Bab 88

1112 Kata
Novan melempar tasnya sembarangan dan rebahan di kasur. Ia menatap langit- langit dengan tatapan kosong. Novan menghela napas panjang. Hari- hari berlalu dengan sangat cepat tanpa ia sadari. Selesai sudah masa skorsing. Besok dia akan kembali lagi ke sekolah. Apa yang akan terjadi besok? Ya, masa skorsing memang tidak lama, hanya 2 hari. Ia bisa saja bilang kalau sebenarnya izin sakit atau apalah. Tapi ia yakin kabar diskrosing dirinya dan Karyo sudah menyebar. Sampai saat ini, dia masih belum berani untuk mengecek smartphone. Ia membiarkan notifikasi menumpuk tanpa pernah ia buka. Ia takut. Takut mereka mempertanyakan keberadaannya atau membahas soal skors. Ia tahu kalau Karyo spam chat sampai saat ini, bahkan sempat menelpon tapi tidak di angkat sama sekali. Tidak sudi. Dia tidak akan berhubungan lagi dengan Karyo. Ia akan blokir dan menghapus Karyo dari kontaknya. Ia akan menjaga jarak sejauh mungkin dengan Karyo. Ia tidak akan berhubungan lagi dengan Karyo. Mudah saja untuk menghindari Karyo. Mereka tidak sekelas, lorong kelas IPS juga jauh dari kelas IPA. Dia hanya perlu tetap diam di kelas selama mungkin. Itu tidak susah, dia juga jarang keluar kelas kecuali jam istirahat. Smartphone berdering nyaring. Novan hendak mengabaikannya, tapi ia urungkan saat melihat kontak penelpon. Stevan. “Ya, hallo Van.” “Aman kan sampai rumah?” Tanya Stevan di ujung sana. “Yang nggak aman di bonceng sama kamu tadi,” jawab Novan. Ia mendengus. Terdengar cekikian Stevan di sana. “Kece kan motorku? Jangan ngeremehin motor bebek tua makanya! Ini kalo di ajak balap liar masih kuat tau!” “Pernah ikut balapan liar?” “Pernah, dulu. Sebelum kerja. Pakai ini motor bebek tua. Jangan ngeremehin, umur dia lebih panjang daripada umurmu tahu!” “Tobat. Keseringan di bawa kayak gitu nanti mati duluan tuh motor.” “Nggak lagi kok. Udah jarang di pakai juga nih motor. Oh ya, aman kan pulangnya? Gimana orang rumah?” Novan menghela napas. “Biasalah. Kamu tahu kan papa gimana, yah baru sampai udah di ceramahin beliau. Malas dengarnya.” “Tapi nggak ungkit soal skors itu kan ya? Papamu masih belum tau kan?” “Sejauh ini sih, belum. Nggak ada nanya- nanya kayak gitu. Kayaknya masih percaya kalau emang aku kerjain proyek, walau curiga proyek apaan sampai nginap.” “Ya, aku kalau jadi papamu juga agak curiga sih. Tapi ya udahlah, syukur kalau beliau belum tahu.” “Jangan sampai tahu. Mati aku. Bakal di usir dari rumah kayaknya.” “Yaudah kemas aja tuh barang, tinggal di tempatku.” “Nggak, makasih. Pokoknya sekarang cuma bisa berdoa aja supaya papa tetap nggak tahu soal itu. Habis aku kalau papa tahu.” “Amin. Semoga aja. Besok sekolah kan?” “Kayaknya.” “Harus. Sekolah. Aku antarin, sampai kelas pun jadi.” “Tapi Van …” “Aku tahu kamu takut, tapi kamu harus sekolah. Kamu lihat keadaan. Masa skorsing kamu nggak lama, kamu bisa kasih alasan kalau kamu sakit atau ada urusan keluarga, gitu. Alasan apa ajalah. Nggak apa, semua akan baik- baik aja.” “Iya. Aku sekolah kok.” “Bagus. Udah ya, aku ada panggilan mendadak dari kantor nih. Besok aku jemput pokoknya.” “Iya, ya udah. Makasih.” ***** Novan menatap dirinya di cermin. Ia sudah selesai mandi dan memakai seragam batiknya. Hem, ini pertama kalinya dia memakai batik. Ia bercerin tidak hanya untuk memperhatikan penampilannya, tapi juga untuk melatih diri. Ia menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Ia menatap dirinya lamat- lamat di cermin. “Nggak apa, nggak akan ada apa- apa kan? Tenang aja. Cuma 2 hari nggak sekolah, nggak akan ada yang tahu. Oke, nggak apa. Aman.” Novan mengepalkan tangannya erat. Ia menyisir rambutnya dan menggendong tasnya. Ia kembali menarik napas panjang sebelum keluar dari kamar. Ia mengunci pintu kamarnya dan menuruni anak tangga dengan cepat. “Van,” panggil papa. Novan memberhentikan langkahnya dan menoleh. Papa sudah duduk di meja makan sambil menatap laptop. “Sarapan.” “Aku nggak …” Ucapan Novan terpotong saat seseorang menarik tangannya. Tampak Mikel dengan wajah baru bangun dan rambutnya yang berantakan menarik tangannya. “Abang …” Panggil Mikel pelan. Ia menguap lebar. “Pagi Mikel.” Novan menggendong adiknya dan memberikan ciuman hangat di pipi Mikel. Mikel menggosok matanya. “Mikel baru bangun?” Mikel mengangguk pelan. “Abang … Mikel mau celeal …” Gumam Mikel. Ia menenggelamkan wajahnya di bahu Novan. “Oh, Mikel mau sarapan sereal ya? Ya udah bentar abang siapin ya.” Novan menggendong Mikel ke meja makan. Ia mendudukkan adiknya di kursi bayi. Mikel duduk di situ dengan kepala terantuk menahan kantuk, sementara Novan menyiapkan sereal coklat dan s**u. Ia menuangkan sereal ke dalam mangkuk dan menuangkan s**u di atasnya. “Ini serealnya. Yuk di makan yuk Mikel.” Novan menaruh mangkuk sereal di meja Mikel. “Abang ..” Panggil Mikel lirih. “Abang suapin …” Pinta Mikel pelan. “Ah, eh, tapi …” “Suapin adikmu!” Bentak papa. Novan tersentak kaget. “Iya, iya!” Novan mengambil sendok dan menyuapi Mikel sereal. Seketika kantuk yang menghantui Mikel menghilang. Ia bersenandung senang sambil mengunyah sereal. Ia menggoyangkan kakinya dengan gembira. “Lagi! Lagi!” Pinta Mikel. Novan kembali menyuapi Mikel. Mikel bersenandung senang sambil menggoyangkan kepalanya. Senyum sumringah menghiasi wajahnya. “Abang juga makan!” Mikel menyendokkan sereal dan menyodorkannya pada Novan. Novan menerima suapan adiknya. “Sekalian aja kamu sarapan Van. Itu ada roti bakar,” pinta papa. “Iya pa.” Ah, dia terpaksa sarapan lebih dulu. Kalau ia tinggalkan Mikel sekarang, pasti dia akan nangis kencang. Novan mengambil selembar roti bakar dan mengoleskan selai coklat ke atasnya. Ia menggigit sedikit ujungnya. “Abang, abang, Mikel mau!” Mikel mengacungkan tangannya, hendak meraih roti bakar di tangan Novan. Novan mendekatkan roti itu pada Mikel. Ia menggigitnya sedikit. “Abang, belah rotinya bang!” Pinta Mikel. Novan membelah rotinya menjadi dua bagian dan memberikan satu bagian pada Mikel. Mikel menerimanya dan menyelupkan roti itu di atas serealnya sampai roti itu lembek. Ia menyendokkan sereal ke mulutnya dan bersenandung riang. Novan melirik mangkuk sereal yang penuh. Sepertinya enak. “Enak?” Tanya Novan. Mikel mengangguk senang. Smartphone Novan bergetar. Ia mengeluarkan dari kantung celana. Stevan menelponnya. Ia bahkan mengirim banyak chat sedari tadi. Novan membaca chat dari bar notifikasi. Stevan Oi Mana Udah sampai ni. Uy mana? Buruan keluar woi, udah depan ni. Mana lu? Belom bangun hah? HALLO NOVAN. Waduh. Novan menepuk jidatnya. Ia menghabiskan rotinya dengan cepat dan menyesap s**u hingga habis. “Novan pergi dulu.” Novan menggendong tasnya. “Abang sekolah dulu ya.” Ia mengusap pelan rambut Mikel, lalu pergi meninggalkan Mikel dan papa di dapur. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN