Bab 19

1220 Kata
      Alaram berbunyi dengan sangat kencang. Novan mematikan alaram dengan kesadaran yang masih ambang. Ia hendak kembali tidur, tapi wangi masakan membangunkannya. Masih setengah mengantuk ia bangkit dari tidur dan mengikuti aroma wangi itu.            “Udah bangun?” Tanya Stevan. Ia tampak mengenakan kaus yang di lapisi dengan celemek berwarna ungu. Novan mengangguk pelan. “Kamu mandi dulu sana. Biar ilang ngantuknya.” Stevan melemparkan handuk padanya. Novan melangkah lunglai menuju kamar mandi. Ia menyalakan shower dan berteriak kencang. “PANASS! STEVAN!!” Teriak Novan dari dalam kamar mandi. “Eh sori sori! Aku lupa matiin pemanasnya!” Stevan segera menuju ke heater dan mematikannya. Novan menghela napas lega saat suhu air perlahan mulai turun. Kali ini dia tidak berendam. Lebih baik membasahkan seluruh badannya dengan shower. “Van, ini baju kamu aku taruh di depan ya,” ujar Stevan dari balik pintu. Novan tidak menanggapi. Stevan menaruh keranjang berisi seragam di depan pintu, lalu kembali ke dapur. Novan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk mantel. Ia berhenti di depan pintu saat melihat keranjang berisikan seragamnya di sana. “Dasar, mama Stevan,” gumamnya. Ia mengambil keranjang itu dan memakai seragamnya. Setelah semua beres, ia duduk di kursi bar. Stevan masih di sana, menyajikan sarapan untuk mereka. “Yuk sarapan dulu yuk,” ajak Stevan. “Ini omurice. Kamu mau s**u nggak? Atau teh? Air putih aja apa?” Stevan menawarkan. “s**u aja kalo boleh,” jawab Novan. Stevan menuangkan s**u ke dalam gelas dan memberikannya pada Novan. “Thanks.” Stevan melepaskan celemeknya dan duduk di sebelah Novan. Novan mencuil sedikit omurice di depannya. Omurice ini penampilannya sempurna, seperti yang ada di resto. Ia memakannya sedikit dan terbelak kaget. Ini enak! Omurice ini benar- benar enak! Bahkan lebih enak daripada yang pernah dia makan di resto. Novan menyendokkan lagi omurice ke mulutnya. “Enak nggak?” Tanya Stevan. Novan mengangguk. “Pelan- pelan ya kamu makannya. Itu baju kamu baru di cuci, jangan sampai kotor.” “Hah? Kamu cuci bajunya?” Stevan mengangguk. “Iya. Di bawah ada laundry, ada mesin pengeringnya juga. Terus ada jasa setrika juga sih sekalian. Paling 2 jam gitu juga udah beres.” Novan mangut- mangut. “Tapi kapan kamu bawa baju aku ke laundry? Kan semalaman kamu ajarin aku?” “Waktu kamu tidur. Tepar banget kamu semalem. Udah selesai ngerjainnya belum?” “Hem, baru setengah sih, kayaknya. Setidaknya 10 soal sih udah dapetlah.” Stevan mangut- mangut. “Yaudah bagus. Dikit lagi itu udah selesai kan.” Novan mengangguk. Ya, walaupun sebenarnya dari 10 soal yang selesai semalam, 8 soalnya itu di kerjakan oleh Stevan. Ia hanya mengerjakan 2 soal, yang belum tentu benar pula. Kalau Stevan mah udah kemungkinan besar bakal benar, secara dianya memang pinter. Stevan melirik jam tangannya. “Eh, udah jam segini. Ayo kita berangkat. Aku antar kamu ya sampai sekolah.” Stevan mengambil jasnya yang tersampir di kursi bar. “Gak usah Van, aku naik angkot aja. Atau naik ojek,” tolak Novan. “Hah? Enggak enggak. Kamu lagi samaku. Aku harus antar kamu pokoknya. Udah nggak usah naik angkot atau ojol, biar hematlah.” Stevan mengenakan jasnya. “Yuk. Ambil tas kamu gih.” Novan buru- buru mengambil tasnya yang tergeletak begitu saja di sofa. Mereka keluar dari kamar berbarengan. Stevan mengunci pintu. Setelah itu, mereka turun bersama ke lantai bawah menggunakan lift. ****            Kami tiba di parkiran. Tapi kali ini tidak di parkiran motor, melainkan di parkiran mobil. Stevan menyalakan alaram mobil di kuncinya. Sebuah mobil keluarga berwarna hitam menyalakan lampu sen.            “Yuk, yuk, masuk.” Stevan membuka pintu dan duduk di kursi kemudi. Novan duduk di kursi belakang. Stevan menoleh padanya.            “Kamu ngapain di belakang hah? Memangnya kamu naik taksi sama aku hah?” Tanya Stevan. “Duduk depan sini!”            “Ah eh, iya.” Novan akhirnya pindah duduk di depan, sebelah kemudi. Ia menelan ludah. Sebenarnya dia agak canggung sih untuk duduk di depan. “Motor kamu mana? Kok nggak naik motor?” Tanya Novan.            “Ada, di parkiran biasa. Hari ini agak mendung, takutnya hujan jadi mending naik mobil.” Stevan memutar kunci mobil. Ia menginjak rem dan perlahan mobil keluar dari wilayah apartemen.            Jalanan sudah agak ramai, tapi mereka belum terjebak kemacetan. Sepanjang jalan mereka hanya diam sambil menunggu lampu merah berubah menjadi hijau. Hanya iringan lagu dari radio yang memecahkan kesunyian itu.            “Orangtua kamu ada telpon nggak semalem?” Tanya Stevan. Novan mengeleng.            “Nggak sih, kan kamu udah telpon duluan minta izin kan,” jawab Novan. Stevan mangut- mangut.            “Kalau misalnya, nggak aku telpon, langsung aku ajak kabur aja gitu, mereka bakal telpon kamu nggak?” Novan mengerlingkan matanya.            “Yah, mungkin?” Novan mengedikkan bahu. “Entahlah, mungkin mereka bakal telpon sekali. Atau mereka nanya lewat chat, gitu.” Stevan mangut- mangut.            “Yah, bagus sih. Namanya juga sama anak ya, pasti kalo ilang di cariin,” gumam Stevan. Lampu merah kini berubah menjadi hijau. Stevan kembali menginjak rem perlahan, meninggalkan jalanan itu bersama dengan kendaraan yang lain.            “Aku turun di halte kemarin aja,” pinta Novan.            “Nggak, aku bakal antar kamu sampai ke gerbang,” tolak Stevan.            “Nggak usah Van ..” Stevan mengeleng.            “Aku nggak mau denger penolakan. Oke? Bilang kamu sekolah dimana, aku anterin sampai ke dalam kalo perlu.” Novan geleng- geleng kepala.            “Yaudah, antar sampai gerbang aja.” ****            Mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Stevan memperhatikan sekitar sambil mangut- mangut. Novan melepas seatbelt yang tadi di pakai dan kembali menggendong tas sekolahnya.            “Ya udah, aku pamit dulu.” Novan membuka pintu mobil.            “Eh bentar!” Novan menoleh. Dia menutup pintu mobil.                  “Kenapa? Ada apa? Ada yang tinggal?” Stevan menjulurkan tangannya.            “Salim dulu kek. Ini main pergi turun aja!” Gerutu Stevan. Novan mengerlingkan matanya. Ia menyalim tangan Stevan. Stevan menunjuk pipinya. “Sekalian nih, cium pipi juga.”            “Dih, ogah!” Novan melepaskan tangan Stevan. Ia hendak membuka pintu mobil, tapi Stevan kembali mencegatnya.            “Eh eh, tunggu bentar!” Novan menoleh.            “Apalagi sih Stevan?” Tanya Novan. Ia kembali menutup pintu. Stevan mengambil tasnya dan tampak sibuk mencari sesuatu di tasnya.            “Nah, ini!” Stevan memberikan tiga lembar uang seratus ribu rupiah kepada Novan. “Buat jajan.”            “Nggak usah Van. Yang kemarin aja masih ada sisanya,” tolak Novan.            “Nggak boleh di tolak!” Stevan menarik tangan Novan dan meletakkan uang itu ke tangannya. “Buat nambah- nambah jajan. Tapi jangan boros ya, kalo bisa di tabung.”            Novan menghela napas dan mengangguk. “Ya udah dah, aku turun dulu ya.” Novan membuka pintu mobil dan keluar dari sana.            “Eh Van, kalo pulangnya hujan kamu telpon aja aku ya. Nanti aku jemput. Oh iya, itu ada aku bawain bekal dan botol minum, biar kamu nggak sembarangan jajan. Aku juga ada bawain payung kecil di tas kamu.” Stevan memberitahu. Novan geleng- geleng kepala.            “Iya iya, hadeh Van. Makasih banyak ya.” Novan menutup pintu mobil. Ia melambaikan tangan, dan di balas dengan bunyi klakson mobil oleh Stevan. Perlahan mobil Stevan pergi meninggalkan gerbang sekolah, bersamaan dengan Novan yang masuk ke dalam. Ia melirik tasnya. Ya, ada sebuah botol minum yang tersampir di kantong samping tas. Dia geleng- geleng kepala melihatnya.            Dasar Stevan. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN