Bab 79

1065 Kata
Seisi kelas menatap Novan sambil kasak- kusuk. Waktu istirahat sudah selesai, semua murid kembali berkumpul di kelas. Novan mengemas tasnya. “Van, kenapa?” Tanya Gilang. Novan tidak menjawab. Ia hanya menyinggungkan senyum kecil. Ia menepuk pundak Gilang. “Aku pulang dulu ya.” Novan menggendong tasnya dan menghampiri Stevan yang menunggunya di pintu kelas. Stevan tidak berkata apapun. Mereka menyusuri lorong kelas dengan langkah lunglai. Mereka berpapasan dengan Karyo dan orangtuanya saat hendak turun. Karyo melirik Novan dan memalingkan wajahnya. Mereka turun ke lantai bawah. Tidak ada yang memulai pembicaraan di antara mereka. Hanya terdengar kasak- kusuk di sekitar lorong kelas XII. **** Hening. Tidak ada yang memulai pembicaraan di mobil. Novan menatap kosong keluar. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Stevan. Stevan juga sedaritadi diam saja dengan ekspresi datar. Ia jadi tidak tahu apa yang di rasakan oleh Stevan, entah dia marah atau kecewa. “Van,” panggil Stevan. “Hem.” Novan tidak mengalihkan pandangannya. “Sekarang mau gimana?” Tanya Stevan. “Gimana apanya?” Tanya Novan balik. “Oh, bukan. Sekarang kamu mau kemana? Pulang ke rumah atau gimana?” “Aku nggak mau pulang!” Jawab Novan ketus. Pulang ke rumah bukan keputusan terbaik saat ini. Stevan mangut- mangut. “Ya, aku sudah duga sih. Ya udah, aku antar ke apartemen aja ya, terus aku langsung balik ke kantor.” Novan mengangguk. “Makasih Van, dan maaf …” Novan melirik Stevan yang menghela napas berat. “Minta maaf nanti aja. Kamu jelasin semuanya nanti, waktu aku pulang kerja. Sekarang kamu istirahat aja, tenangin diri, renungi kesalahanmu.” “Iya Van.” Hening. Mereka saling diam, tak ada yang melanjutkan percakapan. **** Pintu lift terbuka di lantai 5, tempat kamar apartemen Stevan berada. Stevan membuka pintu kamarnya dengan kartu kunci. “Nah, kamu di sini aja dulu. Jangan kemana- mana ya sampai aku pulang,” perintah Stevan. Novan mengangguk. Ia masuk ke dalam dan menaruh sepatunya di rak. “Aku balik kantor duluan. Kayak biasa, kalau mau makan pesan aja, di bawah juga ada café. Kamu ganti baju terus, seragamnnya taruh di keranjang baju kotor.” Novan hanya mangut- mangut mendengar omelan Stevan. “Kalau ada apa- apa, kamu telpon aja. Oke? Udah ya, aku balik dulu. Oh ya, ini kunci cadangannya kamu pegang aja.” Stevan memberikan kartu kunci, lalu menutup pintu dari luar. Novan melempar tas sekolahnya sembarangan dan berselonjor di sofa. Ia menatap langit- langit apartemen dengan tatapan kosong. Apartemen yang besar ini terasa sunyi dan sepi. Ia melirik ke jendela besar yang di tutup gorden. Ia membuka gorden itu sehingga cahaya matahari memenuhi ruang tamu. Novan membuka jendela dan duduk di balkon. Angin sepoi- sepoi menyapanya. Ia melirik ke bawah, menatap kendaraan dan orang- orang yang berlalu lalang di sana. Suara berisik dari deru kendaraan dan para pedagang yang menjajakan jualannya di bawah terdengar samar- samar. Novan menghela napas berat. Ia mengira Stevan akan memarahi dan mengomelinya di mobil tadi, tapi ia salah besar. Bukannya mengomel, ia malah meminta Novan untuk introspeksi kesalahannya dan mengajaknya ke apartemen untuk sembunyi sementara waktu. Keputusan yang tepat sepertinya memanggil Stevan. Mungkin ia akan benar- benar habis kalau papanya yang datang. Novan menatap kosong ke bawah. Terlalu banyak kejadian yang terjadi sampai tidak memberinya napas untuk menerima semuanya. Sejak awal dia memang sudah sedikit was- was kalau semisal hal ini ketahuan dan mulai berpikir untuk menyiapkan alasan atau hal lain yang menyelamatkannya. Yah tapi hal itu tidak bisa ia impelentasikan karena ia ketahuan secepat itu. Siapa yang menyangka semuanya akan menjadi seperti ini? Lebih tidak menyangka lagi dengan pengakuan Karyo. Ia marah dengan Karyo. Ia yang setengah mati, pontang panting mengerjakan tugas joki sampai kurang tidur, tapi semua hasilnya malah ia pakai sendiri. Ia tidak tahu ia pakai untuk apa dan kenapa ia melakukan hal itu. Ia marah dengan Karyo dan merasa sangat bersalah dengan Kirana. Entah akan jadi apa divisi mereka nanti. Mungkin akan di bubarkan dan semuanya kena hukuman. Ia masih ingat dengan tatapan sekilas Kirana yang kecewa dengan Karyo. Sepertinya dia tidak hanya kecewa dengan Karyo, tapi juga dengan Novan. Novan menghela napas berat. Ya, dia juga kecewa dengan dirinya yang seperti ini. Ia hanya bisa berharap semoga divisi itu tetap ada dan mereka tidak di salahkan, terutama Kirana. Kirana tidak ada sangkut pautnya sama sekali di sini. Ia tidak tahu apapun. Ia hanya korban yang terpaksa di seret karena ia menjabat sebagai ketua. Entah apa yang akan terjadi nanti. Pokoknya apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Ia menerima semua konsekuensi yang akan ia terima, tapi ia tidak menerima kalau orang lain ikut menerima konsekuensi dari masalahnya. **** Novan melirik jam dinding. Hari sudah sore, sebentar lagi waktunya Stevan pulang. Ia duduk di bed sofa ruang tengah. Setelah menghabiskan waktu dengan bengong di balkon, ia kembali masuk ke dalam dan mengganti bajunya, setelah itu ia menghabiskan waktu dengan menonton serial anime. Ia mematikan notifikasi dari aplikasi chat yang bertumpuk. Ia belum siap menjawab pertanyaan dan tanggapan dari yang lain. Bahkan ia belum siap dengan tanggapan Stevan seperti apa nanti. Pintu apartemen terbuka. Stevan melepas sepatunya dan menaruhnya di rak. “Aku pulang.” “Yo!” Sapa Novan. “Kamu udah makan?” Stevan pergi ke dapur dan mengambil minum. Novan menggeleng. “Belum.” “Kok belum?” Stevan menaruh gelas di meja bar. “Nggak selera.” “Ya udah, sekarang makan dulu. Kita pesan makanan dari luar. Bentar, aku ganti baju dulu.” Stevan mengambil tasnya dan masuk ke kamar. Novan membuka kulkas dan mengambil es krim yang ada di sana, lalu membawanya ke ruang tengah dan menikmatinya sambil menonton serial anime. “Heh, makan nasi dulu baru makan es krim,” ujar Stevan begitu keluar dari kamar. “Iya, lagi lapar.” “Siapa suruh tadi nggak makan.” Ia mengeluarkan smartphone. “Kamu mau makan apa?” “Terserah.” “Nggak usah kayak cewek ngambekan deh. Bilang mau makan apa, jangan terserah.” “Nggak tahu, apa aja deh terserah. Nggak selera.” “Tapi kamu lapar?” “Ngikut kamu aja deh.” “Ya udah, terserah aku aja kan ya ini? Oke.” Stevan duduk di sebelah Novan dan mengetik sesuatu di smartphone. “Oke.” Stevan mengantongi smartphone miliknya. Ia mengambil es krim dari tangan Novan. “Jangan makan es krim banyak- banyak. Hari ini kita pesta makanan.” Novan mengernyitkan alisnya. “Hah? Pesta makanan?” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN