Bab 45

1096 Kata
         Novan sembunyi di balik punggung Stevan, membuat papa mengernyitkan alisnya. Novan geleng- geleng kepala. Ini bukan papa. Papa yang kutahu adalah sosok pria berkumis dengan badan tegap dan berwajah seram. Tidak seperti sekarang yang tidak berkumis dan sangat ramah. Papa yang ramah, biasanya karena ada sesuatu yang ia sembunyikan.            “Kenapa kamu sembunyi di balik Stevan?” Tanya papa. Stevan mengangkat bahunya.            “Tau nih pa. Eh, kenapa kamu sembunyi di balik itu sih? Kamu kan biasanya selalu nanyain kapan papa pulang, kan kamu selalu deket sama papa,” Tanya Stevan. Novan geleng- geleng kepala.            “Tadi Novan sakit pa, demam tinggi banget. Mungkin karena itu dia nggak mau deket sama papa,” timpal perempuan yang mengaku mama Novan.            “Lah, dia tadi demam? Sekarang gimana? Masih demam juga nggak? Masih sakit?” Papa menghampiri Novan. Ia hendak memegang kening Novan, tapi langsung ia tepis.            “Loh? Novan?” Stevan terbelak kaget.            “Gak apa. Novan kayaknya masih sakit. Kan kalau sakit gitu dia, nggak mau deket- deket sama orang lain.” Papa Novan bangkit berdiri. “Oh ya, papa ada beli oleh- oleh. Tapi kayaknya nggak bisa di makan sekarang, soalnya papa beliin es krim buat kalian.”            “Es krim?!” Mata Stevan berbinar. “Aku mau! Aku mau!” Dia pergi membuka kulkas, tapi mama Novan langsung menutup pintu kulkas.            “Eh! Nggak! Nggak ada makan es krim! Kita makan sama- sama waktu Novan udah sembuh.”            “Yah mama, Novan nggak apa- apa lagi kok! Tuh lihat dia sehat walafiat kan? Tadi aja kami jajan es krim di kedai mak Inah, dianya nggak apa kok!”            “Hah? Kalian beli es krim di kedai mak Inah?” Tanya mama Novan. Stevan menutup mulutnya dan nyengir lebar. Mama Novan menatap Stevan dengan tatapan tajam.            “Stevan! Kamu tahu kan itu adikmu masih sakit! Kenapa kamu ajak jajan es krim hah?! Nanti kalau sakit lagi gimana?!” Mama Novan mengomel.            “Maaf ma … tapi kan Novan juga yang mau …” Stevan menunjuk Novan. Novan geleng- geleng.            “Enggak, Stevan kok yang ngajak.”              “Tapi kenapa kamu mau aja di ajak Stevan? Kan harusnya kamu tolak juga!”            “Em .. ya karena mau juga sih …”            Mama Novan geleng- geleng kepala. “Kalian nggak boleh makan es krim. Ini semua es krimnya buat mama sama papa!”            “Heh, kok gitu?!” Keluh Stevan.            “Hukuman. Karena kalian jajan es krim waktu si Novan lagi sakit!”            “Nggak apa, papa nggak cuma bawa es krim kok. Papa ada beliin cake juga. Kalian mau kan?” Papa Novan menengahi.            “Yeay! Cake!” Stevan kegirangan. Ia segera pergi ke meja makan.            “Eh, tapi makan cake kalo udah makan nasi ya. Ini mama udah masak makan malam.” Mama Novan menaruh lauk untuk makan malam. Ada soto ayam, sambal tempe kering, dan perkedel.            “Wah, enaknya. Papa mau makan ah, ganti baju dulu tapi.” Papa Novan masuk ke kamar yang tidak jauh dari ruang makan. Stevan dan Novan duduk bersebelahan.            “Nih, makan yang anget- anget, biar kamu nggak sakit lagi.” Mama Novan menuangkan soto ke mangkuk kecil dan memberikannya pada Novan.            “Aku mau, aku mau!” Stevan menyodorkan mangkuk pada mama Novan.            “Iya iya.” Mama Novan menuangkan soto ke dalam mangkuk Stevan. Tak lama, papa Novan keluar dari kamar dan bergabung bersama mereka di meja makan.            “Wah, enak nih kayaknya. Papa juga mau dong ma.” Papa menyodorkan mangkuk ke mama. Mama menuangkan soto dan memberikannya pada papa.            “Yuk, kita makan bareng yuk. Novan di suapin nggak makannya?” Tanya mama sambil melepas celemeknya. Novan mengernyitkan alis dan geleng- geleng kepala. Stevan terbelak kaget.            “Wah, kamu udah nggak mau di suapin lagi nih? Beneran? Biasanya kan kamu selalu merengek minta di suapin,” ujar Stevan tak percaya.            “Buat apa di suapin? Memangnya aku anak bayi?” Elak Novan. Semua menatap Novan dengan tatapan tak percaya.            “Wah, udah besar ini anak papa.” Papa Novan mengacak- acak rambut Novan. Stevan menyikut Novan.            Novan menyantap makan malam bersama dengan Stevan dan kedua orangtuanya. Ia menatap mereka satu persatu. Hangat. Ia sudah lama tidak kumpul keluarga dan merasakan kehangatan keluarga seperti ini. ****            Selesai makan, Novan dan Stevan menonton TV. Mama Novan mengizinkan mereka nonton TV karena besok libur, asal tidak sampai tengah malam saja. Sejak dulu, Stevan tidak pernah menonton acara TV. Pasti dia akan memutar film- film kartun produksi luar. Ia terus mengulang film itu ribuan kali sampai hafal dengan detail setiap bagian film. Dia tidak pernah bosan dengan film itu.            “Nggak mau nonton film lain Van? Ini ada film lain yang belum di tonton loh.” Novan menunjuk kumpulan kaset di dalam laci.            “Nggak. Nggak enak. Ini aja, udah pasti seru filmnya.” Ya sudahlah, terserah Stevan saja.            “Van, udah waktunya tidur. Matiin TV-nya,” pinta mama Novan.            “Iya ma..”            Stevan mematikan TV dan mengeluarkan kaset dari dalam DVD player. Novan bangkit dari duduk dan pergi ke kamar mandi untuk sikat gigi.            “Novan, jangan lupa kamu sikat gigi ya…” Pinta mama Novan. Novan kumur- kumur dan keluar dari kamar mandi.            “Udah, aku udah sikat gigi,” ujar Novan. Mama Novan dan Stevan saling pandang.            “Tumben. Biasanya paling susah dia kalau di suruh sikat gigi,” gumam Stevan. Mama Novan mengangkat bahu.            “Tapi syukurlah. Kayaknya semenjak sakit dia udah lebih mandiri sekarang.” Stevan mangut- mangut. “Udah, kamu sikat gigi sekarang. Yang bener sikat giginya ya, jangan asal- asalan.”            “Iya ma iya.”            Novan memperhatikan sekitar. Hem, kalau ini memang rumahnya waktu kecil, harusnya kamarnya ada di … depan sana. Novan membuka pintu kamar dan menyalakan lampu. Benar, kamar dengan hiasan bola, bintang- bintang, dan roket ini adalah kamarnya dan Stevan. Ia sekamar dengan Stevan karena takut tidur sendirian dulu. Novan menghampiri kasur tingkat dan duduk di kasur bawahnya. Ah, dulu mereka sempat berantem memilih antara atas atau bawah, dan akhirnya Stevan mengalah dengan alasan “Novan masih kecil, bahaya kalau dia tidur di atas.”            Stevan dan mama Novan masuk ke dalam kamar. Stevan naik ke kasur yang di atas. Mama Novan duduk di pinggir tempat tidur Novan.            “Bed time story?” Mama Novan menunjukkan salah satu buku dongeng. Novan mengangguk. Ah, kebiasaan yang ia rindukan. Mama Novan membuka buku tersebut.            “Pada suatu hari, ada seekor kancil yang tinggal di tengah hutan…”            Mama Novan bercerita dengan nada yang mendayu- dayu, membuat ia mengantuk. Perlahan mata Novan mulai menutup. Ia tenggelam dalam tidur. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN