumus- rumus sebegitu banyak,” timpal Novan. “Ah, tapi syukurlah bisa cepat siap dari yang aku duga.” Stevan melirik jam dinding. “Ya, kalo kerjain berdua kayaknya sih sampai besok pagi juga nggak bakal siap. Untung ada Veri dan Yoga tadi yang mau bantuin.” Novan mengangguk. “Makasih banyak buat kamu Stev, sama temen- temen kamu juga. Udah mau bantu ngerjain tugas anak sekolah ini.” “Sama- sama. Tapi soal anak sekolah jaman sekarang agaknya udah kayak soal neraka ya, banyak dan susah.” Novan tertawa kecil mendengarnya. “Memang begitu mah jaman sekarang.” Stevan bangkit dari duduk dan kembali merenggangkan badannya. “Udah udah, kamu beresin nih semuanya. Jangan sampai ada yang tertinggal. Langsung kamu masukin aja ke dalam tas, sekalian siapin buku buat besok.” Stevan mengingatkan. Novan mengangguk. Stevan menguap lebar. “Aku masuk kamar duluan ya. Ngantuk. Kamu juga jangan begadang. Nanti matiin semua lampu ya, sama tutup gordennya,” pinta Stevan. “Iya iya,” jawab Novan sambil membereskan kertas yang bereskan. Stevan masuk ke dalam kamar, meninggalkan Novan yang sibuk menyatukan kertas jawabannya dengan klip, lalu memasukkan semuanya ke dalam map. Ia rebahan di lantai yang di alasi karpet bulu. Ternyata tanpa sadar sudah jam 11 malam. Novan mengambil smartphone. Hem, lebih baik dia berselancar di dunia maya dulu sebelum tidur. “Eh, apa nih?” Ada sebuah notifikasi masuk dari aplikasi chat. Andi Wirawan mengundang anda untuk bergabung di grup “TWEENING!! XI MIPA 2 YAHUD” “Nama grupnya aneh,” gumam Novan. Ia membuka notifikasi itu dan menekan accept. Notifikasi chat beruntun masuk. Novan sedikit kaget. Buru- buru dia mematikan notifikasi. GEAGE Wei, udah pada siap punya bu Julia belom? Btw ini kenapa buat grup lagi di sini, kan di sebelah ada. Andi Wirawan Sori, soalnya temen kita ini @Novan Andriansyah cuma pakek app ini doang Biar nggak ketinggalan info Deaa Oalah Welkam @Novan Andriansyah Udah pada siap tugas belom? YuD Jangan tanya. Sumpah jangan tanya. Udah puyeng. Deaa Gara gara kamu sih Yud. Bisa bisanya ketangkep bu Julia. Kan repot sekelas jadinya YuD Heh, lu salahin nih si @Ndree Dia yang ngajak duluan Gak nengok situasi dulu Ndree Kamu juga ngapain ikut Kan kalo nggak mau nggak apa aku bilang. Malah nyalahin. Tata Udah udah, kan memang salah semua. Lagi apes aja emang. Ndree @Tata kan kamu ikutan juga Ta Tata Ya makanya aku bilang, salah semua. Memang lagi apes aja Kalian gimana, udah kelar belom? Yang essai @Ndree @YuD @Ghesa @V.a V.a Sumpah jangan tanya dah. Baru selesai essai. Tugas mtk itu baru sentuh satu soal aja Entah siap entah nggak nih sampai besok. Kayaknya sih engga. Ghesa Njir sama. Tapi aku udah kerjain 3 soal. Tapi udah capek banget. s**l. Tata Sama nih, berasap kerjainnya. Kagak kelar- kelar. Emang nggak ngotak bu Julia ngasihnya. Tantaniaa Ya kan salah kamu juga Ta Jadi sekelas kena. Heleh kalian. Tata Ck. Tantaniaa W juga belom siap. Mau nangis kerjainnya. Ghesa PLIS SIAPAPUN BANTUIN. PALAKU UDAH PECAH. SIAPA YANG UDAH SIAP? AKU LIAT DONG. SURUH BAYAR JUGA BOLEH. Novan geleng- geleng kepala membaca chat grup. Mereka juga tampak kewalahan mengerjakannya, sampai meminta contekan. Bahkan siap membayar untuk contekan soal itu. Hem, tapi itu terdengar menarik. Novan Andriansyah Memang ada yang mau ngasih? Emang bersedia bayar berapa? Ghesa Kali aja. Berapa deh, 300k juga aku jabanin. Capek aku udah. Novan Andriansyah Kalo banyak salah gimana? Ghesa Bodo amat dah, yang penting kelar aja. Gue mau nonton anime inii Tata Anime mulu lu pikirin Kerjain tuh tugas! Minta di belai dia Ghesa Kan aku kerjain juga Tapi ini udah capek Anjrit, nggak ada yang mau bantuin aku nih? Aku bayar dah suer. Sebenarnya tawaran Ghesa ini cukup menarik perhatiannya. Ia melirik map yang mencuat dari tasnya. Kalau memang benar Ghesa rela mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk jawaban soal ini, itu lumayan juga. Apalagi kalau dia bersedia bayar lebih. Tata Tapi aku ga munafik sih Kalo ada yang bersedia jual jawaban aku bakal beli Berapa aja dah, asal gak melebihi uang jajanku Deaa Ta, kamu ada- ada aja Uang yang kamu bayar itu ga sebanding dengan usaha mereka Jangan gitulah, usaha sedikit Tata Bacot lu de. Udah siap kamu ya? makanya bilang gitu? Ah, aku mah nggak bakal minta sama kamu. Pasti nggak kamu kasih. Deaa Memang enggak. Usaha. Jangan males. YuD Bacot lu de. Tata Bacot de bacot. Novan terbelak. Waw, bahkan Tata juga berminat untuk membayarnya, meski dia tidak menyebutkan nominal. Memang seberapa uang jajannya? Kalau lumayan banyak, ya boleh juga itu. Cuma dengan kasih jawaban, dia udah dapat jajan tambahan yang lumayan. Tapi yang di bilang Dea juga ada benarnya. Meski dia di bantu banyak oleh Stevan dan teman- temannya, tapi masih ada juga soal yang ia kerjakan sendiri dengan susah payah. Jerih payahnya tidak sebanding dengan harga yang mereka tetapkan. YuD TOLONG YA SIAPAPUN YANG BERBAIK HATI MAU KASIH LIAT JAWABANNYA GUE BAYAR! SERIUS! BERAPA DAH SEBUT AJA! PECAH PALA GUE NGERJAINNYA ARGH Oke, sepertinya ini agak sebanding dengan usahanya. Hem, gimana kalau kita coba cek aja dulu seberapa serius mereka mau melakukan hal itu. Novan Andriansyah @Ghesa @YuD Cek chat personal **** Novan terbelak kaget ketika mengecek rekeningnya melalui M-Banking. Ini jumlah yang lumayan dan berhasil dia dapatkan hanya dalam hitungan hari. Untuk anak sekolah sepertinya, jelas ini lumayan banyak. Tadi dia ada chat Yudi dan Ghesa. Ia menawarkan jawaban dari soal yang diberikan bu Julia kepada mereka. Mereka jelas menerimanya dengan senang hati. Mereka tidak peduli dengan jawaban yang benar atau salah, asalkan selesai. Tapi Novan meyakinkan mereka kalau jawaban ini kemungkinan besar lebih banyak benar daripada salah. Dia tidak meragukan kepintaran Stevan. Mereka menerimanya dengan tangan terbuka dan langsung mengiriminya sejumlah uang sesuai yang mereka sebutkan. Novan tidak memberikan patokan harga karena tadinya dia hanya iseng saja. Yah, tapi kalau mereka memang bersedia membayarnya, jelas dia menerimanya. Tidak hanya mereka berdua, Tata juga ikut membeli jawaban darinya. Tentu saja ia memberikannya lewat perantara Yudi dan Ghesa, lalu memberikan nomor rekeningnya untuk proses pembayaran. Ia hanya bisa terbelak kaget saat melihat nominal yang di kirim oleh Tata. Jelas jauh lebih banyak daripada uang jajannya selama 3 bulan. Ia hanya bisa geleng- geleng kepala melihatnya. “Kalau dapatnya segini sih, usaha kayaknya sebanding sama bayarannya. Lumayan juga sih,” gumam Novan. Dia tidak tahu uang ini akan dia apakan, toh semua kebutuhannya masih tercukupi. Ia menatap nominal di rekeningnya cukup lama. Hem, akan dia apakan uang ini? Ia menjentikkan jarinya. Terlintas salah satu ide di kepalanya. Ah, bagaimana kalau … **** Ini masih terlalu pagi, tapi kelas XI MIPA 2 sudah tampak ramai. Mereka datang ke sekolah lebih dulu untuk mengerjakan tugas hukuman dari bu Julia. “Ta, kamu kok santai banget dah? Emangnya udah selesai?” Tanya seorang anak perempuan pada Tata. Tata asyik duduk selonjoran di kursinya sambil streaming video di smartphone. “Oh, udah dong,” jawab Tata bangga. “Dih, kok bisa? Kamu jawabnya sama semua ya? Asal jadi aja ya, yang penting cepat selesai? Nanti kamu kena jam pelajar tambahan loh!” Tanyanya lagi tak percaya. “Heh, muncungmu ya Dea. Ya nggak sebegitunya lah, aku juga ogah kali kena jam pelajaran tambahan Matematika pula.” Tata mengeluarkan kertas jawaban yang sudah di jepit dengan klip. “Nih, lihat. Udah selesai semua kan?” Tata menaruh kertas jawabannya di depan Dea. Dea memeriksa kertas jawaban itu dan geleng- geleng kepala. “Hah? Kesambet apaan kamu? Tumben kamu udah selesai kerjainnya, dan nggak di samain semuanya,” tanya Dea. Tata nyengir lebar. “Aku liat ya Ta..” Tata langsung merebut kertas jawabannya dari tangan Dea. Dea bersungut sebal. “Ih, liat dikitlah. Pelit amat sama temen sendiri juga,” gerutu Dea. “Ya pelitlah! Enak aja!” Tata memeluk kertas jawabannya. “Sini, sini, aku kasih tau caranya biar kamu cepet selesainya.” Tata melambaikan tangannya pada Dea. Dea mendekatkan dirinya pada Tata. “Sini, aku bisikin!” “Apa tuh apa?” Dea mendekatkan dirinya pada Tata. Tata memperhatikan sekitar, lalu mendekatkan wajahnya ke kuping Dea. “Ini jawabannya si Novan. Aku beli dari dia, lewat si Yudi semalem.” Dea terbelak kaget dan menoleh ke Tata dengan mata melotot lebar. “Hah? Kamu bayar? Gils! Bayar berapaan memang?” “Hem, dia nggak kasih patokan harganya sih. Sebebasnya kita. Cuma karena ya kupikir soalnya banyak dan jawabannya panjang juga, jadi aku bayar tiga ratus ribu sih.” Dea melongo lebar mendengarnya. “Bener- bener hamburin duit. Kalo misalnya jawabannya banyak salah gimana? Zonk dong jadinya. Udah bayar mahal juga.” Tata mengedikkan bahunya. “Katanya sih, kemungkinan besar jawabannya ini benar. Kalau misalnya banyak salah dan nggak sesuai harapan, dia bakalan refund semua uangnya. Bakal tanggung jawab dengan semuanya.” Dea mengernyitkan alis. “Memangnya kamu yakin kalau dia bakalan sanggup buat tanggung jawab? Yakin dia bakalan refund? Tau- tau uangnya udah kepakai duluan sama dia.” Tata menyikut Dea. “Eh, kok gitu sih. Aku nggak yakin, aku liat sih dia anaknya tanggung jawab. Nggak bakalan nipuin pokoknya.” “Kamu yakin darimana? Kan dia anak baru, belom juga dua minggguan di sini. Belum mau kenalan dengan kita juga.” Tata nyengir lebar. Ia menaikkan kedua alisnya. “Ya, karena dia lumayan … gitu … hehe … kan dia ada tampang, biasanya kalo yang tampang kayak dia sih amanah anaknya. Terus dia juga imut nggak sih, dia kayak malu- malu kucing gitu.” Dea geleng- geleng kepala mendengarnya. “Yaelah kamu. Tampang ganteng nggak menjamin dia baik. Bisa aja dia tuh malah lebih buaya daripada yang kita duga kan? Banyak juga tuh yang ganteng, yang good looking tapi kelakuannya bikin ngucap.” “Tapi kalo dia sih, aku yakin anaknya baik.” Dea mengerlikan matanya. “Terserah kamu aja deh.” Bel bunyi berdering dengan kencang. Sudah waktunya masuk. Mereka berdua tersentak kaget. Dea melirik kertas jawabannya yang baru setengah terisi. “Kan! Aku jadi nggak selesai kerjainnya, karena kamu ajak ngomong sih!” Gerutu Dea. Ia mengambil pensil dan kalkulator, kembali menghitung sisa soal yang belum selesai. Ia berdecak kesal. “Lah, kok salah aku pula. Padahal kamu yang ajak aku duluan.” Tata melirik kertas Dea. “Udah deh, nggak keburu itu.” “Sssttt! Diam kamu! Jangan ganggu!” Dea sibuk dengan mencoret berbagai rumus dan perhitungan di kertas. Ia bergerutu kesal dan menggaruk kepalanya. “Anjrit! Ini gimana lagi dah caranya, kenapa kayaknya nggak nemu sih jawabannya?!” “Udah, kamu beli aja jawabannya sama si Novan.” Tata menyikut Dea. “Nggak keburu tuh, liat masih banyak yang kosong kan? Nggak bakal keburu dah. Percaya sama aku.” “Kalo jawabannya banyak salah gimana? Hah? Uangku hangus sia- sia dong kayak gitu! Mana dia nggak rate harga, mana tau aku harus bayar berapa yang pantas?!” Tata mengedikkan bahunya. “Ya … kamu kasih aja sih seberapa adanya kamu. Mungkin dia mau nerima? Kan dia nggak ada kasih patokan juga.” Tata mendekat ke kuping Dea. “Kalo banyak benernya, kamu juga untung.” “Ih, aku lihat aja punya kamu ya Ta? Kan sama aja kayak punya si Novan …” “Heh! Enak aja! Aku bayar mahal, kamu malah minta lihat gratis!” “Yaelah Ta, sama temen sendiri juga …” “Kamu minta aja sama Novan, ya kamu negolah sama dia. Kamu tawar dah, bertengkarlah kalian sana.” Tata menarik Dea bangkit dari duduknya. “Ayo, aku temenin ke tempat si Novan!” Tata menarik Dea ke kerumunan cowok- cowok di pojok kelas. Mereka mengelilingi meja Novan. “Hoi Novan!” Sapa Tata. Novan yang tadinya asik mengobrol dengan Andi, seketika terdiam. Ia mengalihkan wajahnya. “Kalian ada perlu apa?” Tanya Andi. “Perlunya sama Novan, bukan sama kamu!” Jawab Tata ketus. “Van, aku minta tolong boleh nggak?” “Perantara aku aja sini. Novan nggak mau kayaknya nih ngomong sama kalian,” timpal Andi. Tata berdecak. “Ya udah, coba kamu tanyain. Ini si Dea mau minta tolong. Dia mau yang kayak semalam itu, yang kamu bilang. Masih boleh nggak?” Tanya Tata. “Anu … tapi aku nggak bisa kasih banyak sih … nggak apa?” Tanya Dea. Andi mengernyitkan alisnya. “Ini soal siapa sih? Semalam kalian ngapain memang?” Tanya Andi bingung. “Eh! Ini urusan kami! Kamu tanya aja ke Novan gih!” “Van, tuh mereka bahas yang semalam. Dia nanya masih bisa nggak? Tapi nggak bisa kasih banyak si Dea katanya,” tanya Andi pada Novan. “Oh, kalian bahas soal yang semalam ya Ta?” Tanya Yudi yang datang menghampiri. Tata mengangguk. “Ini, si Dea mau katanya.” Tata menunjuk Dea. “Ternyata ada yang terpancing lagi. Tapi ini cara yang bagus sih, jadinya kan kita nggak perlu repot- repot kan.” Tata mangut- mangut. “Bilang Ndi, bisa. Nanti aku kasih lewat Yudi aja. Bayarnya lewat Yudi juga, seberapa dia ada deh,” bisik Novan. Andi mengernyitkan alisnya. “Eh … kata Andi, masih bisa. Nanti dia titipin ke Yudi. Bayarnya lewat Yudi aja dulu, nanti dia kasih ke Novan. Anu .. kamu kasih aja seberapa ada katanya.” Andi memberitahu. “Bener nih? Seberapa aku ada? Walaupun aku cuma ada sepuluh ribu pun boleh?” Tanya Dea tak percaya. Novan mengangguk. “Oke oke! Aku ambil dompet dulu! Nanti kamu kasih aku terus ya Yud, ini uangnya jangan di tilep. Kasih terus ke Novan.” “Iya iya, bawel ah. Mana uangnya? Bayar dulu baru ada barang.” Dea melesat ke tempat duduknya. Ia mengeluarkan dompet dan memberikan beberapa lembar uang kepada Yudi. Yudi langsung memberikannya pada Novan. Novan mengeluarkan map dari tas dan memberikannya pada Yudi. “Nah, kalau udah selesai kasih ke aku lagi aja katanya.” Yudi memberikan map itu ke Dea. Dea membuka map itu dengan mata berbinar. “Thank you! Makasih banyak Novan!” **** “Semuanya, kalian kumpulin ya tugas dari bu Julia di depan. Udah di tagih sama beliau. Semuanya pada buat kan?” Pinta Andi. Sekelas mengangguk. Satu persatu maju ke depan sambil mengumpulkan kertas jawaban dan soal. “Oh ya, kertas soalnya nggak usah di kumpulin. Katanya buat belajar di rumah.” Andi mengembalikan beberapa kertas soal yang di kumpul. “Walau nggak yakin kalian bakal belajar lagi di rumah sih,” gumam Andi. “Tau aja. Palingan bakal menumpuk, terus jadi kertas bekas,” timpal Yudi. “Kalo kamu mah nggak di ragukan lagi sih Yud.” Andi merapikan lembaran kertas jawaban yang ada di atas meja. Ia menghitungnya satu persatu, lalu mangut- mangut. “Udah semua kan ya? Semua kerjain kan? Kalo ada yang nggak kerjain, aku lempar dia keluar! Nyari gara- gara aja.” Andi menggerutu. “Nggak ada Ndi. Udah kumpulin sana.” “Ya udah. Kalian jangan berisik ya, sampai guru jam berikutnya datang. Aku mau antar ini ke ruang bu Julia. Berani kalian keluar, temu tengah kita nanti!” Ancam Andi. Semua mengangguk. Andi pergi meninggalakn kelas bersama tumpukan kertas di tangannya. “Kira- kira itu tugasnya bakal lebih banyak yang bener apa salahnya ya?” Tanya Ghisa. Yudi dan Tata mengedikkan bahunya. “Kan kalo banyak salah tinggal gebukin aja si Novan rame- rame,” jawab Yudi sambil melirik Novan di pojok kelas. Tata menjitak kepala Yudi. Yudi meringis kesakitan. “Heh! Enak aja kamu malah gebukin si Novan! Kasian!” Ujar Tata. “Dih, kamu kenapa malah bela dia? Kan kalo dia kasih jawaban salah, kamunya juga bakalan kena Ta. Mau kamu memangnya masuk jam tambahan Matematika?” “Ya nggak sih …” Tata mengerlingkan matanya. “Tapi kasian tau anak orang kalo kamu gebukin. Kasian wajah gantengnya nanti jadi bonyok.” Yudi mendengus. “Hilih. Aku sama dia kan sama aja gantengnya.” Tata menoleh dan menatap Yudi dari atas sampai bawah, lalu tertawa kecil. “Becanda ya? Ya jelas beda jauhlah. Dia pangeran, kamu … ajudannya kali ya?” Ghisa dan Dea tertawa kencang mendengarnya. Wajah Yudi memerah. Tata tersenyum lebar dan ikut tertawa dengan Ghisa dan Dea. “Nggak lucu.” Yudi memalingkan wajahnya yang semakin kemerahan. “Becanda doang elah.” Tata merangkul Yudi. “Kalo salah kan, ya uangnya bisa refund. Seengaknya bisa dah pakek buat jajan melepas stress habis kena hempasan rumus.” “Ya, semoga aja beneran bisa di refund sih.” Sementara itu, Novan duduk diam di tempatnya. Jarinya sedaritadi mengetuk meja tanpa henti. Khawatir menyelimuti hati Novan. Seketika dia mulai ragu dengan hasilnya. Bagaimana kalau ternyata banyak yang salah? Katanya, meski ini hanya soal hukuman, bu Julia tetap akan menilainya. Kalau nilainya jelek, maka akan ikut pelajaran tambahan Matematika sepulang sekolah. Mereka akan marah kalau nilainya jelek dan meminta refund. Tidak masalah sih, toh uangnya juga masih utuh. Tapi rasanya dia agak sayang untuk refund. Sempat terpikir hal picik untuk bodoh amat dan memilih tidak refund, tapi mangkir dari tanggung jawab itu tidak boleh kan? Yah, apapun yang terjadi, terjadilah. Novan sudah pasrah akan semuanya. Hanya bisa berdoa dan berharap akan hasil yang terbaik. “Selamat pagi anak- anak …” Guru pelajaran berikutnya sudah masuk ke dalam kelas. “Pagi pak,” sapa semua serempak. Ia menaruh buku di meja dan memperhatikan sekeliling. “Loh? Itu kenapa bangkunya kosong tapi tasnya ada? Kemana dia?” Beliau menunjuk kursi Andi. “Anu, ke ruang BK pak. Itu … kumpulin soal hukuman dari bu Julia,” jawab Ghisa. “Kok bisa kalian kena hukuman sama bu Julia pula … jadi hukumannya apa?” “Kerjain soal essai matematika 35 soal pak,” jawab Dea. Beliau terbelak kaget, lalu mengacungkan kedua jempolnya. “Mantap. Pasti berasap kepala kalian kerjainnya. Makanya lain kali nakal aja lagi, biar kena hukuman bu Julia.” Beliau mengambil spidol dan menuliskan sesuatu di papan tulis. “Sudah. Kita hari ini masuk bab baru, tentang perbedaan tugas DPR dan MPR… Buka buku kalian halaman 58.” Beliau menjelaskan tentang perbedaan dan tugas DPR dan MPR di depan kelas. Novan memperhatikan ke depan, tapi pikirannya melayang. Andi masih belum kembali juga dari ruangan bu Julia. Kenapa Andi lama sekali? Apa karena jawaban mereka sekelas itu banyak salahnya, jadi Andi kena hukuman tambahan untuk menanggung kami? Atau apa? Please Andi, cepat kembali ke kelas. “Permisi pak.” Terdengar suara ketukan pintu kelas. Semua mata menoleh ke sana. Andi berdiri di sana. “Maaf pak saya terlambat. Saya tadi di panggil bu Julia dulu.” “Oh iya iya, tadi temanmu juga ada bilang. Silakan masuk, kita lanjutin lagi pelajarannya.” “Maaf pak, permisi …” Andi masuk sambil sedikit membungkukkan badannya. Andi duduk di bangkunya dan mengeluarkan buku dari tas. “Kamu kenapa kok lama banget Ndi?” Tanya Novan setengah berbisik. “Nanti aja aku ceritain. Perhatiin tuh ke depan!” Novan berdecak kesal. Ia membuka bukunya dan memperhatikan guru menjelaskan pelajaran di depan. Yah, semoga saja bukan hal buruk yang terjadi. **** Bel tanda istirahat berdering kencang. Guru sudah keluar kelas sejak 10 menit yang lalu. Beliau pamit lebih dulu karena mendadak ada urusan penting. Beberapa murid kelas berkumpul di meja Andi. “Ndi, kamu kok lama banget tadi balik dari ruangan bu Julia?” Tanya Wik, di susul dengan anggukan yang lain. “Kenapa? Kita ada buat salah apa lagi memangnya?” Tanya Yudi. “Kita ada kena hukuman lagi ya” Tanya Dea. “Memangnya kita ada salah apa sampai kita kena hukuman lagi?!” Tanya Tata. “Tenang guys tenang! Aku balik lama bukan karena kita di kasih hukuman lagi kok, bukan. Tenang kalian,” jawab Andi. “Ya terus kenapa kamu kok lama banget di sana?” Andi berdehem. “Jadi begini … tadi aku lama di sana karena bu Julia suruh aku stay sebentar sembari beliau periksa jawaban kita. Terus …” Andi memperhatikan mereka semua satu persatu. “Terus kenapa Ndi?” Andi tidak menjawab. Ia menundukkan kepalanya. “Yah … mungkin ini memang nasib kita ya … kita nggak bisa pungkiri lagi …” Kami terbelak kaget. Bisik- bisik mulai terdengar di penjuru kelas. Beberapa saling tukar pandang. “Karena …” Andi menengadahkan kepalanya. “Karena kita sekelas nggak kena pelajaran tambahan!” Andi tertawa lebar dan bersorak riang. Kami sekelas melongo dan … “Beneran Ndi?” Tanya Yudi. Ia mengguncangkan bahu Andi. Andi mengangguk. “AKHIRNYA!!” Sorak sorai terdengar dari seluruh penjuru kelas. Yudi dan Ghisa memeluk Novan. Tata dan Dea hendak mendekati Novan, tapi Novan langsung jaga jarak. “Tapi kok bisa?” “Entahlah. Tadi beliau periksa jawabannya di depan aku. Aku ngintip, kayaknya beliau periksa punya Novan. Terus beliau bilang punya dia banyak benernya, terus di belakangnya punya Tata dan Yudi. Katanya mereka juga sama, jadi menurut bu Julia ya, aman.” “Wih, mantap memang kamu Van!” Yudi menepuk pundak Novan dengan kencang. Novan sampai sedikit terbatuk. Ia merangkul Novan. “Ucapkan selamat buat Novan, kawan- kawan! Karena berkat Novan, kita sekelas jadi nggak kena jam pelajaran tambahan!” “Thank you Van!” Ucap sekelas serempak. Novan mengangguk dan menyinggungkan senyum lebar. Seharusnya kalian bilang makasih ke Stevan, bukan aku gumam Novan dalam hati. Ia sangat berterima kasih dengan Stevan, karena berkat Stevan ini terjadi. Memang Stevan tidak di ragukan lagi. Novan akan memberitahu kabar gembira ini ke Stevan nanti dan mungkin akan memberikan tanda terima kasih untuknya dan teman- temannya yang sempat membantu di detik- detikt terakhir. Ia bersyukur, ternyata caranya ini bisa sukses besar tanpa ia sangka. Seketika ia terpikir akan suatu ide brilliant. Ia mengeluarkan smartphone dan segera chat seseorang. Novan Yo, Aku punya ide buat danusan kita. Karyo Yoa Van Ide apaan nih? Bilang aja ke Kirana kalo ada ide Novan Lewat kamu aja nanti aku bilang. Ketemu di kantin sekarang bisa gak? Karyo Oh boleh Kebetulan lagi di kantin Ada kirana juga sih di kantin Novan Sama kamu aja Aku otw ya Tunggu situ. Novan menaruh kembali smartphone ke dalam tas. Ide brilian ini harus segera ia beritahu. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN