Bab 44

1157 Kata
         Novan memegangi kupingnya yang agak merah karena di jewer. Novan memperhatikan sekitar. Rumah ini tampak tidak asing baginya, begitu pula perempuan itu. Perempuan yang mengaku sebagai ibunya.            “Masih sakit kali dia nih ma, makanya ngomongnya ngaco,” timpal Stevan.            “Mana, coba mama periksa.” Perempuan itu menaruh tangannya di kening Novan. “Nggak ah, nggak panas. Udah turun panasnya kok, nggak kayak tadi.”            “Jangan- jangan beneran lagi dia lupa ingatan karena demam tinggi tadi …” Gumam Stevan.            “Hush! Ngaco kamu! Mana ada yang kayak gitu.” Ucap perempuan itu tak percaya.            “Kali aja mah, karena demamnya terlalu tinggi. Jadi bikin sel- sel di otaknya jadi gak karuan gitu, yah gak terkoneksi satu sama lain itu saraf- sarafnya.”            “Kalau dia memang lupa ingatan, kenapa dia masih ingat kamu? Kalo gitu mah dia bakal lupa sama semuanya!” Tukas perempuan itu tak percaya.            “Ish, kali aja! Coba nih, nama kamu siapa?” Tanya Stevan sambil menunjuk Novan tepat di depan matanya.            “Novan … kan? Kamu Stevan kan?” Tanya Novan balik.            “Iya, aku Stevan. Bener. Tuh, inget nama sendiri. Umur kamu berapa?” Novan mengernyitkan alisnya.            “Hem … 16 … hampir 17 gitu … kan?”            Mereka berdua terbelak, lalu geleng- geleng kepala. “Dah deh, ngaco. Aku aja belum legal, masa kamu udah ngaku legal.”            “Iya iya, kamu mau cepet gede ya, makanya bilang umur segitu. Kalo kamu umur segitu, pasti lebih keren daripada si Stevan.” Perempuan itu mengelus pelan rambut Novan. “Udah udah, kayaknya kamu masih nggak enak badan. Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Van, kamu bawa dia ke kamar ya.”            “Oke!” Stevan menarik tanganku, lalu membisikkan sesuatu. “Kita ini ke kamar dulu, terus nanti kita main ya!”            “Heh, bisik- bisik apa itu hah?!” Perempuan itu berkacak pinggang. Stevan nyengir lebar dan lari kencang sambil menarik tangan Novan.            “Kabur Van, kabur!”            “WOI JANGAN DI BAWA KABUR! ITU ANAKNYA MASIH SAKIT!” *****            Stevan tidak memperdulikan teriakan perempuan itu. Ia tetap membawaku lari keluar rumah. Kami berhenti di sebuah lapangan kosong.            “Hah, udah aman. Mamah nggak mungkin bisa kejar kita sampai sini,” gumam Stevan. Ia menarik tangan Novan. “Yuk, kita main dulu yuk. Baliknya entar sorean aja.”            “Tapi nanti dia marah …” Gumam Novan linglung. Stevan tertawa kecil mendengarnya.            “Ya ampun, kamu bilang mamah kamu itu ‘dia’? Kalau mamah tau bakalan di jewer lagi kamu!”            Novan memegangi kedua kupingnya yang masih merah. “Anu … itu mamah ya? Mamah aku atau mamah kamu?” Tanya Novan. Stevan menoleh dan terbelak.            “Ya mamah kamulah! Hadeh!”            “Tapi kamu juga manggil dia mamah …”            “Iya, mamah kita bersama. Kan udah kebiasaan. Kamu kayak yang nggak tahu aja. Kamu beneran lupa ingatan, atau cuma pura- pura sih?”            Novan linglung. Dia tidak tahu harus menjawab seperti apa. Dia hanya nyengir lebar. “Nggak kok, aku pura- pura aja kok. Hehehe …”            Stevan mengernyitkan alisnya. “Kamu jangan pura- pura gitu ya. Kasian mamah.” Novan mengangguk pelan. “Oh ya, jajan yuk! Di kedai mak Inah ada es krim baru loh! Yuk beli!”            “Kedai mak Inah?” Hem, nama kedainya tidak asing.            “Iya, tuh di ujung jalan sana. Yuk. Tapi kamu jangan bilang- bilang mamah ya kalo kita beli es krim.”            “Oke, ayo.” *****            Mereka menyusuri jalan menuju kedai mak Inah. Novan memperhatikan sekeliling. Ia merasa terjebak di ruang nostalgia. Perlahan ia ingat dimana tempat ia berpijak sekarang. Ia kembali ke masa ia masih kecil, tinggal di daerah pinggiran kota yang dekat dengan perkampungan. Masih asri dan tidak ada rumah yang saling berdempetan. Mereka menyusuri jalanan besar dengan hamparan sawah di sekelilingnya.            Kenangan sedikit terbuka perlahan. Novan dan Stevan sering main di sana dulu. Kadang mereka menyusuri sawah, kadang mereka ikut membantu petani di sana memanen padi dan mendapat imbalan sekarung kecil beras untuk di bawa pulang. Mereka juga sering main di lapangan bersama dengan teman- teman yang lain.            Stevan banyak teman di lingkungan sini, sedikit berbeda dengan Novan yang agak pemalu. Kulitnya tampak belang karena ia sering main di tengah panas terik. Tapi ia bersyukur dengan adanya Stevan, karena berkatnya ia jadi kenal dengan anak- anak di lingkungan sini. Tapi sebagian besar teman- temannya itu sebaya dengan Stevan dan kalau Novan ikut main, hanya akan jadi anak bawang.            “Mak Inah, belii…” Panggil Stevan nyaring.            “Iya iya, bentar …” Seorang perempuan paruh baya keluar dengan setelan daster dan koyo di keningnya. “Hah, mau beli apa kau Van?”            “Mau beli es krim mak.” Stevan membuka rak es krim dan mengambil salah satu es krim dari sana. “Kamu mau yang mana?”            “Terserah deh.”            “Hah, ini kau ngebon lagi nggak? Kalo kau ngebon lagi kudatangi mamak kau ya. Masih kecil udah banyak kali ngebonnya,” gerutu mak Inah dengan wajah garang.            “Enggak mak, ini langsung bayar kok. Ini mak.” Stevan memberikan gumpalan uang kepada mak Inah. “Pas itu mak, makasih ya mak.”            Mak Inah mengambil uang dari tangan Stevan. Stevan buru- buru menarik tangan Novan dan lari sekencangnya dari sana.            “HEH! INI MAH UANG MAINAN! HEH BALIK KAU!” ****            Stevan tertawa sepanjang jalan sambil menikmati es krimnya. Novan geleng- geleng kepala.            “Eh itu es krimnya makan terus. Nanti cair. Kalo makan di rumah nanti ketauan mamah loh,” ujar Stevan.            “Van, nggak boleh gitu loh Van. Kasian mak Inah,” balas Novan.            “Becanda doang kok. Nanti bakal aku kasih uang asli kok. Tadi aku lupa, kirain bawa duit. Taunya di saku malah cuma ada uang mainan.”            “Kasih terus itu ya. Nanti kalau ketahuan sama mamah, kita berdua yang di marahin. Jangan seret- seret aku loh, aku nggak tahu.”             “Iya iya ah. Bawel banget kamu. Udahlah, cepet kamu habisin itu es krim. Terus kita pulang. Hari ini papah pulang cepat, mau bawa sesuatu buat kita.”            “Papah?” ****            “Hah, udah pulang kalian. Ini si Stevan, bukannya tidur siang sama Novan, malah keluyuran!” Omel perempuan itu.            “Ya mah, kan Novan udah sembuh. Ngapain coba tidur siang, nggak enak. Mending main di luar, ya gak?” Stevan menyikut Novan. Novan hanya mengangkat bahu. Perempuan itu geleng- geleng kepala.            “Ya ampun kalian ini. Kalo udah gede baru deh nyesel, waktu kecil nggak pernah tidur siang.”            “Ye, kan menikmati waktu sebelum gede mah.” Stevan bersungut kesal.            “Terserah kalian lah. Udah sana kalian mandi, bentar lagi papa sampai.”            “Iya, iya.” Stevan mengangguk pelan.            “Papa pulang!” Terdengar suara pintu di buka bersamaan dengan suara bariton khas pria dewasa. Semua menoleh ke pintu. Stevan dan perempuan itu  menyalim papa, hanya Novan yang terdiam di tempat.            “Novan? Kamu nggak kangen papa?” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN