Bab 21

2692 Kata
“Nih Van, payung kamu! Thanks ya! Payungnya aku taruh di luar aja dulu gimana? Kan masih basah, biar netes dikitlah airnya,” tanya Andi. “Hah eh, nggak usah. Bawa masuk aja,” jawab Novan. “Loh nggak apa? Tapi kan ini masih netes- netes airnya ..” Andi masuk ke dalam kelas sambil membawa payung Novan. “Nggak, nggak apa kok.” Novan mengambil payung itu dari tangan Andi dan langsung memasukkannya ke dalam sarungnya, lalu memasukannya ke dalam tas dengan paksa. “Eh, itu masih basah banget. Nanti buku- buku kamu basah loh ..” “Eh eh, nggak apa kok. Nggak bakal basahlah, kan udah di masukin dalam sarungnya.” “Ya tapi kan sarungnya bukan yang nyerap air loh, bakal basah juga itu buku kamu …” “Nggak apa, aku bilang nggak apa ya nggak apa.” Novan membelakkan matanya pada Andi. Andi hanya bisa mengangguk, sedikit kaget melihat Novan seperti itu. “Hah eh … ya udah sih kalo kamu maunya begitu …” Novan menghela napas lega. Ia merutuk payung yang di berikan Stevan dalam hati. Kayaknya mendingan dia tidak bawa payung deh, daripada harus pakai payung motif bunga- bunga pink seperti ini! Bakal malu banget sih dia pakainya! “Oh ya, btw nih.” Andi menyodorkan sebotol teh kemasan. “Nih, buat kamu. Balasan buat bekal kamu.” “Loh, padahal nggak perlu …” Andi mengeleng. Ia menaruh botol teh itu ke meja Novan. “Nggak apa, tadi aku makan bekal kamu banyak, jadi nggak enak.” Novan menerima botol teh itu dan tersenyum kecil. “Thanks.” “Tapi besok- besok, kalo kamu bawa bekal aku bagi ya!” “Heleh, dasar elu!” **** Novan berharap hujan bakal berhenti sepulang sekolah nanti, tapi ternyata dugaannya salah. Hujan masih turun dengan derasnya, bahkan sampai pulang sekolah tiba. Ah, rasanya dia ingin menunggu saja di sekolah sampai sepi. Dia tidak mau pakai payung yang di bawanya. Itu memalukan! “Loh? Kamu nggak pulang Van?” Tanya Andi. “Ah eh … iya, nanti …” “Lagi ada rapat anak danusan ya, makanya belum pulang?” Tebaknya. Novan mengangguk. Iyakan saja udah, biar cepat. “Iya, ada rapat anak danus katanya entar lagi. Jadi aku lagi tunggu mereka.” Andi mangut- mangut. “Ya udah, aku duluan ya.” Andi melambaikan tangan dan pergi keluar kelas. Kelas sudah sepi, hanya tinggal Novan sendiri di sana. Ia menatap jendela yang masih meneteskan sisa- sisa air hujan yang menyangkut di atap. Ia menghela napas. Smartphone-nya berdering cukup lama. Novan mengambilnya. Tertera nama Stevan di sana. Novan mengangkat telpon itu. “Hallo?” “Woi, kamu dimana hah? Aku udah di depan gerbang sekolah kamu nih!” Tanya Stevan di ujung sana. “Lah? Kamu jemput aku? Kan aku nggak minta …” “Kan tadi aku udah bilang kan, aku bakal jemput kalo hujan? Udah udah, buruan keluar gih. Pake payung ya, biar nggak basah.” “Eh nggak usah, kamu balik aja …” “Nggak ada kata nggak usah. Aku izin buat jemput kamu. Cepet keluar ya. Nanti kamu nginap aja lagi di tempatku, aku bantuin lagi tugas kamu.” “Tapi Stev …” “Nggak ada kata tapi. Udah buruan ke depan sini, aku tungguin. Atau nggak aku jemput ke kelas nih!” “Eh jangan!” Novan bangkit dari duduknya. Ia langsung menggendong tas. “Iya iya, ini aku keluar sekarang. Tunggu di situ!” “Iya. Buru.” Stevan mematikan telpon. Novan berdecak kesal. Ah, memang deh Stevan itu. Jangan sampai dia jemput sampai ke kelas, bakal heboh nanti satu sekolah. Mana sekolah masih ramai lagi, karena banyak yang terjebak hujan. Novan mengeluarkan payungnya dari tas dengan paksa. Ck, Stevan bakalan ngomel panjang kalau dia sampai basah kuyup kena hujan, padahal udah di bawain payung. Ngomelnya Stevan ini kadang melebihi emak- emak. “Ck, udahlah.” Novan dengan terpaksa membuka payungnya lebar. Ia berjalan menyusuri lapangan basket. “Loh, Van?” Sapa seseorang di belakangnya. Novan menghentikan langkahnya dan menoleh. Andi ada di belakangnya dengan tas yang memayunginya. “Udah mau pulang? Nggak jadi rapatnya?” “Ah eh, nggak ternyata. Udah pada pulang. Ini aku udah di jemput …” “Oh oalah. Okelah. Kalo gitu aku duluan ya!” Andi lari sekencang mungkin, menerjang hujan yang masih turun dengan derasnya. “Hei hati- hati!” Beberapa anak tampak lari menerjang hujan. Beberapa ada yang masih menunggu di sekolah. Sebenarnya kalau hujannya sederas ini sih, bakalan lama nunggu redanya. Kemungkinan nanti hampir senja baru berhenti mungkin. Sebuah mobil berwarna hitam membunyikan klaksonnya. Pasti mobilnya Stevan. Novan langsung menghampiri mobil itu dan membuka pintu depannya. “Lama amat sih. Ngapain aja di sekolah memang, udah jam pulang gini?” Tanya Stevan. “Nunggu hujan reda.” Novan menutup pintu. “Loh ngapain di tunggu hujannya? Kan kamu ada bawa payung.” “Ya tapi payungnya modelan kayak gini!” Novan menunjukkan payung yang basah itu tepat di depan mata Stevan. “Malu aku pakai payung model kayak begini!” “Hei itu payungnya masih basah! Nanti basah kursinya! Bungkus lagi pake sarungnya!” Novan bersungut kesal. Dia mengambil sarung payung di dalam tas. “Loh, itu sarungnya kamu masukin dalam tas? Basah nggak nanti buku- buku kamu?” “Ah, mana mung …” Novan memeriksa buku di dalamnya dan terbelak. Benar, bukunya basah. Ia menoleh pada Stevan. Stevan mengangkat alisnya. “Basah kan?” Novan mengangguk dan nyengir lebar. “Tadi temenku ada bilang, aku kira nggak bakal basah …” “Makanya kalo di bilangin jangan ngeyel!” Stevan memutar kunci mobil. “Udah, itu payungnya kamu masukin lagi dalam sarung, terus kamu taruh aja di belakang. Buku- bukunya kamu keluarin yang basah, terus kamu taruh di belakang tuh. Nanti aku coba keringin pake hair dryer atau apalah sampai di rumah,” perintah Stevan. Novan melakukan sesuai dengan perintah Stevan. “Oh ya, coba kamu cek itu. Kamu ada bawa kan tugas semalam? Coba cek itu basah apa enggak.” “Oh iya!” Novan langsung membongkar tasnya. Ia mencari kertas kumpulan soal dan kertas jawaban. Ia menghela napas lega saat semuanya masih rapi. Untung saja dia masukkan ke dalam map. “Untung deh. Kalo basah agaknya bakal berabe, bakal kita kerjain dari awal lagi.” Novan mengangguk. Ah, untung saja. “Udah makan siang belum? Mau makan siang dimana?” Tanya Stevan. “Pecel ayam ada yang buka gak ya jam segini…” “Manaada yang buka pecel ayam jam segini. Biasanya kan malem- malem.” “Tapi aku mau. Kita makan pecel ayam aja ya? Kayaknya tempat biasa sih buka jam segini.” “Boleh juga, asal ada deh.” **** Novan tercengang begitu mereka tiba di tempat. Ia mengira mereka akan makan pecel ayam di tenda pinggir jalan, seperti yang biasa ada di malam hari. Tapi dugaannya salah besar. Stevan memarkirkan mobilnya di salah satu restoran masakan Indonesia yang besar dan mewah. Berbagai macam mobil berjejer di parkirannya. “Yuk turun.” Stevan melepaskan seatbelt. “Kita makan di sini?” Tanya Novan. Stevan mengernyitkan alis. “Ya, iyalah. Kan parkir di sini. Pecel ayam di sini enak loh. Yuklah.” Stevan keluar dari mobil lebih dulu. “Eh, tunggu Van!” Novan buru- buru melepas seatbelt dan keluar dari mobil. Ia membuka payung cadangan yang ada di mobil dan mengejar Stevan. Ia menyamakan langkah dengan Stevan. Mereka tiba di pintu restoran. Ada dua orang pelayan yang menyapa kami dengan ramah dan membukakan pintu. “Selamat siang tuan. Apa anda sudah melakukan reservasi di sini?” Tanya salah seorang pelayan. “Saya Stevan Arian. Table untuk 2 orang,” jawab Stevan. Pelayan itu mengangguk. “Baik tuan Stevan. Mari ikuti saya,” pinta seorang pelayan. Restoran tampak ramai. Ia mengantarkan kami ke salah satu meja yang kosong. Mereka duduk di sana. Seorang pelayan lain datang sambil membawa buku menu. “Makasih.” Stevan membuka buku menu itu. Ia memperhatikan buku menu itu dengan seksama. Novan membuka buku menu dan tercengang. Apa- apaan ini? Nasi goreng harganya sampai ratusan ribu? Itu mah 10x lipat lebih mahal daripada yang di jual di pinggir jalan! Novan memperhatikan menu dengan seksama. Buset dah mahal banget. Kok bisa semahal ini ya? Ini yang di pakai bahannya apaan sih memang, sampai harganya melambung tinggi? Kalo beli di nasi goreng abang pinggir jalan mah, udah dapat 10 bungkus! Makannya sampai bisa di simpan besok terus di panasin lagi. Oh, mungkin bahannya ini di ekspor dari negeri nun jauh di sana kali ya? Novan bergumam dalam hati. Ia merasa banyak hal yang tidak masuk di akal melihat harga yang tertera di buku menu. “Kamu pesen apa Van?” Tanya Stevan. Novan gelagapan. “Hah eh … kamu pesen apa Stev?” “Ya, aku jadinya pesen pecel ayam.” Novan membuka buku menu dan mengecek makanan yang di pesan Stevan. Lagi, dia tercengang dengan harganya yang agak di luar nalar dan kemampuannya. “Ah, em .. aku pesen …” Waduh mampus. Pesen apaan ya? Mahal semua. Ini Stevan sanggup bayarnya nggak ya? “Hem … aku pesen … nasi goreng aja ..” “Terus minumnya apa?” “Ikut kamu aja deh.” Novan menutup buku menu. Stevan mengangguk. “Nasi goreng ayamnya satu, pecel ayamnya satu, es telernya dua.” Pelayan mencatat pesanan dengan tab yang di bawanya. “Baik. Ada tambahan lain?” Tanya pelayan itu. “Nggak, itu aja.” Stevan memberikan buku menu pada pelayan. Novan melakukan hal yang sama. “Baik. Silakan menunggu sebentar.” Pelayan itu sedikit membungkukkan badannya dan pamit dari sana. Pelayan lain datang membawakan gelas dan air putih di dalam teko. “Stev, mahal banget harganya woi. Ini mah, kalo beli di abang- abang pinggir jalan udah bisa stok buat besok- besok!” Bisik Novan. Stevan tertawa kecil mendengarnya. “Nggak apalah, sesekali toh. Tapi lumayan worth it kok, rasanya gak kalah enak dengan yang abang- abang jual.” “Kalo gitu mah mending beli di abang- abang pinggir jalan aja!” “Yah, nggak apalah. Sesekali rasain makan di resto mahal gini.” Novan menatap Stevan lamat- lamat. “Tenang aja, aku bayarin kok pasti. Nggak akan kurang pokoknya.” “Bagus sih kalau gitu. Aku nggak mau ya pokoknya kalo nanti harus cuci piring karena nggak cukup!” Stevan tertawa kecil dan mengacak rambut Novan. “Nggak! Nggak bakal! Tenang aja!” Stevan mengeluarkan kotak pensil dari dalam tasnya. “Nah kalo gitu. Sambil nunggu makanan tiba, kita kerjain lagi yuk soalnya.” “Sekarang banget nih?” Stevan mengangguk. “Jangan buang- buang waktu. Daripada kelamaan nunggu makanan, nggak tahu mau ngapain.” Novan memperhatikan sekeliling. “Tapi nanti di tengokin sama orang loh …” Bisik Novan. “Ya udah sih biarin aja. Kan kita bukan lagi transaksi n*****a juga.” Novan mendengus. “Iya deh iya …” Novan mengeluarkan maps dari dalam tasnya. Stevan mengeluarkan kumpulan soal dan kertas jawaban dari sana. “Nih, nomor ini kan tadi katanya yang kamu bingung? Kalo nomor ini sih … hem … bentar … kayaknya caranya sama kayak yang ini …” Stevan membolak- balikkan lembaran soal. “Nah, ini nih. Kayak gini. Gak beda jauh sebenarnya, tinggal ganti sedikit rumusnya di sini …” Stevan mulai mencoret rumus di kertas coretan sambil menjelaskan. Novan memperhatikannya dengan seksama. Dia tidak perduli dengan tatapan beberapa pasang mata yang melihat mereka. Tugas ini lebih penting daripada itu. **** Stevan tidak bohong soal rasa makanannya. Memang enak. Ia agak kaget dengan ukuran ayam yang besar. Nasi gorengnya juga tidak berwarna kecoklatan seperti yang biasa di jual pinggir jalan. Lebih ke warna hijau pucat, seperti bukan nasi goreng tradisional. Sebenarnya sih, kalau untuk urusan rasa, itu memang sedikit lebih unggul dengan topping yang melimpah. Tapi tentu saja, Novan 10000% bakal memilih beli di abang pinggir jalan daripada harus di restoran seperti tadi. Bakalan puasa jajan dua minggu dia kalau beli makanan di sana. “Gimana? Enak nggak?” Tanya Stevan begitu mereka tiba di mobil. Novan mengangguk. “Yah, lumayanlah. Memang bener, ada harga ada rasa. Terasa sekali rasa mahalnya,” jawab Novan. “Tapi aku kalo di suruh milih sih, bener deh. Aku mending beli di abang pinggir jalan." “Ya, aku juga gitu sih sebenarnya. Cuma emang lagi kepengen aja makan pecel ayam di sana, meski tau sendirilah ya harganya semana. Tapi tetep, pecel ayam deket apartemen lebih terjangkau dan lebih enak.” Novan mangut- mangut. “Itu sih yang beneran pecel ayam.” “Kita pulang terus ya. Kamu ada mau kemana lagi?” Tanya Stevan. “Pulang aja dah. Mau kemana pula, hujan gini.” “Oh ya, kamu izin lagi ke orangtuamu kalau kamu nggak pulang hari ini. Nanti malah di omelin. Atau aku aja yang izin?” Stevan menawarkan. “Nggak usah, nggak. Biar aku aja yang chat orangtuaku.” Novan segera mengeluarkan smartphone dan mulai mengetik sesuatu di sana. “Oke, udah.” “Kamu nggak apa nih? Pelajaran besok gimana? Seragamnya beda nggak?” “Seragamku baru selesai minggu depan, jadi besok masih pakai baju ini.” Stevan mangut- mangut. “Mau beli seragam baru nggak? Kamu udah berapa hari kan pakai seragam itu- itu aja?” Novan mengeleng. “Eh nggak usah Van. Nggak kotor kok, kan cuci pakai cuci pakai.” “Ya udah sih, terserah.” Stevan memutar kunci mobilnya. “Kita pulang sekarang ya.” ***** Hujan sudah berhenti saat mereka tiba di apartemen Stevan. Stevan memarkirkan mobilnya di parkiran dan mereka masuk ke dalam bersama. Mereka naik lift dan berhenti tepat di lantai 5. Stevan membuka pintu apartemennya dan mereka masuk ke dalam. Novan langsung berselonjor di sofa ruang tamu, sedangkan Stevan masuk ke dalam kamarnya dan langsung keluar. Ia mengganti sandal rumahnya dengan sandal jepit. “Mau kemana?” Tanya Novan. “Aku mau keluar sebentar. Nggak lama kok. Kamu kalo laper, di dalam kulkas atau lemari kayaknya ada snack, coba periksa aja. Atau kamu pesan antar makanan aja.” Stevan membuka pintu. “Pergi dulu ya, jangan kemana- mana. Kamu ganti baju terus tuh, jangan pakai seragam lagi!” “Iya iya.” Stevan menutup pintu. Novan menghela napas panjang. Ia memperhatikan langit- langit apartement. Hah, nanti jika sudah dewasa dia ingin seperti Stevan. Tapi apa bisa? Dia tidak sepintar Stevan, tidak selihai Stevan, dan tidak seperti Stevan yang ramah dan supel. Ia bangkit dari duduk. “Ah sudahlah. Ganti baju saja dulu.” Ia masuk ke dalam kamar tamu dan terkejut melihat ada kaos dan celana pendek selutut di atas kasur. Pasti Stevan yang menyiapkannya. Ya, Stevan memang seperhatian itu. Ia mengganti seragamnya dengan baju yang sudah di sediakan. Seragamnya ia masukan ke dalam keranjang cucian. “Mumpung nggak ada Stevan.” Novan duduk di sofa dan menyalakan TV. “Oh ya, cemilan! Ada nggak ya …” Novan membuka lemari yang ada di dapur dan menemukan tumpukan bungkus snack di sana. Novan mengambil dua bungkus besar dan membawanya ke ruang depan. Ia menikmati snack sambil menonton TV. Kalau ada Stevan, pasti dia bakalan ngomel. Tidak boleh nonton TV kalau belum selesai tugas. Novan tertawa terbahak- bahak menonton acara komedi yang di tayangkan. Saat ia tengah asyik menonton, pintu terbuka dan muncullah Stevan dari sana. “Loh? Novan?” Novan menoleh dan melongo. Buru- buru dia membereskan bungkus snack dan botol minuman yang berserakan di meja. Dia nyengir lebar. “Hah heh … udah balik kok, cepet banget …” Gumam Novan. “Lah kan aku bilangnya nggak lama tadi.” Stevan memakai sandal rumah. “Nih.” Dia menyodorkan tas kertas pada Novan. “Apaa nih?” Novan menerima tas itu dan membukanya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat satu setel seragam putih yang ada di sana. “Itu, besok kamu pakai seragam itu ya. Seragamnya kan nggak beda jauh dengan seragam kamu. Daripada pakai seragam yang tadi lagi.” “Tapi kan itu bisa di cuci pakai Stev …” “Nggak usah, sama aja kotor. Pakai aja itu buat besok.” Novan menatap seragam itu. “Anu, makasih Stev …” Stevan tersenyum kecil dan mengangguk. “Ya, sama- sama.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN