Bab 117

1131 Kata
Aku membaringkan badan di kasur yang empuk. Ah, sekali lagi hari ini terasa melelahkan. Bahkan lebih melelahkan dari sebelumnya, karena kakiku sepertinya semakin sakit. Aku terlalu terpana dengan semua ini tadi, jadi baru merasakan sakitnya sekarang. Aku mundur perlahan dan pelan- pelan menaikkan kakiku ke ujung tempat tidur. Aku meringis. Nyeri terasa saat aku menggerakkan kakiku perlahan. Aku menatap kosong langit- langit tempat tidur kelambu ini. Tempat tidur ini cukup besar untuk seorang diri, dengan kelambu yang berwarna putih menjuntai mengelilinginya. Cantik. Aku suka. Aku suka tempat tidur kelambu, tapi mama tidak pernah mengizinkan. Akhirnya aku membuat sendiri kelambu ala- ala di kamar, dengan menggantungkan kain tipis di atas tali jemuran. Bukannya mirip kelambu, malah lebih mirip gorden tipis. Tapi itu hanya bertahan sebentar saja karena mama ngomel, katanya kamarku jadi berantakan di pasang kelambu ala- ala seperti itu. Akhirnya aku terpaksa melepas semuanya dan menaruh di gudang. Aku mengendus baju. Bau. Ya tentu saja sih, kan sudah seharian juga aku tidak mandi, apalagi aku tidur di tenda yang panas dan lembab. Tentu saja bau badan akan tetap menempel meski sudah ganti baju. Aku duduk di ranjang. Aku ingin mandi, tapi bagaimana caranya mandi dengan kaki yang di balut perban seperti ini? Aku menatap kaki kiriku yang di perban. Aku mencoba mengangkatnya pelan- pelan. Ya, masih sakit. Mana mungkin bisa sembuh secepat itu. Aku menghela napas panjang. Aku harus gimana? Aku memperhatikan sekitar. Mungkin ada suatu cara untuk memanggil pelayan kemari. Aku meraba- raba dinding di sebelahku. Kosong. Tidak ada tombol apapun di sana. Aku kembali rebahan di kasur. Aku harus bagaimana sekarang? Aku menghela napas panjang dan saat itulah terdengar pintu di ketuk. Aku duduk di kasur dan berjalan tertatih- tatih ke pintu. “Ya … sebentar …” Aku membuka pintu dan tampaklah pelayan tadi berdiri di sana. Ia membungkukkan sedikit badannya saat aku membuka pintu. “Selamat malam nyonya. Maaf jika menganggu anda, tapi apa ada yang bisa saya bantu untuk anda saat ini?” Tanya pelayan itu ramah. Bagaimana pelayan ini bisa tahu kalau aku butuh bantuan? Sepertinya mereka sangat peka. Bagus sekali. “Ah iya, kaki saya sakit sebenarnya, kemarin terkilir. Saya bingung ini gimana saya mandi dengan kaki seperti ini, saya kesulitan untuk mandi sih…” Jawabku. Tunggu, apa jawabanku aneh ya? Sepertinya agak aneh untuk tanya hal seperti ini ke pelayan. Ah, seharusnya aku diam saja dan bilang baik- baik saja. Mungkin aku bisa lap badanku saja dengan handuk basah, yang penting badanku tidak lengket lagi. “Apa anda mau saya meminta pelayan perempuan untuk memandikan anda?” Tawar pelayan pria itu. Aku mengeleng kuat. Yang benar aja! Aku bukan anak kecil yang harus di mandiin orang lain! “Ah! Tidak usah seperti itu! Saya hanya bingung, mungkin ada cara biar saya agak aman mandinya, yah biar gak kena kaki saya sih …” Duh, aku bilang sih? Pokoknya begitu deh! Pelayan pria itu melihat kakiku dan mangut- mangut. “Oh, kalau begitu biar saya panggilkan dokter saja, bagaimana? Mungkin beliau tahu cara menanganinya,” tawar pelayan itu. “Ah, sebaiknya anda panggil saja dokter Akar, dia yang mengobatiku kemarin,” saranku. Pelayan itu mengangguk. “Baik, saya akan panggilkan beliau kemari. Kalau begitu anda silakan tunggu sebentar.” Pelayan itu pamit dan meninggalkanku sendirian. Aku menutup pintu dan kembali duduk di pinggir ranjang. Aku coba menggoyangkan kakiku. Iya, masih sakit. Udah tau sakit masih aja di begitu, b**o memang. Tak lama kembali terdengar suara pintu di ketuk. Aku hendak membukanya, tapi pintu sudah terbuka duluan dan muncullah dokter Akar. Ia masuk sambil membawa kotak P3K bersamanya. “Kenapa? Apa ada yang sakit lagi?” Tanya dokter Akar khawatir. Ia memegang kakiku pelan- pelan. Aku meringis kesakitan. “Ya, masih sakit dok. Tapi bukan itu, anu … aku cuma mau nanya, ini gimana aku mandinya kalau begini ..?” Tanyaku pada dokter Akar. Dokter Akar menghela napas lega. “Oh, saya kira malah makin parah. Syukurlah kalau memang tidak ada apa- apa,” ujar dokter Akar. “Hem, ini gak apa sih sebenarnya kalo di bawa mandi, ya pasti basah sih. Tapi gak apa. Kita lepas aja dulu ya, sekalian ganti perban yag baru aja nanti. Kamu saya saranin mandi pakai bath tub aja. Atau gimana deh, senyaman kamu. Asal gak kena lantai yang licin aja,” saran dokter Akar. “Jadi ini gak apa nih saya mandi?” Tanyaku lagi. “Yah gak apa sih. Biar ini di lepas aja, nanti kamu udah siap mandi kita ganti dengan yang baru,” jawab dokter Akar. Ia pelan- pelan membuka perban di kakiku, lalu ia memanggil pelayan yang menunggu di dekat pintu. “Tolong panggilkan pelayan perempuan untuk bantu membopong dia masuk ke kamar mandi ya,” pinta dokter Akar. Pelayan itu mengangguk. “Apa sekalian saya panggilkan pelayan untuk memandikan nyonya?” Tanya pelayan. “GAK USAH!” **** Aah, enaknya .. Aku merendam badanku ke dalam bath tub yang berisikan air hangat. Air ini sudah di berikan sabun dari bath bomb. Rasanya tenang bisa berendam di air hangat seperti ini. Harusnya ini akan jadi lebih nyaman jika pelayan perempuan itu tidak menungguku di luar sekat kaca buram antara bath tub dan kloset. “Nyonya badannya mau saya gosokkan dengan handuk?” Tanya salah satu pelayan. “Ah, gak usah makasih, saya bisa sendiri,” tolakku. Ini menyenangkan tapi sedikit canggung. Aku merendamkan kepalaku ke dalam bath tub sebentar, lalu mengangkatnya. Panas juga ternyata untuk kulit wajah. Aku melirik sekeliling dan melihat ada tombol- tombol di dinding. “Ini tombol apaan ya?” Aku menekan salah satu tombol. Tiba- tiba lampu ruangan mati. Aku terpenjat. Tapi itu hanya sementara, karena lampu disko keluar dan memancarkan cahaya warna- warni yang di selingi dengan lagu disko yang membuat siapa saja bergoyang mendengarnya. Aku tertawa kecil melihatnya. Ini menarik sekali. Andai saja kakiku tidak sakit, aku pasti sudah turun dari bath tub dan joget disko dengan handuk saja. Aku mencoba menekan tombol lain. Kali ini suasana berubah, sekeliling menampilkan proyeksi latar di tengah hutan bambu yang di iringi dengan suara kicau burung dan gemerisik angin terdengar silih berganti. Ah, nyaman sekali suasana seperti ini. Baru saja aku hendak menekan tombol lain, terdengar suara ketukan pintu kamar mandi. “Nyonya? Nyonya tidak apa- apa?” Tanya pelayan di luar sana. Aku melirik jam digital di kamar mandi. Ya ampun, ternyata aku hampir 2 jam berada di dalam kamar mandi. Pelan- pelan aku bangkit dari bath tub dan mengelap badanku dengan handuk. Setelah itu, aku memakai handuk mandi dan melilitkan handuk di lain di kepalaku. Aku melangkah dengan tertatih keluar pintu sekat. Pelayan sudah bersiap di luar sana, mereka membopongku jalan. “Nyonya tidak mau pakai kursi roda?” Tawar salah satu pelayan. Aku mengeleng kuat. “Tidak, tidak usah!” Yang benar saja, aku hanya terkilir bukan lumpuh!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN