Bab 116

1393 Kata
“Gimana tugasnya? Mau di terima nggak tugasnya?” Tanya Novan saat melihat Toro masuk ke dalam kelas. “Semoga. Tadi nggak ada orang sih, mejanya kosong. Belum datang kayaknya,” jawab Toro. “Eh. Tapi memangnya tugas udah di revisi bisa nggak di terima lagi gitu?” Tanya Novan. Toro mengedikkan bahunya. “Bisa aja sih, soalnya guru yang satu itu agak moody,” timpal Andi. “Ya.. Bener sih. Beliau kalau udah nggak bagus mood, itu bisa aja nilai kita yang terancam. Baik- baik ajalah sama beliau, salah sikit ngancemnya ke nilai,” sambung Toro. Novan sedikit tercengang mendengarnya. “Bisa begitu ya,” gumam Novan pelan. “Namanya juga manusia, ya bisalah Van,” ujar Andi. “Kayaknya aman sih, tugasnya udah bagus kok. Tinggal berdoa aja dah semoga beliau lagi bagus aja.” **** Kelompok Novan bisa menghela napas lega saat tugas mereka di terima oleh Miss. Padahal tadi mereka sempat takut karena Toro dan Novan di panggil ke ruang guru. “Tugas kalian bagus. Miss simpan ya buat contoh tugas nanti ke depannya,” pinta Miss. “Boleh Miss, boleh. Boleh banget malah,” jawab Toro. “Tapi tugas ini bukan hasil curang kan ya? Kalian kerjain sendiri kan, nggak minta tolong ke orang lain?” Tanya Miss. Novan tercekat mendengarnya. Ia yang daritadi menunduk melirik sekilas. Miss menatapnya dengan intens. Toro mengernyitkan alisnya. “Hah? Enggak kok miss, kerjain sendiri. Mana bisa minta tolong orang lain, kan tugas kelompok. Ini si Novan yang kerjain kok.” Toro menunjuk Novan yang masih menunduk. Miss mangut- mangut. “Hem, gitu. Yaudah, tugas kalian saya terima. Saya simpan ya. Kalian udah boleh balik ke kelas.” “Baik miss. Kami permisi dulu ya miss.” Novan dan Toro sedikit membungkukkan badannya. “Oh ya ya, silahkan.” Toro dan Novan keluar dari kantor. Toro menepuk pelan pundak Novan dan mengacungkan jempolnya. “Good job bro!” Ujar Toro. Novan tersenyum simpul. “Kayaknya saking bagusnya sampai di kira kita pakai joki ya,” gumam Toro. “Kok bisa ya kepikiran kayak gitu? Apa karena yang kemarin itu ya?” “Memang kenapa kemarin?” Tanya Novan. “Itu, katanya sih ya, kemarin ada yang di hukum gitu. Kena skorsing kalo gak salah sih, karena ketahuan buka jasa joki untuk tugas. Dia ketahuan jadiin gudang belakang yang nggak terpakai buat markasnya gitu. Transaksi di situ katanya,” jelas Toro. “Tapi aku nggak tahu siapa sih ya, aku cuma denger- denger aja.” Novan menelan ludah. Orang yang kamu bicarain itu di sebelahmu tau! Gumam Novan dalam hati. Novan hanya mangut- mangut, pura- pura tidak tahu. “Aku baru dengar soal itu sih.” “Terus ...” Toro melirik ke sekeliling dan mendekat pada Novan. “Katanya sih, katanya nih ya. Mereka tuh buka joki gitu kan, biar bisa beli itu loh.” “Hah? Itu apa?” Tanya Novan bingung. “Itu, katanya sih, buat beli ‘obat’ gitu loh. Buat isap shabu shabu gitu katanya,” jawab Toro. Novan tercengang mendengarnya. Ya ampun. Kabar burung ini malah makin melenceng jauh. “Hah? Mana mungkin! Kalau pengaruh obat gitu mana mungkin mereka bisa kerjain tugas kayak gitu!” Bantah Novan. Seenaknya saja dia! “Ah, eh, ya juga sih ..” Toro mangut- mangut. “Katanya kamu nggak tau soal itu, kok kamu malah kayak ngebela dia gitu ya?” Tanya Toro. “Nggak belain sih, cuma lurusin aja,” elak Novan. “Udah, ayo kita balik. Nanti keburu masuk guru.” **** Aku menatap foto- foto dan agenda yang diberikan oleh pak Gugun. Kalau di lihat lebih jauh, papa memang terlihat berbeda di foto ini. Terlihat lebih tertekan. Papa menyinggungkan senyum tipis di foto ini. Wajah papa tampak lelah dan tidak bersemangat. Berbeda dengan papa yang sekarang, meski terkadang pulang kerja larut malam tapi aura semangat kerja masih terpancar. “Papa pasti merasa sangat bersalah di sini,” gumamku. Sampai sekarang juga begitu. Aku hampir membenci papa karena tahu papa pernah menduakan mama. Meski itu di masa lalu, tapi papa yang tidak tanggung jawab pada Rendra sukar untuk di maafkan. Tapi melihat foto ini, jelas papa terjebak dalam pilihan yang rumit. Papa salah jalan dan mengambil risiko besar. “Papa harus minta maaf dengan Rendra.” Aku menoleh menatap Rendra. “Aku udah maafin ayah sejak dulu. Aku lakuin ini karena ibu. Ibu selalu bilang, aku gak boleh benci ayah. Gimana juga, dia ayah aku. Aku gak akan ada di sini kalau bukan karena beliau juga.” “Tapi Ren ...” “Iya, susah memang maafin ayah. Aku juga baru ini bisa maafin beliau. Yah aku pikir, memaafkan itu lebih baik, gak akan memicu keributan. Lagipula, sepertinya ini lebih baik daripada misalnya nih, aku tinggal dengan ayah, tapi ayah ringan tangan yang sering memicu kekeras dalam rumah tangga.” Aku bangkit dari duduk. “Papa gak pernah gitu!” “Yah, semisal loh. Misal kan. Aku kan gak tahu ayah gimana sifatnya, ketemu tatap muka aja belum pernah. Kan papa tinggalin aku sejak bayi.” Aku kembali duduk. Rendra menatap foto itu lamat- lamat. “Semakin di lihat, ayah mirip banget sama kamu ya Teh,” gumam Rendra. “Kamu orang keseribu kayaknya yang bilang begitu. Semua orang bilang begitu. Katanya anak perempuan memang mirip papa, sedangkan anak laki- laki mirip mama.” Rendra mendengus. “Kamu darimana tahu hal itu?” Tanyanya. Aku mengedikkan bahu. “Kata orang sih begitu. Toh nyatanya memang begitu kan.” Rendra mengangguk. “Iya juga sih, aku lebih mirip ibu memang,” gumam Rendra. Terdengar nada dering telpon yang nyaring dari mr. Communicator. Kami saling melirik satu sama lain. “Punya siapa itu?” Tanya dokter Akar. Kami mengecek kantung masing- masing. “Oh, punya saya ternyata.” Dokter Akar mengeluarkan mr. Communicator dari kantung celananya. Dia nyengir lebar. “Halo, assalamualaikum. Dokter Akar Kuat Prasetya di sini.” Dokter Akar mengangkat telpon. “Oh iya pak. Ini saya Akar. Iya alhamdulillah, ada apa ya pak?” Dokter Akar bangkit dari duduk dan meninggalkan kami di ruang tamu. Ia pergi duduk di teras rumah, meninggalkan kami berempat di ruang tamu. Pak Gugun ada di dapur, katanya hendak menyiapkan makan siang. Terlalu cepat sih rasanya untuk masak makan siang sepagi ini. Mungkin karena masak untuk banyak orang, jadi pak Gugun mulai dari sekarang. Jadi gak enak, kami sudah merepotkan pak Gugun. “Lihat dong lihat foto ayah kalian!” Kara mengambil foto itu dari tangan Rendra. Ia menatap foto itu dan mangut- mangut. “Ini mah nyaris jiplakan si Althea memang. Mirip banget,” komentar Kara. Aku mengambil foto itu dari tangannya. “Kan kamu udah pernah liat papa di sekolah,” ujarku. Aku memasukkan foto itu ke dalam map yang diberikan pak Gugun. “Waktu itu aku lihatnya gak terlalu mirip. Kalo yang ini malah mirip banget,” jawab Kara. “Oh papa orang penting di sekolahmu ya?” Tanya Rendra. “Hem ya, papa deket sih sama kepsek. Temen satu sekolah, katanya gitu. Jadi ya, kadang papa main ke sekolah,” jawabku. “Papanya pelatih lomba kami, lomba IT. Sering ke sekolah karena anaknya bandel!” Kara memberitahu. Aku menyikut Kara. “Sok tahu kamu! Kan kamu anak baru. Baru pindah berapa hari juga!” “Yah tapi kamu udah kena masalah kan, papamu juga pasti tahu masalahnya tuh.” Aku bangkit dan menggertak meja. “Kan itu gara- gara kamu!” Aku menunjuk Kara tepat di wajahnya. Ia menepis tanganku. “Heh. Sadar deh. Kamu duluan yang cari gara- gara!” Kara balik menunjukku. Aku menepis tangannya di depan wajahku. “Kamu masih anak baru, udah nyari ribut aja! Aku belum kenal kamu, gimana aku bisa nyari masalah sama kamu?!” Aku membela diri. Kara mendengus. “Beneran gak tau salahnya apa dia,” gumam Kara sedikit berbisik. “Gak perlu kenal untuk cari masalah dengan orang lain.” “Hah? Apa?!” Aku melotot menatap Kara. Suara pintu di dobrak mengalihkan perhatian kami. Dokter Akar mendobrak pintu depan dan masuk ke ruang tamu. Wajahnya pucat dan panik. “Ada apa kok ribut banget?” Pak Gugun yang ada di dapur menghampiri kami. “Loh pak Akar kenapa?” Tanya pak Gugun. “Ini gawat! Gawat sekali!” Dokter Akar duduk dan memasukkan mr. Communicator ke dalam kantungnya. “Kita harus pergi dari sini. Secepatnya!” ***** “
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN