Bab 17

2366 Kata
         “Udah ya, jangan protes ke aku lagi. Kalo mau kalian protes ke mereka nih, yang pergi kabur tapi ketangkep. Atau nggak ke bu Julia sana,” ujar Andi. Ia berdiri di depan kelas dan menghitung setiap meja yang ada.            “Oke. Udah semuanya,” gumam Andi. “Kerjain aja dari sekarang, pelan- pelan.” Andi kembali ke bangkunya.            “Ck, kalian ini! Gak pro banget sih kaburnya!” Gerutu salah seorang anak perempuan sambil menyikut anak laki- laki yang ketangkap bu Julia. Mereka berdecak kesal.            “Ya kami mana tahu kalo beliau bakalan ke kantin! Kan biasanya beliau jarang ke kantin luar.”            “Gila kalian ya, ke kantin keluar ternyata. Pantes aja mengamuk bu Julia.”            “Heh! Udah udah!” Andi memukul papan tulis. “Udah nggak usah ribut lagi. Terserah kalian mau kerjainnya kapan. Pokoknya lusa udah selesai, kalian kumpulin di meja bu Julia.” Andi menatap sekeliling kelas. “Jangan ada yang nggak kumpulin. Jangan cari masalah lagi kalian. Nanti semua yang kena getahnya.”            “Terutama kalian, Andre, Ghesa, Yudi, Tata, Vea.” Andi menunjuk anak- anak yang tadi ketahuan bu Julia. “Kalian tugasnya di tambah, kerjain essai bahasa Inggris, isinya permintaan maaf kan. Kalian kumpulin sekalian dengan tugas ini.”            Mereka yang di sebutkan namanya mengangguk dan menundukkan wajahnya. Mereka berdecak kesal sambil membolak- balik kertas soal.            “Ndi, ini kerjainnya dimana? Nanti kalo salah malah kena hukum lagi pula,”tanya seorang anak perempuan.            “Oh, itu kerjainnya di kertas HVS ya. Harus lengkap semua rumus- rumusnya pokoknya,” jawab Andi.            Novan membolak- balikkan kertas soal yang diberikan Andi tadi. Kurang lebih ada 35 soal dan semuanya soal essai. Novan geleng- geleng kepala melihat soalnya. Kurang lebih soal ini setara dengan ujian masuk perguruan tinggi, yah menurutnya begitu.            “Udah aku bilang kan?” Iwan menyikut Novan. “Bu Julia itu memang nggak biasa.” Novan mengangguk setuju. Ya, dia juga baru pertama kali ketemu dengan guru BK yang kasih hukuman seperti ini.            “Tapi ini soalnya banyak banget sih, dan susah. Ini soal masuk universitas punya kapan sih,” gerutu Novan sambil terus membolak- balikkan kertas soal.            “Memang. Beliau kalo kasih soal mah susah. Terus tahu nggak apa yang lebih nggak biasa lagi?” Tanya Iwan. Novan menoleh.            “Apaan memang?” Tanya Novan.            “Ini soal, beliau semua yang sediain. Ini masih mending sih, soalnya dari test masuk universitas. Biasanya beliau siapin sendiri soalnya dan lebih susah daripada yang di kasih sekarang,” jawab Iwan. Novan membelakkan mata.            “Memang beliau guru BP yang agak lain. Seribu satu ada guru kayak gitu,” timpal Andi. Ia duduk kembali di kursinya. “Dan lagi, semua ini bakal beliau periksa sendiri. Ingat, SENDIRI.” Andi menekankan kata ‘sendiri’. Novan makin lebar membelakkan matanya.            “Pinter banget dong beliau,” ujar Novan.            “Ya memang. Kayaknya guru paling pinter di sekolah ini beliau deh. Selain jago nih Matematika, beliau juga bagus di bidang bahasa, bahkan bisa sedikit bahasa Perancis yang susah itu,”ujar Iwan.            “Nggak cuma itu, beliau juga bagus di kesenian. Tuh kalo soal melukis pasti bagus deh. Kadang aja, pak Afro, guru seni lukis kita, kasih lukisan karya bu Julia buat referensi,” timpal Andi.            “Olahraga juga lumayan kan beliau. Beliau katanya juga atlet badminton kan. Sering ikut kejuaraan badminton semasa beliau sekolah dulu, bahkan sampai ke jenjang nasional.” Gilang ikut menimpali. Novan tercengang penuh kagum.            “Terus kalo hebat begitu, kenapa beliau malah jadi guru BK? Kenapa nggak profesi lain gitu, dosen misalnya atau apa,” tanya Novan. Ketiga temannya mengedikkan bahu.            “Entahlah. Sudah jalan beliau memang begitu. Mau di bilang apa coba,” jawab Andi. Novan mangut- mangut. Ya, tidak salah juga sih memang.            “Kerjain aja dari sekarang sih, kalau bisa,” saran Andi. Terdengar suara decakan kesal dari seisi kesal. Novan menghela napas panjang. Dia tidak yakin ini bakalan selesai hanya dalam 2 hari, tapi itu bisa dia lakukan. Asal … Novan Van Stevan Uy Stevaaannn Stevan Ya Uy Kenapa? Ada apa ni? Aku lagi kerja Novan Van Bantuin. *sent photo* Bantuin. Nomor yang aku lingkarin aku ga ngerti Stevan Ck, kebiasaan Yaudah nanti aku beres kerja. Dikit lagi beres sih ini. Gampang itu, Nanti aku jemput pulang sekolah ya. di halte biasa. Sekalian di ajarin. Biar bisa sendiri, makin pinter makin tampan Novan Terserah deh yang pentin bantuin thanks            Novan menyimpan kembali smartphone ke dalam tasnya. Ia memeriksa satu persatu soal dan mengeluarkan kertas coretan. Kerjakan saja sebisanya, sisanya nanti bakal dia serahkan ke Stevan. Ada gunanya kadang si Stevan ini. ****            Berkat soal hukuman yang di berikan oleh bu Julia, kelas XI MIPA 2 jadi kelas yang paling hening dan paling rajin. Semua murid menunduk, mengerjakan soal latihan yang diberikan bu Julia. Salah seorang guru berdiri di depan pintu kelas dan geleng- geleng kepala.            “Kalian nggak ada guru ya?” Tanya beliau.            “Nggak ada pak Jojo,” jawab semuanya bersamaan.            “Jadi kalian kok tumben nggak ada yang keluar kelas? Kalian dapat tugas ya?” Tanya beliau lagi.            “Iya pak, tugas dari bu Julia,” jawab Andi mewakili kami. Pak Jojo agak kaget, namun kemudian mangut- mangut.            “Oh, pantesan,” ujar beliau. “Harusnya setelah ini jam pelajaran saya, tapi kalian kayaknya nggak akan fokus buat belajar kalau belum selesai itu dari bu Julia. Ya sudah, saya juga mau jemput anak dulu sebentar. Kalian jangan ada yang keluar ya.” Beliau melambaikan tangan dan meningggalkan kelas.            Novan melongo. Tidak ada guru yang protes soal hukuman ini, bahkan mereka memaklumi. Ia geleng- geleng kepala. Sepertinya bu Julia ini guru BK yang amat di segani oleh murid dan guru- guru di sekolah ini. Apa jangan- jangan juga lebih di segani daripada Kepala Sekolah sendiri? Entahlah.            Ia melihat sekeliling. Benar- benar hebat sekali efek hukuman bu Julia ini. Tidak ada satupun yang mendongakkan kepalanya, semuanya menunduk dan mengerjakan setiap soal dengan sangat serius. Novan kembali menatap soal di meja. Ah sudahlah, lebih baik dia selesaikan saja soal ini, daripada nanti akan diberikan hukuman tambahan. ****             Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Bahkan sampai bel pulang berbunyi pun, pak Jojo tidak kembali juga ke kelas. Sepertinya beliau lebih memilih menghabiskan waktu dengan anaknya daripada menganggu kami yang tengah fokus mengerjakan soal hukuman. Begitu bel berbunyi, Novan langsung membereskan barang- barangnya. Ia menenteng tasnya dan segera keluar dari kelas. Ia mengeluarkan smartphone dari tas dan menekan satu nomor.            “Halo Stevan?”            “Ya, halo Van. Kenapa? Tumben nelpon,” tanya Stevan di ujung sana.            “Aku udah pulang sekolah,” jawab Novan.            “Oh, kamu udah pulang? Oke oke. Kamu tunggu aja di halte kemarin ya. Bentar lagi aku ke sana. Udah makan?”            “Belum.”            “Oke. Kamu tunggu aja di sana ya. ini aku langsung gerak nih. Jangan kemana- mana!”            Stevan mematikan telpon. Novan menaruh smartphone di kantung celana. Dia hendak keluar dari gerbang sekolah, tapi seseorang memanggilnya.            “Novan!” Panggil seseorang di belakang. Novan menoleh. Tampak Karyo sedang mengejarnya. Novan berhenti. Karyo menepuk pelan pundaknya. Dia tampak terengah.            “Ada apa Yo?” Tanya Novan.            “Anu … kamu mau pulang? Kita ada rapat …” jawab Karyo.            “Sori, aku kayaknya nggak bisa ikut rapat. Aku ada perlu, mau kerjain tugas banyak.” Karyo mengangguk.            “Aku belum selesai ngomong. Kita ada rapat, tadinya. Tapi nggak jadi, Kirana ada perlu. Jadi nanti dia bakal omongin lagi kapan kita rapatnya di grup. Kemungkinan buat bantu masak buat jualan, kita bakalan ngumpul di rumah siapa gitu nanti,” jelas Karyo.            “Oh, aku kirain …”            “Aku manggil kamu buat bilang itu, terus aku juga mau nanya, kamu bawa motor nggak? Aku mau nebeng, hehe …” Karyo nyengir lebar.            “Sori Yo, aku nggak bawa motor. Aku di jemput di halte. Kalo kamu mau nebeng, tuh sama si …” Novan melirik ke parkiran. Ada Andi di sana yang sedang mengeluarkan motornya dari parkiran.            “Ndi! Andi!” Novan melambaikan tangannya. Andi meliriknya dan mengendarai motor mendekati mereka.            “Ada apa Van?” Tanya Andi.            “Nih, Karyo mau nebeng. Boleh nggak?” Novan menunjuk Karyo. Andi menoleh ke Karyo.            “Tumben kamu nggak bawa motor Yo. Kenapa?” Tanya Andi. Karyo nyengir lebar.            “Yah, biasalah. Kan kamu tahulah ya …” Jawab Karyo. Andi geleng- geleng kepala.            “Jangan kebiasaan. Ya udah nih.” Andi memberikan helm pada Karyo. Karyo memakainya dan duduk di jok belakang. “Lima puluh ribu ya sampek rumah.”            “k*****t. Aku isiin bensin aja dah.”            “Oke. Bagus.” Andi menyalakan klakson. “Duluan ya Van.” Andi menyalakan motor dan perlahan motornya meninggalkan gerbang sekolah.            Novan kembali melanjutkan langkah. Ia pergi ke halte kemarin. Kali ini dia memakai hoodie dan tak lupa memakai headset. Ia tidak ingin mengobrol dengan siapapun yang ada di halte. Ia menunggu sambil mendengarkan lantunan lagu dari smartphone.            Tak lama, sebuah motor menyalakan klaksonnya. Novan menoleh. Stevan membuka kaca helm.            “Buruan ayok, aku nggak bisa lama nih!” *****            Stevan memarkirkan motornya di salah satu restoran fast food. Ia melepaskan helm dan menggantungkannya di spion motor. Novan melepaskan helmnya dan menggantungnya di spion satunya.            “Kamu belum makan kan? Kita makan di sini aja nggak apa?” Tanya Stevan. Novan mengangguk.            “Mana aja boleh sih, asal kamu bayarin,” jawab Novan.            “Ya pastilah! Kan aku yang ajak!” Stevan membuka pintu restoran. Ia sedikit tercengang dengan antrian yang ada. Lumayan ramai. Maklum, jam makan siang dan waktunya anak- anak pulang sekolah.            “Weh, rame banget ternyata. Ya udah deh, kamu cari tempat duduk aja dulu Van. Biar aku yang ngantri. Kamu mau pesen apa?”            “Paket ayam aja, kalo bisa yang ada cream soup.”            “Oke. Dessertnya mau es krim atau pudding? Atau yang lain?”            “Es krim aja, kalo dua- duanya boleh sih.” Stevan berdecak. Novan nyengir lebar.            “Ya udah terserah kamulah. Udah sana cari tempat!”            Novan berpisah dari Stevan. Ia memperhatikan sekeliling. Ramai sekali. Sepertinya tidak ada bangku yang kosong di sini. Novan menghampiri Stevan.            “Van, rame di bawah. Aku coba cari di atas ya.”            “Boleh dah boleh.”            Novan pergi ke atas. Syukurlah di atas tidak terlalu ramai. Novan duduk di sudut ruangan yang dekat dengan jendela. Ia mengeluarkan soal dan kembali mengerjakannya sembari menunggu Stevan. Beberapa pasang mata memperhatikannya, tapi dia tidak memperdulikan hal itu. Sudah biasa menjadi pusat perhatian, meski dia tidak suka akan hal itu.            Stevan datang menghampiri sambil membawa nampan yang penuh dengan pesanan. Novan segera menyingkirkan kertas yang berserakan di meja dan membantu Stevan menaruh nampan di atas meja.            “Nih, kamu pesen ini kan?” Stevan memberikan pesanannya. “Es krim nanti aja ya aku pesen. Kalo pesan sekarang nanti keburu cair.”            Novan mengangguk dan menyeruput minuman soda pesanannya. Ah, sudah lama sekali dia tidak minum minuman bersoda. Stevan melirik kertas yang berserakan di meja dan mengambil salah satunya.            “Ini soalnya?” Tanya Stevan. Novan mengangguk sambil menyantap cream soup. Stevan memperhatikan soal itu lamat- lamat dan mangut- mangut. Ia membolak- balikkan kertas soal itu. “Banyak juga ya. Rajin amat gurunya.”            “Tapi itu bukan guru Matematika yang kasih tugasnya,” celetuk Novan. Stevan mengernyitkan alisnya.            “Lah? Tapi kan ini tugas Matematika.”            “Ya, tapi yang kasih tugasnya guru BK.” Novan menceritakan kejadian yang terjadi di kelasnya. Stevan mendengarnya dengan seksama dan geleng- geleng kepala.            “Agak lain ya guru BK kamu itu,” ujar Stevan.            “Memang, seribu satu kayaknya guru BK yang kayak gitu. Mana lusa harus selesai lagi. Sebenarnya sih ya aku males aja ngerjainnya. Tapi terasa banget sih dari aura sekelas, kalo nggak kerjain bakalan ada soal lebih ganas lagi yang di kasih. Makanya aku kerjain aja dah.”            “Ya nggak apa sih. Mending kerjain aja, bikin rajin sesekali.”            “Kamu ngerti kan Van soalnya? Pada susah susah, aku cuma ngerti beberapa aja.”            “Heem …” Stevan memperhatikan soal itu lamat- lamat. Ia menggaruk dagunya. “Kayaknya sih aku bisa bantu. Ini ada beberapa yang nampak mudah sih, bentar. Mana kertas dan pulpen?”            Novan memberikan kertas coretan dan pulpen pada Stevan. Stevan mulai mencorat- coret rumus di sana, sambil sesekali memperhatikan soal yang ada dan mangut- mangut. Novan yakin Stevan bisa mengerjakannya, bahkan jauh lebih cepat darinya. Stevan ini terkenal pintar sejak dia kecil dan selalu rangking 1 saat sekolah.            “Nih, yang ini nih caranya kayak gini.” Stevan menunjukkan kertas coretan pada Novan. Novan mangut- mangut melihatnya. “Ini tuh pertama hitung ininya dulu kan, terus kamu masukin rumus yang ini. Ini rumus cepatnya sih, kalau mau di jabarin lagi juga bisa.” Stevan menjelaskan coretan rumusnya secara singkat dan jelas. Novan mangut- mangut mendengarnya.            “Oh iya iya, aku paham.”                   “Nah, soal yang ini sama tuh rumusnya kayak soal di nomor .. nih, nomor 12. Nomor 10 dan 12 sama ya rumusnya, cuma beda angka aja sih. Terus kalo yang nomor 13 ini …” Stevan hendak mencoret lagi di kertas coretan, tapi Novan menahannya.            “Makan dulu Van, baru kerjain lagi,” ujar Novan.            “Oh iya. Duh lupa.” Stevan menyeruput minuman sodanya dan memakan burger pesanannya. “Nanti aku balik kantor lagi nih. Ini lagi istirahat makan siang. Kamu gimana? Aku antar pulang atau ikut aku ke kantor? Kantor aku deket sih, di sebrang sana.” Stevan menunjukkan sebuah gedung tinggi di sebrang restoran fast food.            “Hem, terserah aja sih. Yang penting tugas aku selesai aja.”            “Aku bantuin kok, pasti. Jadi gimana? Aku nggak bisa anterin pulang sih, palingan nanti aku pesanin ojol aja. Atau kamu mau ikut ke kantor aja? Nunggu aja di ruang tunggu.”            “Hem … aku tunggu di sini aja deh. Sambil kerjain soalnya di sini aja.” Yah, daripada dia harus tunggu di kantornya Stevan. Bakalan canggung banget nanti.            “Ya udah, nanti aku pulang jam 4. Aku jemput di sini ya.” Stevan mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu rupiah dan memberikannya pada Novan. “Nih buat kamu, buat jajan. Nanti pesan aja lagi sambilan nungguin aku pulang.” Novan menerima uang itu.            “Thanks Stevan.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN