Bab 81

1084 Kata
Novan selonjor di sofa ruang tengah. Ia sangat kekenyangan sampai perutnya begah. Pizza sudah habis, Stevan malah memesan lagi beberapa macam dimsum dan es krim vanilla ukuran besar. “Kurang ini mah buat mukbang.” Begitu katanya. Dasar Stevan perut karet. Lebih ajaib lagi karena dia bisa menghabiskan semuanya tanpa merasah begah seperti Novan. Malah saat ini dia sedang asyik menyendok es krim. “Kenyang banget?” Tanya Stevan. Novan mengangguk pelan dan mengacungkan jempolnya. “Masih sanggup kamu ya habisin es krimnya ..” Gumam Novan. “Mubazir. Nanti kalo udah meleleh nggak enak lagi makannya.” “Memang belum kenyang ya?” “Lumayan sih.” Novan geleng- geleng kepala. Emang agak lain Stevan ini. “Selalu ada perut kosong untuk dessert.” Stevan menepuk perutnya. “Dasar perut karet,” gumam Novan. Stevan nyengir lebar. Ia melirik jam dinding. “Loh, udah jam segini kok,” gumam Stevan. Ia memberikan es krim pada Novan dan bangkit dari duduk. “Udah ya, aku balik kerja lagi. Es krimnya kamu makan aja, atau taruh di freezer.” “Beresin dulu dong ini meja, berantakan. Penuh sampah.” “Tolong kamu beresin ya. Aku banyak kerjaan nih.” Stevan menepuk pelan pundak Novan. “Lah, tapi …” “Kan kamu numpang nginep toh, ya harusnya bantu beres- bereslah. Udah ya, aku balik kerja dulu. Makasih ya bro.” Novan tersenyum kecut. Ia merutuk Stevan dalam hati. “Iya bro, sama- sama.” ***** Sepertinya Stevan memang punya niat untuk menjadikannya kacung. Novan terbangun pukul 9 pagi. Stevan sudah pergi kerja lebih dulu dan meninggalkan memo di pintu kamar Novan. Memo itu berisikan hal- hal yang harus di lakukan Novan sebelum Stevan pulang. “Menyapu setiap sudut apartemen dan mengepelnya, membawa pakaian kotor ke laundry di bawah, mengelap bagian- bagian yang berdebu termasuk membersihkan jendela, mencuci piring ....” Novan membaca isi memo. “Ini mah, hampir semuanya memang dia suruh, kecuali masak.” Tadinya Novan ingin mengabaikannya, tapi catatan kaki di memo itu membatalkan niatnya. “Kalau nggak kamu kerjain, aku lapor ke papamu yang sebenarnya … ah, s**t! k*****t emang si Stevan ini!” Novan meremas memo hingga kusut dan membuangnya sembarangan. Ia menarik napas dalam dan memperhatikan sekitar. “Oke, aku turutin maumu. Lagipula, salahku juga numpang nginap di sini.” **** Novan mengira ini akan jauh lebih mudah dari perkiraan. Stevan tinggal sendirian kan, mana mungkin apartemennya kotor? Ternyata dugaannya salah besar. Memang tampak rapid an tertata, tapi di balik itu ternyata banyak bagian yang kotor. Pintu jendela yang mulai berdebu, westafel yang mulai lumutan, keran yang tampak kotor, dan lainnya. “Jorok banget ternyata ini rumah. Kagak pernah di bersihkan apa ya sama si Stevan?” Rutuk Novan sambil menyikat westafel. “Kalau libur bersihiin kek. Atau panggil room service mana gitu dah buat bersihin. Dahlah Van, cepet- cepetlah kau ketemu jodoh biar bisa bersih rumah kau ini.” Selesai membersihkan westafel, ia mengelap pintu jendela hingga kinclong dan bening. Setelah itu dia menyapu di setiap sudut ruangan. Tak lupa selesai di sapu, ia mengepelnya hingga licin. Ia menyalakan AC agar lantainya cepat kering. Sementara menunggu kering, ia membersihkan toilet dan kamar mandi. Setelah di rasa semua beres, baru ia turun ke bawah untuk membawa baju kotor ke laundry. Novan berselonjor di sofa. Bajunya basah kuyup dengan keringat yang mengucur. Akhirnya, apartemen Stevan sudah lebih mendingan daripada yang sebelumnya. s****n si Stevan. Dia harus membawa pulang sesuatu untuknya saat dia pulang nanti. Pokoknya Stevan harus berterima kasih karena Novan sudah membersihkan apartemennya hingga ke setiap sudut! Smartphone Novan melantunkan nada dering. Novan mengambilnya dengan malas. Ada telpon masuk dari Stevan. “Hallo Van? Gimana rumah? Aman nggak?”Tanya Stevan di ujung sana. “Heh! k*****t lu! Malah suruh aku beresin apartemen, pakai ngancam bakal lapor ke papa lagi! s**l!” Terdengar nyengiran Stevan di ujung sana. “Nggak usah nyengir!” “Hehehe … maaf, maaf. Itu aku becanda doang kok, nggak bakal aku laporin kok ke papa kamu. Ketemu aja malas. Terus gimana? Jadi kamu beresin semuanya?” “Menurut kamu? Ya udah aku beresin semuanya lah! Kamu pakai ngancam kayak gitu segala!” “Maaf, maaf. Tapi thank you ya. Aku nggak sempat beresin rumah soalnya.” “Keliatan memang. Kotor. Bawa pulang sesuatu ya, uang capek buat aku.” “Iya, pasti. Bilang aja maunya apa. Oh ya, kamu cek di kulkas coba. Tadi aku sempet masak bentar, sisanya aku taruh di kulkas. Panasin aja buat makan siang.” “Bentar? Kulkas?” Novan bangkit dan pergi ke dapur. Ia membuka kulkas dan menemukan panci di dalam sana. “Dalam panci ini?” “Ah, iya. Aku tadi masak semur, asal jadi aja. Kamu panasin aja buat makan siang. Nasi masih ada kok. Nanti pulang aku bawain yang lain.” “Ah, ya udah. Thank you ya.” “Panasin pake api kecil, jangan lupa di matiin kompornya. Oh ya, aku ada tinggalin sesuatu juga di kamar. Cek aja nanti. Udah ya, aku mau meeting. Hati- hati di rumah tu.” Stevan mematikan telpon. Novan mengernyitkan alis. “Tinggalin apaan? Di kamar mana?” Gumam Novan. Ia mengendikkan bahunya. “Ah nggak taulah ya, terserah. Mendingan sekarang makan dulu deh.” Novan memanaskan semur. Ia mengambil nasi porsi kuli dan menuangkan semur yang banyak ke atasnya. Setelah itu, ia kembali ke ruang tengah untuk makan sambil menonton TV. Tidak ada film yang enak di jam- jam siang seperti ini, kebanyakan acara infotaiment gossip para artis yang tidak penting dan di lebih- lebihkan. Novan memutuskan untuk streaming anime di smartphone. Sejak kemarin ia mematikan smartphone dan baru sadar kalau notifikasi dari grup chat sudah menumpuk. Ada beberapa notifikasi dari Kirana dan Karyo. Ia tidak tertarik untuk membacanya. Perhatiannya lebih tertuju pada miss called dari papa. Ternyata kemarin papa sempat menelponnya. “Tumben,” gumam Novan. “Biasanya juga nggak peduli mau anaknya pulang atau enggak. Ah, udahlah.” Novan menghapus aplikasi chat untuk sementara, setidaknya sampai masa skors selesai. Ia membuka aplikasi streaming anime yang biasa dan tenggelam dalam tontonan sambil menikmati nasi semur ayam porsi kuli. Selesai makan, ia teringat dengan perkataan Stevan tadi. Tentang sesuatu yang ia tinggalkan di kamar. “Ada di kamar Stevan kali ya.” Novan menaruh piring kotor di westafel dan masuk ke kamar Stevan. Ia melihat ada kertas di atas meja kerja dan tertempel memo di sana. “Untuk Novan. Walaupun nggak sekolah bukan berarti nggak belajar. Kerjain soal latihan ini, nanti pulang aku bakal periksa. Stevan.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN