Bab 18

1470 Kata
      Novan menggerutu kesal. Ia melempar pulpen ke meja. Ia mengacak- acak rambutnya. Kepalanya hampir meledak mengerjakan soal Matematika yang tiada habisnya ini. Dia sudah gumoh melihat soalnya. Dia bersandar di kursi sambil menikmati minuman soda gelas kedua. Memang cari penyakit. Palingan nanti malam juga dia bakalan sakit perut. Tapi dia tidak memperdulikannya. Dia butuh pengalih perhatian meski hanya sesaat.            “Loh? Kamu masih di sini? Aku kirain udah pulang.” Stevan datang menghampiri. Ia duduk di sebrang dan menaruh tas kerjanya di sebelah. “Heh! Kok banyak amat kamu pesen soda hah? Nanti sakit perutmu.”            Novan mengacuhkan omelan Stevan. Dia sudah tahu soal itu. “Stev, mau es krim,” gumam Novan. Stevan menghela napas.            “Ya udah, aku pesanin. Ada tambahan lain gak?” Tanya Stevan.            “Sekalian burger sama kentang ya.” Stevan mengangguk.            “Ya udah, kamu tunggu bentar.” Stevan bangkit dari duduk dan pergi meninggalkannya. Novan memakai headset dan mulai menyalakan lagu di smartphone. Ia mulai tenggelam dalam lantunan lagu.            “Oh ya, hari ini kan episode baru anime udah keluar ya.” Novan mematikan lagu dan mulai membuka aplikasi untuk menonton anime. Ia mulai terlarut dalam anime favoritnya.            “Ya elah ini anak. Belum selesai tugasnya tapi udah nonton anime aja,” gumam Stevan. Ia meletakkan nampan berisi pesanan di atas meja.            “Bentaran doang, satu episode aja kok. Udah mau pecah kepalaku kerjain soal- soal itu,” balas Novan tanpa beralih sedikit pun dari layar smartphone.            “Iya deh terserah.” Stevan balik duduk di depannya. Ia membuka bungkus burger dan mulai memakannya, sambil melirik kertas soal yang berserakan di sana. Ia memperhatikan sambil mangut- mangut.            “Udah kerjain berapa nomor tadi?” Tanya Stevan.            “Baru satu, itu pun kayaknya masih setengah,” jawab Novan sambil memberikan kertas coretan pada Stevan.            “Lah, daritadi ngapain aja baru satu soal?” Novan berdecak kesal dan melirik Stevan.            “Ya, tau dah yang pinter. Itu aja udah setengah mati aku kerjainnya.” Novan mencomot kentang dan memakannya.            “Ya kan kamu juga pinter Van. Masa baru kerjain satu soal aja sih. Minimal udah selesai tiga soal gitu.” Novan melongo. “Ini mah nggak susah- susah amat.”            “Agak beda sih otak kita berdua. Lebih encer otak kau daripada aku.” Stevan tertawa kecil.            “Ini tuh caranya kayak gini loh, kan udah aku bilang hampir sama kayak yang nomor atasnya. Terus nanti tinggal kamu giniin aja.” Stevan mencoret- coret rumus di kertas. “Woi, nengok sini. Lagi di ajarin juga.”            “Nanti deh Van, nanti. Biarin aku istirahat bentar. Kepala aku udah berasap ini,” pinta Novan.            “Yaudah.” Stevan membolak- balik kertas soal. “Kamu udah kerjain berapa soal?”            “Baru dikit. Bisalah di hitung pake jari. Kayaknya … baru 3 soal.” Stevan melongo, lalu geleng- geleng kepala.            “Masih banyak dong sisanya. Bakal selesai nggak ya ini …” Stevan membolak- balik kertas soal, lalu menaruhnya di meja. “Ya udah, aku bantu. Kalo kamu kerjain sendiri kayaknya nggak bakal beres sih ini.” Novan nyengir lebar.            “Memang tau aja deh kamu.”            “Tapi kamu kalau mau selesai, kamu harus nginap di rumahku.”            “Lah? Kok?” Novan terbelak kaget.            “Atau.” Stevan menyeruput minuman soda. “Aku yang nginep di rumah kamu. Gimana?” Novan mengeleng kencang.            “Nggak, nggak usah. Udah aku aja yang nginep di rumah kamu.” Stevan mengangguk.            “Bagus. Ya udah, kamu habisin nonton tuh. Satu episode aja ya. Habis itu kita balik ke rumahku. Besok kamu pakai seragam yang sama nggak? Kalo enggak, kamu ambil aja baju dulu di rumah, sekalian minta izin sama orangtuamu.”            “Besok masih pakai baju ini kok. Aku belum dapat seragam yang lain juga.”            “Ya udah, nanti kamu kasih ya nomor orangtuamu ke aku. Biar aku yang minta izin ke mereka.” Novan mengeleng.            “Nggak, nggak usah. Biar aku aja yang minta izin ke mereka.” Stevan mengernyitkan alis, lalu mengedikkan bahunya.            “Ya udah sih, terserah kamu. Yang penting harus minta izin dulu ya. Jangan sampai nanti di cariin.” Novan mengangguk.            “Siap Van!” ****            Mereka tiba di sebuah gedung apartemen yang lumayan tinggi. Stevan memarkirkan motornya di parkiran dan masuk ke dalam gedung. Novan mengikuti sambil memperhatikan sekitar. Ini pertama kalinya ia masuk ke dalam apartemen. Mereka masuk ke dalam lift. Stevan menekan tombol nomor 5. Lift perlahan menutup dan berhenti tepat di lantai 5. Mereka keluar dari sana dan berhenti tepat di sebuah kamar nomor 505. Stevan mengeluarkan kartu kunci dan membuka pintu.            “Yuk masuk.” Stevan masuk lebih dulu, dengan Novan yang menyusul di belakangnya.            “Permisi.” Novan masuk ke dalam. Dia membuka sepatunya. Ia langsung di sambut oleh sofa dan televisi yang lumayan besar.            “Kamu tunggu aja dulu di sini ya, bentar. Kamu nonton TV dulu ya bentar.” Stevan menyalan televisi dan menayangkan channel luar negeri. Ia juga menyalakan AC. Setelah itu, dia masuk ke dalam kamar. Novan duduk di sofa sambil memperhatikan sekeliling.            Oh, seperti ini gedung apartemen. Selama ini dia hanya melihatnya di film saja. Tidak terlalu besar, tapi sudah lengkap semuanya. Ada kitchen set yang lumayan besar dan teratur, kulkas yang besar, dan 3 pintu di sana. Ada juga balkon yang di sediakan ayunan kepompong di sana.            “Nih Van.” Stevan memberikan sebuah kaus biru polos dan celana pendek. “Mandi dulu gih, terus ganti bajunya. Tuh kamar mandinya di sana. Idupin aja air anget kalo mau.” Stevan menunjukkan pintu yang paling ujung.            “Ada air hangatnya?” Tanya Novan antusias. Stevan mengangguk.            “Ya, ada sih. Kalo kamu memang mau mandi air hangat, aku nyalain dulu gitu. Mau?” Tawar Stevan. Novan mengangguk senang. Ia masuk ke kamar mandi dan tak lama ia kembali. “Udah aku nyalain, udah bisa kamu pakai. Ada sikat gigi cadangan di laci bawah, kamu ambil aja.”            Novan mengangguk dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Ia menyalakan shower. Ah, benar. Airnya hangat. Ia mengisi bathtub sampai penuh. Ia membuka laci bawah, mengambil salah satu sikat gigi di sana. Pandangannya tertuju pada sebuah benda bulat. Ia mengambilnya dan terbelak. Ini kan, bath bomb, yang biasa di pakai untuk bathtub. Ia menaruh bath bomb itu di westafel. Nanti akan ia pakai. Ia membasahi badannya dengan shower, tak lupa ia keramas. Setelah membilas tubuhnya hingga bersih, ia membuka bath bomb itu dan memasukkannya ke dalam bath tub. Bath bomb itu perlahan menciut, larut dalam air. Perlahan Novan masuk ke dalam bath tub. Ia menghela napas panjang.            Ah, memang pas sekali berendam dengan air hangat. Jujur saja, ini kali pertamanya melakukan hal ini. Ia membilas badannya dengan air di bath tub. Ia menatap langit- langit.            “Aku pengen kayak Stevan. Tinggal sendirian di apartemen kayak gini, bisa berendam air hangat tiap hari,” gumam Novan.            Ia berendam sambil bersenandung ria. Ah, rasanya stress yang ia rasakan tadi langsung hilang seketika. Rumus- rumus matematika yang ia kerjakan tadi seakan larut ke dalam air bath tub. Ah, kapan lagi dia bisa relaks seperti ini?            Menit demi menit berlalu. Setelah di rasa airnya sudah tidak lagi hangat, Novan keluar dari bath tub. Ia membuka sumbatan saluran air sehingga bath tub kembali kosong. Ia mengelap badannya dengan handuk hingga kering dan memakai baju yang di pinjamkan oleh Stevan. Ia melilitkan handuk ke kepalanya untuk mengeringkan rambutnya.            “Udah siap mandinya? Enak berendamnya?” Tanya Stevan begitu ia keluar dari kamar mandi. Stevan sedang membuat sesuatu di dapur. Novan tidak menjawab. Ia duduk di kursi bar dan mengacungkan jempolnya.            “Aku mau jadi kayak kamu Stev,” ujar Novan. Stevan menoleh dan mengernyitkan alisnya. Ia tertawa kecil mendengarnya, lalu mengelus pelan kepala Novan.            “Iya, bisa kok kamu kayak aku. Asal kamu belajar yang rajin aja, masuk universitas yang bagus, biar bisa hidup kayak gini.” Novan mengangguk pelan.            “Kamu keringin rambut kamu dulu gih. Itu ada hair dryer di sana. Habis itu kita lanjut kerjain soalnya.” Stevan menunjuk hair dryer yang tergeletak begitu saja di atas laci dekat televisi.            “Yah, Stev …” Novan menggerutu.            “Tapi katanya mau jadi kayak aku?” Seketika Novan terdiam. Dia mengangguk yakin. Ia mengambil hair dryer dan mengeringkan rambutnya. Stevan menghampiri sambil membawa sepiring brownies dan dua gelas kopi s**u.            “Van,” panggil Stevan. Novan menoleh. Stevan duduk di sebelahnya. “Kamu kalo ada masalah apa- apa, di rumahkah, atau di sekolah, kamu panggil aja aku, oke? Aku bakal datang buat kamu.”            Novan menatap Stevan lamat- lamat, lalu mengangguk pelan. “Iya Van.” Stevan menyinggungkan senyum kecil.            “Oke kalo gitu. Ini rambut udah lumayan kering kan? Kita lanjut ya kerjainnya.” Stevan mengangkat meja kecil ke tengah mereka. Ia mengeluarkan kertas soal dan buku coretan.            “Kita mulai dari nomor … 14.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN