Bab 80

1142 Kata
Novan melongo saat Stevan kembali ke kamar dengan membawa plastik besar. Ia menaruh plastik itu di meja bar dan mengeluarkan isinya. Dua loyang pizza ukuran besar, satu set snack platter, dua porsi besar ayam goreng dengan bumbu korea dan saus madu, serta sebotol soda 1,5 liter. “Kalo kurang bilang ya. Atau kamu mau pesan yang lain lagi? Kebab mau nggak?” Stevan menawarkan. Novan geleng- geleng. “Nggak, udah nggak usah. Gile lu. Ini aja belum tentu habis.” Ia menghampiri meja bar. “Kita makan di sini?” “Nggak usah, makan di ruang tengah aja. Ayo angkut.” Stevan membawa dua loyang pizza dan satu set snack ke ruang tengah, sedangkan Novan membawa sisanya. “Nonton apa nih? Aku masih ada langganan streaming nih,” tanya Stevan sambil membuka aplikasi film dari TV. “Hem, terserah dah apa aja,” jawab Novan. Ia menatap meja ruang tengah yang penuh dengan makanan. Benar- benar pesta makanan sih kalau begini. “Terserah mulu. Ya udah, nonton film horror aja mau nggak? Ini ada film baru.” “Apapun selain horror.” Stevan berdecak. “Cih, elu mah. Cemen banget.” “Emang nggak jijik apa sambil makan nontonnya film yang berdarah kayak gitu?” “Halah, film doang juga.” Novan menggeleng. “Nggak. Walau film doang tetap nggak.” “Ya udah kamu yang pilih aja deh nih!” Stevan menyodorkan remote pada Novan. Novan memilih- milih film yang cocok. “Ini aja, gimana?” “Lah kartun?” Tanya Stevan ragu. “Bolehlah. Terserah kamu aja, yang penting sambil makan. Kurang nih kalau nggak sambil makan!” “Oke.” Novan menyalakan film kartun yang ia pilih. Stevan kembali ke dapur untuk mengambil gelas dan menuang soda ke dalamnya. Novan tenggelam dalam film, sedangkan Stevan sibuk dengan smartphone sambil menikmati pizza. “Van, burger enak nih kayaknya. Mau nggak?” “Nggak.” **** Novan tenggelam dalam film yang di tonton sambil menikmati sepotong pizza. Ia tidak sadar kalau sudah menghabiskan setengah loyang pizza. Ia melirik loyang pizza Stevan yang hanya tersisa sepotong lagi. “Burger kayaknya enak nih,” gumam Stevan. “Kagak kenyang Van? Udah habis seloyang sendiri loh itu,” tukas Novan. “Nggak apa, hari ini kita memang pesta makanan. Kuy, kamu kalau mau pesan lagi bilang aja ya. Kamu mau apa? Mau burger juga?” Tawar Stevan. “Nggak. Ini aja juga kenyang kok.” “Maunya pesan nasi kebuli juga ya. Biar lebih pol. Kan nggak afdol kalo belum makan nasi.” “Van, jangan dah. Mubazir nanti..” Stevan nyengir. “Oh ya, udah izin belum ke orang rumah kalau kamu nginap di sini?” “Hah? Aku kira kamu anterin aku pulang nanti, jadi aku nggak bilang.” Stevan berdecak. “Memangnya kamu mau pulang? Terus besok gimana?” Tanya Stevan. Ah, Stevan ada benarnya juga. Papa dan ibu akan curiga kalau besok dia tidak sekolah. “Tapi masa aku bilang 2 hari nginepnya …” “Halah, bilang aja kamu lagi ngerjain proyek sekolah apa gitu, makanya harus nginep di rumah teman gitu, bilang. Kalau perlu biar aku ngomong, nanti aku bilang kalau aku ayahnya temanmu.” “Eh, tapi gimana ...” “Pulang jam segini juga paling di marahin kan? Mending sekalian kamu nginap aja dah. Mana, sini biar aku yang minta izin.” Novan menghela napas. Ia mengambil smartphone dan menelpon papa. “Halo, pa …” “Kamu kemana hah? Kenapa kamu belum pulang jam segini?!” Bentak papa di ujung sana. Nah kan, sudah dia duga pasti akan begini. “Anu pa, Novan lagi di rumah teman. Lagi ada proyek sekolah, belum selesai … jadi … Novan mau izin nginap …” “Apa? Izin nginap? Nggak!” Ah, sudah dia duga akan begini. “Nggak ada nginap! Pulang kamu! Besok aja lanjutin proyeknya. Proyek apaan dah anak sekolah, kayak yang gede aja. Bukan yang menghasilkan juga.” “Iya pa …” Stevan menyambar smartphone dari tangannya. “Hallo, dengan ayahnya Novan ya? Saya ayahnya Karyo, temannya Novan. Jadi begini pak, anak- anak sedang ada proyek sekolah dan waktu ngumpulinnya nggak lama, karena itu anak- anak sedang ngumpul di rumah saya untuk mengerjakan proyek itu. Oh, apa? Oh, nggak apa. Tenang aja, anak- anak bakalan saya pantau terus kok. Oh, baik. Nggak apa kok, nggak merepotkan sama sekali. Nggak apa, tenang saja pak. Oh, baik pak.” Stevan mematikan telpon dan mengembalikannya pada Novan. “Udah, aman. Papa kamu bilang nggak apa katanya.” Novan melongo. “Kok bisa kamu bujuk papa?” Stevan mendengus dan membusungkan dadanya. “Ya bisa dong! Udah kenal duluan dengan papa kamu, ya mudahlah itu. Udah tahu kayak gimananya.” Stevan menjentikkan jarinya. “Kalau udah tahu papa kayak mana, kenapa kalian masih nggak mau jumpa tengah?” Tanya Novan. Ia menutup mulutnya saat melihat Stevan terdiam. Ups, dia salah bertanya. “Kamu … kenapa tadi di sekolah?” Tanya Stevan mengalihkan pembicaraan. “Yah, kayak yang di jelasin sama bu Julia tadilah,” jawab Novan. Ia melahap sepotong ayam goreng. “Aku mau dengar penjelasan dari kamu, nggak dari orang lain,” ujar Stevan. Ia memberhentikan film dan menatap Novan lamat- lamat. “Jelaskan semuanya yang terjadi.” Ah, ya sudahlah. Novan menjelaskan semua yang terjadi selama beberapa hari terakhir sampai akhirnya tercium oleh bu Julia. Stevan mendengarnya dengan seksama. “Hem, begitu. Jadi kemarin yang kamu begadang sampai ketiduran di mobil karena itu?” Stevan memastikan. Novan mengangguk. “Memang dah kalian ada- ada aja. Bisa- bisanya kepikiran kayak gitu.” Stevan geleng- geleng kepala. “Tapi temanmu itu parah banget sih memang. Jadi terseret juga kamu. Padahal menurutku sih ya, kalau cuma ngejoki gitu doang mah harusnya nggak perlu di hukum sampai sebegininya, walaupun ketahuan ya.” “Kenapa kamu bilang begitu?” “Karena aku pernah juga kayak gitu sih, ngerjain tugas orang terus di bayar kan? Jaman sekolah aku pernah gitu, biar dapat uang jajan. Nggak ketahuan guru dan juga nggak ngelakuin hal bodoh kayak temanmu itu.” “Itu dia emang nekat dan b**o sih.” Novan melirik Stevan. “Aku kira kamu bakalan marahin aku atau gimana.” “Kamu mau aku marahin gitu?” “Eh, nggak sih …” “Menurutku sih, ini sepenuhnya bukan salah kamu. Yah, menurutku selama kamu nggak berantem, ikut tawuran, ngerokok, atau konsumsi barang haram sih nggak perlu deh aku marahin. Kamu juga kan udah besar ya, udah sadar kan sama kesalahanmu sendiri. Jadi nggak perlu di marahin, kasih hukuman, di bentak gitu. Kayak gitu mah, bisa bikin rusak mental kan kadang.” Stevan menatap Novan lamat- lamat. “Kamu boleh berantem, tapi untuk lindungi diri sendiri. Bukan nindas anak orang lain. Ngerti?!” Novan mengangguk. “Nah, bagus. Udah, udah. Makan lagi gih. Kita mukbang pokoknya hari ini! Kamu makanlah sepuasnya!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN