Bab 23

3593 Kata
Karyo tersedak mendengar ide yang di lontarkan oleh Novan. Ia terbatuk sambil memukul dadanya. Novan menyodorkan air pada Karyo. Ia meminum itu sampai habis, lalu menarik napas dalam. “Kaget aku dengernya,” gumam Karyo. Novan nyengir. “Tapi bagus kan? Keren kan idenya?” Tanya Novan. Karyo tidak menjawab. Ia mengembalikan gelas ke atas meja dan menatap Novan lamat- lamat. “Gini ya.” Karyo berdehem. “Aku akuin sih ya, idenya unik. Keren. Nggak biasa, terlalu nggak biasa malah. Tapi … ini resikonya lumayan besar kalau sampai ketahuan.” “Tapi pemasukannya juga besar! Sebanding bukan?” Novan mendekat. “Dan nggak perlu modal, kan?” “Ya, nggak perlu modal uang, tapi ini mah modal otak namanya.” Karyo geleng- geleng kepala. “Kenapa bisa- bisanya kamu kepikiran buat bikin joki tugas sih buat pemasukan kita?” “Karena aku udah coba, dan itu cukup menguntungkan. Nggak perlu lama juga bakalan terkumpul banyak kok. Kalau ada lebih, ya itu terserah Kirana mau di kemanain. Mau masukin ke kas OSIS, atau mau pakai untuk kita, terserah.” “Aku nggak yakin sih Kirana bakal setuju. Dia aja paling anti sama nyontek begitu.” “Coba aja bilang dulu dah. Kamu bilang ke Kirana aja, jangan bilang di grup. Nanti ketauan sama yang lain.” “Ya udah, aku coba telpon Kirana sekarang deh ya. Dia bilang sama aku lagi nggak di sekolah, lagi ikutan acara di luar sekolah.” Karyo mengeluarkan smartphone dari kantong celananya. Ia menekan salah satu nomor dan menyalakan speaker. Terdengar nada telpon tersambung di ujung sana. “Hallo” Sapa Kirana di ujung sana. “Napa Yo nelpon?” “Kamu dimana nih Kir? Masih di luar apa udah balik ke sekolah?” Tanya Karyo. “Masih di luar. Kayaknya nggak balik ke sekolah sih, pulangnya sore. Kenapa memangnya?” “Oh, kirain. Ini nih, si Novan ada ide buat danusan.” “Oh, apa idenya memang?” “Itu … idenya … kita adain joki tugas gitu …nanti kita kerjain tugas entah siapa sesuai dengan tarif yang kita kasih …” Hening. Tidak ada suara di ujung sana. Karyo dan Novan saling tukar pandang. Terdengar helaan napas di ujung sana. “Yo … tolong bilang sama Novan …” Lagi, terdengar helaan napas. “Idenya aku tolak. Heh, curang itu namanya! Resikonya bakal gede kalo ketauan! Enak aja, gitu mah kita yang 2x lebih repot! Nggak ada, pokoknya nggak ada. Kasih ide kok yang aneh- aneh, yang wajar aja gitu kenapa sih hah? Heran.” Karyo melirikku. “Iyaiya, ini aku bilangin ke dia.” “Nah, bilangin. Udah, pokoknya kumpul aja nanti sabtu. Kalian tinggal beli bahan, kami yang cewek- cewek masak. Entah kami buat gorengan atau apalah ya. Bilang aja gitu.” “Iya iya. Aku bilangin.” “Tuh, jangan buat yang aneh- aneh dah pokoknya.” Terdengar suara seseorang di sana memanggil Kirana. “Eh, udah dululah ya. Aku di panggil nih, udah mulai lagi. Pokoknya kamu bilang ya ke dia gitu. Bye.” “Oh oke. Bye.” Telpon di matikan. Karyo melirik Novan dan menaikkan kedua alisnya. “Kan bener kan kataku?” Ia menaruh kembali smartphone ke kantung celananya. “Udah pastilah dia nggak setuju. Kamu pun, ada- ada aja idenya.” “Hei, kamu mau tahu nggak berapa yang aku dapat dalam sehari setelah jadi joki tugas gak sengaja itu?” Bisik Novan. Karyo mengernyitkan alis. “Memangnya berapa?” Novan mengeluarkan smartphone dan membuka Mbanking miliknya. Ia memperlihatkan saldo Mbanking miliknya. Karyo tercengang melihatnya. “Ini beneran?” Novan mengangguk. “Tadinya saldo aku itu limit, yah kamu tahulah ya berapa limitnya. Terus dalam sehari udah sebanyak ini, cuma dari beberapa anak orang.” Karyo melongo. Ia menepuk tangannya. “Gils, ini mah banyak banget dalam sehari,” ujar Karyo. “Kan? Sudah kubilang kan? Kalau jual gorengan, aku nggak yakin bisa sampai segini dalam sehari. Kita juga buatnya nggak banyak kan, jadinya yah …” “Aku ngerti sekarang kenapa kamu saranin ide ini,” gumam Karyo. “Jadi gimana? Setuju nggak?” “Hem, ini terlalu menarik untuk di tolak. Tapi …” “Hei hei! Ini kesempatan bagus, kan? Lalu … kalau kamu ragu soal Kirana, gimana kalau kita diam- diam aja? Ya, open joki diam- diam, jangan sampai tau si Kirana. Tapi nanti hasilnya tetap buat danusan. Gimana?” Karyo terbelak, lalu mangut- mangut. Novan menyodorkan jabatan tangan. “Gimana? Deal nggak? Karyo menerima jabatan tangan itu. “Tapi … aku nggak tanggung jawab ya kalo semisal ketahuan sama Kirana. Catat, dia kalo marah itu serem. Kalau semisal ketahuan sama guru atau pihak OSIS, aku juga nggak ikutan ya. Itu ide kamu soalnya.” Novan mengangguk. “Iya iya, beres. Biar aku yang tanggung jawab.” **** Jam pulang sekolah sudah tiba. Kali ini Novan tidak di jemput oleh Stevan. Ia memilih untuk pulang sendiri. Tapi dia tidak akan langsung pulang. Dia hendak pergi ke mall terdekat untuk membeli hadiah terima kasih untuk Stevan dan teman- temannya. “Ini kita mau kemana?” Tanya Andi begitu tiba di parkiran. Novan meminta Andi untuk menemaninya ke mall, kali saja dia tahu tempat yang bagus. “Aku nggak tahu, pokoknya yang punya barang bagus gitu dah buat hadiah.” Novan memakai helm cadangan yang diberikan oleh Andi. “Hem, kamu mau cari yang gimana? Yang low budget apa yang agak mahalan? Kalau yang low budget, tapi bagus aku tau tempatnya. Tapi bukan di mall.” “Hem, boleh juga dah.” “Yaudah, naik buru. Keburu tokonya tutup nanti, nggak lama dia bukaknya.” Novan duduk di jok belakang. Andi memutar kuncinya dan menekan pedal gas. Motor perlahan keluar dari gerbang sekolah. “Kamu mau beli kado buat siapa memangnya?” Tanya Andi di tengah perjalanan. “HAH?” “KAMU, BELI KADO UNTUK SIAPA?” Tanya Andi setengah berteriak. Novan mangut- mangut. Hem, dia tidak tahu harus menyebut siapa untuk Stevan. Selama ini dia hanya memanggilnya dengan nama saja. Ah, bilang saja … “BUAT ABANG AKU.” Novan yakin, Stevan akan naik kuping kalau mendengarnya. Pasti dia merasa sangat senang, karena di umurnya yang sudah tidak muda lagi, masih ada yang menganggapnya ‘abang’. Walau dia lebih cocok di anggap ‘om’ sih. “OH, OKE. KITA KE TOKO YANG SATU LAGI AJA YA.” **** “Bener berhenti di sini?” Tanya Andi. Novan mengangguk dan turun dari motornya. Sehabis membeli hadiah, dia segera pergi ke apartemen Stevan. Andi memarkirkan motornya di parkiran khusus tamu. Ia memperhatikan sekeliling dengan tampang melongo. “Bentar ya, aku coba cek ke resepsionis depan dulu.” Novan masuk ke dalam dan segera pergi ke meja resepsionis. “Permisi mbak, selamat siang.” “Selamat siang dik. Apa adik sedang perlu sesuatu?” Tanya karyawan resepsionis. “Anu, itu, apa pak Stevan sudah kembali ke ruangannya?” Tanya Novan. “Pak Stevan apa ya, nama lengkapnya?” “Stevan Andrian.” Resepsionis melirik ke komputernya, lalu mengangguk. “Oh iya, pak Stevan sudah kembali ke ruangannya. Adik ini siapanya pak Stevan ya?” “Saya adiknya pak Stevan.” “Oh, kalau begitu adik bisa ke lantai 5, di kamar 505.” “Baik mbak. Makasih banyak ya mbak.” Resepsionis itu menyinggungkan senyum lebar. “Sama- sama dik.” Novan menghampiri Andi yang duduk menunggu di sofa yang tak jauh dari pintu masuk. Ia masih memperhatikan sekeliling dengan melongo. “Kamu ngapain kemari Van? Rumah kamu di sini?” Tanya Andi. Novan mengeleng. “Rumah abang aku di sini. Aku mau ketemu dia. Kamu mau ikut masuk nggak?” Andi mengeleng. “Nggak usah deh. Aku langsung balik aja kayaknya.” Ia bangkit dari duduk. “Nggak enak ganggu moment abang- adik.” “Jadi ini kamu langsung balik aja?” Tanya Novan. Andi mengangguk. “Oke deh. Aku antar sampai parkiran ya?” “Nggak usah dah, biar aku sendiri aja ke sana.” “Ya sudah, hati- hati.” Novan melambaikan tangannya. Andi membalas lambaian tangan itu. “Titip salam buat abang kamu ya. Bilang dari Andi yang paling ganteng!” ***** Novan menekan bel pintu apartement Stevan. Tidak ada sahutan dari intercom. Novan kembali menekan bel, kali ini berkali- kali dan lebih lama. Novan berdecak kesal. Katanya sudah pulang, tapi kenapa pintunya tidak di buka? Apa tadi dia memang sempat pulang, tapi balik lagi ke kantor? “Ya, siapa ya?” Terdengar sebuah suara dari intercom. Novan menekan tombol dan mulai bicara. “Kesayangan Stevan di sini,”jawab Novan. Tidak ada balasan dari intercom. Pintu terbuka dan muncullah Stevan di depan pintu. “Dih kesayangan Stevan,” cibir Stevan. Novan nyengir lebar. “Tapi memang kesayangan kan?” Novan menyikut Stevan. “Ya nggak mungkin aku nggak sayang kamu, kan namanya juga keluarga sendiri.” Stevan memperhatikan Novan dari ujung kepala sampai kaki. “Lah kamu baru pulang sekolah ya? Kenapa nggak minta jemput aku tadi? Padahal kalo jemput tadi aku sempet loh, soalnya lagi pulang cepet.” “Boleh masuk nggak aku nih?” Tanya Novan. “Oh ya, masuk gih masuk. Langsung ganti baju ya, jangan pakai seragam lagi.” Stevan membuka pintu lebih lebar. Novan masuk ke dalam. “Permisi …” Novan melepas sepatunya dan mengenakan sandal rumah. Stevan masuk lebih dulu dan segera pergi ke dapur. “Eh kamu udah makan belum? Mau aku masakin apa nih?” Tanya Stevan dari dapur. “Nggak usah Stev, mampir bentaran doang aku tuh.” Novan duduk di sofa ruang tengah dan menaruh paper bag di atas meja. Ia melepaskan tas sekolahnya. “Heh, kan udah aku bilang, kamu ganti baju dulu. Ganti baju dulu sana!” Pinta Stevan sambil membawa nampan berisi gelas. “Tuh, bajunya ada di kamar aku. Buka aja lemari warna putih tuh, ambil baju mana dah. Seragamnya nanti kamu lipat, terus masukin ke tas lagi.” “Iya iya dah, bawel.” Novan bangkit dari duduk dan menuju ke kamar yang tadi di tunjuk oleh Stevan. Ia memakai kaus dan celana dari lemari, lalu kembali ke sofa. Stevan masih di sana sambil menonton acara memasak di TV. “Eh, nih, dapat dari kantor tadi. Kalo kamu mau ambil aja.” Stevan menawarkan kotak berisikan potongan cheese cake. “Oh ya Stev, sebelumnya. Nih.” Novan menyodorkan paper bag yang tadi dia bawa. Stevan menerimanya. “Apaan nih?” Stevan mengernyitkan alisnya. “Itu, kamu buka aja deh pokoknya.” Stevan membuka paper bag dan mengeluarkan isi dalamnya. Ada tiga buah kotak yang sudah di bungkus rapi dengan kertas kado. Stevan membuka salah satu kotak yang bertuliskan namanya dan terbelak kaget. Ia menoleh ke Novan. “Ini beneran?” Tanyanya. Novan mengangguk. Stevan kegirangan. “Astaga! Akhirnya koleksiku nambah! Makasih Novan!” Ia segera melesat ke lemari pajangan dan meletakkan funko yang di berikan Novan ke sana. “Lihat! Akhirnya, sedikit lagi koleksiku lengkap!” Novan bertepuk tangan. Sepertinya setengah gaji Stevan itu di gunakan untuk koleksinya. Koleksinya jelas tidak main- main harganya. Koleksi action figure dan funko tersusun rapi di lemari, dengan harga yang paling murah dari ratusan ribu. “Makasih bro. Tau aja kamu memang.” Stevan menepuk pelan pundak Novan. “Ya taulah. Kan kamu dari kecil memang demen banget kan nonton ini anime, sampai koleksi mainan kartunya kan.” Stevan tertawa kecil. “Iya, bener. Sampai di marahi sama mama karena boros banget, baru dapet uang saku malah di jajanin buat beli kartu.” Novan geleng- geleng kepala. “Ya pantas sih mama marah. Sampai sekarang kayaknya terbawa ya ..” Novan memperhatikan lemari yang penuh dengan barang koleksi. “Ini kalau mama tahu kayaknya bakal ngomel panjang sih. Soalnya setengah gajiku larinya kemari, terus nyarinya sampai pergi melalang buana ke kota dan negara lain demi dapat limited edition.” “Tapi mau ngomel juga nggak bisa lama- lama sih, kan ini semua pakai uang hasil kerja sendiri ya. Paling di omelin karena nggak bisa manage uang.” Stevan berdecak. “Oh, itu salah. Nyatanya, aku bisa kok manage. Nggak cuma foya- foya doang, aku ada kok nabung juga.” “Bagus sih kalau gitu.” “Terus, ini buat siapa?” Stevan menunjukkan dua kotak lain yang ada dalam paper bag. “Untuk … teman Stevan?” “Iya, yang kemarin bantuin aku kerjain soal.” Stevan mangut- mangut. “Oh, mereka toh. Si Heru dan Bobon. Oke oke, nanti aku kasih ke mereka dah.” Stevan memasukkan kembali kedua kotak itu ke dalam paper bag. “Ini btw, tumbenan kamu kasih hadiah kayak gini. Memangnya ada apa?” “Jadi begini …” Novan berdehem. “Jadi, kata mereka, kalau semisal soal yang kami kerjakan kemarin banyak yang salah, maka kami dapat jam pelajaran tambahan. Tapi … syukurnya kami nggak jadi kena hukuman tambahan itu. Karena, waktu di periksa beberapa, ternyata banyak yang bener. Karena itu … ini itu sebagai tanda makasih aku, karena udah mau ajarin aku.” “Syukurlah.” Stevan menghela napas lega. “Aku kirain bakalan banyak salah. Maklumlah ya, udah nggak pernah kerjain soal kayak begitu lagi.” “Tapi aku nggak meragukan kamu sih Stev. Si rangking 1 paralel sejak SD dan ikutan olimpiade Nasional, mana bisa di ragukan.” Novan mengacungkan kedua jempolnya. “Halah, bisa aja kamu!” Stevan menepuk punggung Novan. Novan sedikit terbatuk karenanya. “Hah eh, sori sori …” “Nggak apa Stev, nggak apa,” ujar Stevan. “Anu … aku masuk ke kamar bentar ya buat taruh ini.” Novan mengangguk. Stevan pergi ke kamarnya, sedangkan Novan kembali ke ruang tengah dan memakan cheese cake sambil menonton acara TV. Acara TV sudah selesai dan Stevan baru keluar dari kamarnya. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari smartphone. “Anu .. Van …” Novan menoleh. “Kenapa Van?” “Kamu minggu depan ada kosong nggak?” Tanya Stevan. Novan mengernyitkan alisnya. “Kenapa memangnya?” Tanya Novan balik. “Bentar, bentar.” Stevan kembali mengecek smartphone. “Ah, udah nih. Oke. Kamu pulang sekolah biasanya jam berapa?” “Hem, ini belum mulai jam sore, jadi pulangnya masih kayak biasa, jam 2. Kalau ada jam sore pulangnya jam 5. Kenapa memangnya?” Stevan mangut- mangut. “Oke. Kalau begitu, hari rabu minggu depan aku jemput kamu ya. Tapi aku jemput agak cepat, sekitar jam 11 gitu.” Novan mengernyitkan alisnya. “Mau kemana sih memangnya?” Stevan menatap Novan lamat- lamat. “Aku sudah cari yang kemungkinan cocok dan bagus untukmu,” jawab Stevan. “Yah, kamu sudah bisa menduga kan kita bakal kemana.” ***** Novan menghabiskan waktunya di apartemen Stevan. Mereka bermain video game yang baru saja di beli Novan, menonton serial TV terbaru dan di akhiri dengan memesan banyak makanan. Begitu hari menjelang senja, Stevan mengantarnya pulang ke rumah. “Berhenti di sini aja Stev,” pinta Novan. Stevan menginjak rem dan mobil berhenti di dekat minimarket. Novan melepaskan seatbelt. “Mana rumahmu memangnya?” Tanya Stevan sambil mengintip keluar. “Itu, masuk dalam g**g itu. Mobil nggak muat, kayaknya. Jadi berhenti di sini aja.” “Yaelah, tau gitu tadi kita naik motor aja.” “Nggak apa kok Van.” Novan membuka pintu dan keluar dari mobil. “Balik dulu ya. Makasih udah di traktir.” “Kembali. Sori nganternya sampai sini doang. Kayaknya kalo pun aku masuk, ya nggak bisa deh ya …” Novan mangut- mangut. “Gak apa, dikit lagi jalannya kok.” “Yaudah, aku balik dulu ya. Titip salam buat orang di rumah.” “Siap!” Stevan menutup kaca mobil dan perlahan ia meninggalkan Novan sendirian. Novan menunggu hingga mobil Stevan tidak tampak di ujung jalan sana. Ia celingak- celinguk, memperhatikan sekitar. Oke, aman. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan seragam miliknya. Ia melapisi kaus yang di pakai dengan seragam. Setelah semua ia kancing dengan rapi, ia menegakkan badannya dan jalan memasuki lorong di sebelah mini market. Ia berhenti di depan rumah dengan cat biru laut yang di batasi dengan pagar putih. Tampak satu mobil dan dua sepeda motor terparkir di garasi yang belum tertutup. Ia menarik nafas panjang dan membuka pintu pagar. “Abang!” Terdengar sapaan anak kecil dari pintu. Ia berlari mendekati Novan. Novan berjongkok dan memeluknya. “Hai Mikel!” Ia memeluk Mikel dengan erat. “Mikel udah mandi belum?” “Udah dong. Mikel udah wangi nih! Nih cium aja, wangi kan?” Mikel menyodorkan pipinya. Novan mencium pipi Mikel. “Wih iya udah wangi ya. Pintar Mikel!” Novan mengelus rambut Mikel. Mikel tersenyum lebar. Mikel merentangkan tangannya, minta di gendong. Novan menggendongnya. “Abang, abang, abang kemana kok kemarin nggak pulang? Mikel tungguin abang loh, mau main sama abang!” Gerutu Mikel. Ia memanyunkan bibirnya. “Maaf ya Mikel. Abang kemarin nginep di rumah temen, soalnya abang banyak tugas sekolah.” “Tugas sekolah itu apa bang?” Tanya Mikel, Novan terdiam. Dia mengerlingkan matanya. Bagaimana caranya menjelaskan apa itu tugas kepada anak kecil yang belum duduk di bangku sekolah? “Em … itu … em …” Novan berdecak. “Itu, tugas itu … kewajiban abang sebagai murid, ya di kasih sama guru abang gitu …” “Murid itu apa bang?” “Murid itu, ya anak sekolah. Kayak abang nih, masih sekolah. Di bilangnya murid. Terus yang ngajar abang di sekolah, panggilnya guru. Pak guru, bu guru. Gitu.” Mikel mangut- mangut. “Terus, ke … ke… jiwaban tadi apa bang?” Novan menarik napas panjang. Haduh, agaknya dia salah memberikan jawaban. Seharusnya ia menjawabnya dengan lebih sederhana, biar tidak ada pertanyaan beruntun seperti ini. “Itu … itu kewajiban namanya. Itu tuh kayak .. em … yang harus di lakuin gitu. Kayak, ya kamu deh, kan mama sering suruh kamu beresin mainan ya, kalo nggak kamu beresin nanti mama marah kan? Nah itu karena kewajiban kamu itu beresin mainan kalo udah selesai main. Itu tandanya kamu udah jadi orang yang tanggung jawab.” Mikel kembali mangut- mangut. “Terus, tanggung jawab itu apa bang?” Novan menggigit bibirnya. Haduh, sebenarnya kalau di jawab, bakal ada pertanyaan lain lagi. “Nanti ya abang jawab. Abang mau lepas sepatu dulu. Mikel turun dulu ya.” Novan menurunkan Mikel dan duduk di kursi teras. Mikel melompat- lompat di tempatnya. “Abang, cepet dong bang lepas sepatunya! Mikel mau tau jawabannya abang …” “Iya Mikel sabar …” Ck, padahal sengaja dia lamain lepas sepatunya, biar Mikel lupa dengan pertanyaannya. Dia harus mengalihkan perhatian Mikel. Novan menjentikkan jarinya. Ia merogoh tasnya. Semoga saja masih ada … “Oh ya, abang ada bawa sesuatu buat Mikel …” Novan mengeluarkan sesuatu itu dan menyembunyikan di balik badannya. Mata Mikel berbinar. “Apa tuh bang, apa?” Tanya Mikel tak sabar. “Taraa!” Novan menyodorkan sebungkus snack coklat dan sebungkus besar permen. Mikel teriak kegirangan. “Makasi abang!” Mikel memeluk Novan erat. Ia mencium pipi Novan. Novan tersenyum kecil dengan tingkah manis adiknya. “Mikel!” Terdengar seseorang memanggil Mikel. Ibu Novan membuka pintu depan dan melonggok keluar. “Mikel ayo ma…” “Novan pulang bu.” Ibu berdiri di depan pintu dan menatap Novan lamat- lamat. Mikel berlari memeluk ibunya dengan tangan yang penuh dengan pemberian Novan. “Mikel, kamu mama cariin daritadi … kamu kemana aja nak? Udah sore gini.” Ibu Novan mengelus pelan rambut Mikel. “Mama, mama, lihat!” Mikel menyodorkan bungkusan yang ada di tangannya. “Abang Novan kasih!” Ibu Novan menoleh padanya. Novan memalingkan wajah. Ibu Novan mengambil bungkusan itu dari tangan Mikel. “Ini biar mama simpan ya, kalo kamu kebanyakan makan yang manis- manis nanti gigi kamu bisa bolong.” Mikel mengangguk sambil cemberut. Ibu Novan tersenyum kecil. “Yaudah, kita masuk yuk. Udah mau gelap.” Ibu Novan menuntun Mikel masuk ke rumah. “Kamu juga Van. Masuk, udah mau magrib.” Novan mengangguk. Ia menenteng tas dan sepatunya masuk ke dalam rumah. “Pintunya jangan lupa kamu kunci lagi ya Van!” “Iya bu.” Novan mengunci pintu. Ia tersentak kaget saat balik badan dan melihat ayahnya sudah duduk di ruang tamu dengan tangan yang di silangkan. “Novan pulang yah …” Ayah Novan berdehem. Ia memperhatikan Novan lamat- lamat. “Kamu darimana aja?” Tanya ayah Novan. “Novan tadi ke rumah teman lagi yah, ngerjain tugas,” jawab Novan. “Sampai nginep 2 malam? Ngerjain tugas apa memang?” “Tugas matematika yah, banyak. Jadinya aku nginep, karena dia yang ngerti. Kami kerjain bareng sekalian dia ajarin aku.” “Oh, pinter ya temanmu itu. Nggak kayak kamu.” Novan menarik napas dalam. Kan, mulai lagi deh. “Novan capek ya. Novan mau ganti baju dulu.” Novan pergi ke kamar melewati ayahnya yang berkacak pinggang. Ia melewati ibu Novan dan Mikel yang sedang menonton TV. Mikel menoleh dan menghampirinya. “Abang, abang, kapan mau jawab yang Mikel tanya tadi?” Tanya Mikel. “Nanti ya abang jawab. Abang mau ganti baju dulu, boleh?” Mikel cemburut, tapi tetap mengangguk. Novan tersenyum kecil dan mengelus pelan rambut Mikel. Ia menaiki anak tangga satu persatu dan masuk ke kamar. Ia melempar tasnya sembarangan dan merebahkan badannya di kasur. Sayup terdengar suara di bawah sana. “Novan kenapa pa kok baru pulang?” Tanya ibu Novan. “Entah. Dia bilangnya bikin tugas di rumah temannya jadi nginep, palingan juga dia main. Mana mau dia sebegitunya buat tugas. NOVAN BELAJAR VAN! JANGAN ASIK MAIN AJA! TUH TEMEN KAMU LEBIH PINTER DARI KAMU!” Novan menghela napas panjang. Ia mengambil earphone dan menyalakan lagu. Tidak ada yang perlu ia dengar, anggap saja angin lalu. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN