bab 87

1137 Kata
Novan duduk di boncengan sambil berpegangan erat dengan handgrip. Ia menelan ludah. Ia berharap semoga sampai di tujuan dengan selamat tanpa kurang apapun. Stevan seperti kesetanan saja dia. Dia mengendarai motor dengan kecepatan tinggi dan menyilap di antara celah sempit yang ada. Teriakan sumpah serapah di lontarkan oleh pengendara yang lain, tapi Stevan tidak memperdulikannya. “Gimana? Masih mantap kan motornya?” Tanya Stevan setengah berteriak. Novan hanya mengacungkan jempolnya saja. Novan berharap jangan sampai mereka di tangkap polisi atau kemungkinan terburuk, tabrakan dengan motor lain atau jatuh terpleset. Tuhan, aku masih ingin hidup. Selamatkanlah kami di perjalanan ini, Tuhan! ***** “Nah, kita udah sampai.” Stevan memberhentikan motor di depan lorong. Novan diam tak berkutik di tempatnya. Ia masih setengah sadar. Jantungnya nyaris copot. “Van, udah sampai.” Stevan menyikut Novan. Novan mengerjap kaget dan refleks menjitak helm Stevan. “Kok di jitak sih?” Gerutu Stevan. “Heh! Kalau bawa motor tuh ngotak sedikitlah! Nggak sayang nyawa ya?!” Gerutu Novan menggebu- gebu. “Mau ngeprank malaikat nggak gini caranya. Untung aja belum di cabut nyawaku!” “Heh? Kenapa? Kan biasa aja itu …” “Apanya yang biasa aja hah?! Itu kencang banget, mana nyalip! Untung kagak nabrak!” Novan mengelus dadanya. “Hah? Nggak kencang- kencang amatlah. Tadi kan cuma 100 km/jam aja …” “CUMA 100 KM/JAM?!” Novan terbelalak kaget. “Mau jadi racer lu hah?” “Yaelah, biasanya aku juga bawa segitu kok. Biasalah itu, biasa …” “BIASA APANYA?! Tolong sayangi nyawa kamu Van …” Novan mengguncangkan bahu Stevan. “Santai, santai, aku bawa kenceng tapi tetap hati- hati kok. Nggak akan apa- apa kok, tenang aja,” ujar Stevan menenangkan Novan. Ia menghela napas panjang. “Ya, terserah kamulah. Tolong sadar diri ya, jangan sampai kecelakaan.” Novan mendengus kesal. “Aman kok aman, tenang aja. Udah sana, kamu pulang. Nanti di marahin papamu lagi.” Stevan menyikut Novan. Novan turun dari motor. “Kabarin ya kalau udah sampai rumah.” “Iya iya, udah sana kamu balik,” pinta Novan. “Iya iya. Duluan ya.” Stevan memutar kunci motor dan menurunkan kopling. Motor itu melesat dengan cepat meninggalkan Novan sendirian di sana. “Anak itu, udah di bilangin jangan ngebut.” Novan geleng- geleng kepala. **** Novan tiba di rumah saat magrib menjelang. Sebelumnya ia mampir dahulu ke minimarket depan lorong, membeli beberapa cemilan untuk dia bagikan ke Mikel. Ia membuka pintu pagar yang anehnya tidak terkunci. Mungkin lupa di kunci, itu pikir Novan. Ia membuka sepatu dan menaruhnya di teras, lalu membuka pintu rumah yang tak terkunci. “Permisi, Novan pu …” Novan melongo melihat papa sudah berdiri tegak di depan pintu. “Lang …” “Kamu darimana aja?” Tanya papa tegas. “Dari rumah teman pa. Banyak tugas,” jawab Novan berusaha santai. “Nginap rumah teman sampai harus nginap? Udah nginap pun pulangnya magrib begini?” “Kan Novan udah izin ke papa kan?” “Tapi kamu belum izin kalau pulang telat hari ini!” Bentak papa. “Udah. Novan udah chat papa, cek aja,” jawab Novan. Papa Novan mengeluarkan smartphone dan mengecek sesuatu di sana. “Ada kan? Udah aku telpon juga, tapi nggak papa angkat.” Papa mendengus dan kembali mengantongi smartphone ke saku celana. “Habis darimana aja memangnya sampai pulang telat begitu hah? Nggak ingat ya kalau kamu punya rumah?” “Yah mau gimana lagi, namanya juga tugas proyek gitu pa. Kalau nggak nginap ya nggak siaplah,” jawab Novan malas. Ia melewati papa dan masuk ke dalam. Ia menghampiri Mikel yang sedang asyik menonton TV di ruang tengah. “Abang!” Mikel memeluk Novan erat. “Abang darimana aja? Kok baru pulang?” “Maaf, maaf. Abang nginep di rumah teman, kerjain PR. Tapi abang bawa sesuatu nih buat Mikel.” Novan mengeluarkan bungkusan plastik di dalam tasnya. Mikel menatapnya dengan tatapan berbinar. “Woah! Apa ini bang?” Mikel meraih bungkusan itu dari tangan Novan. Ia membuka bungkusan itu. “Woah! Jajan!” Mikel mengeluarkan jajanan stick coklat favoritnya. “Woah, ini apa bang?” Mikel berusaha mengeluarkan ice box dari dalam plastik. “Eh, hati- hati.” Novan membantu Mikel mengeluarkan ice box dari plastik. “Apa itu bang, apa?” Tanya Mikel antusias. Novan membuka ice box itu. Mata Mikel berbinar terang. “Uwoh! Es krim yang banyaak!” Mikel kegirangan. “Bukan es krim, ini frozen yoghurt, Mikel.” Mikel mengernyitkan alis. “Yo .. yogut? Apa itu yogut?” Tanya Mikel. Ia tampak kesulitan menyebut yoghurt. “Ini, kayak es krim juga, tapi dia rasanya manis asam gitu. Enak kok. Nih liat, ada topping marshmallow, ada coklat juga.” Novan menunjukkan bungkusan topping satu persatu pada Mikel. “Mallow! Mikel suka mallow!” Mikel berusaha meraih topping marshmallow. Novan memberikan satu marshmallow pada Mikel. “Kita masukin ke kulkas ya, biar lebih enak. Besok kita makan sama- sama ya, oke?” Mikel mengangguk girang. “Yeay, Mikel dapat jajan! Mikel dapat yogut!” Mikel lompat kegirangan dan menghampiri ibu. “Mama, Mikel ada yogut ma! Banyak! Abang beliin!” Ibu hanya tersenyum kecil dan mengangguk. “Boros banget sih kamu, malah beliin jajanan mahal gitu ke adikmu. Bukannya belajar yang benar, malah pergi jajan sembarangan sama temenmu. Nggak ada kan itu kerjain proyek atau apalah itu sebenarnya kan?” Papa mendengus. “Itu di beliin.” Novan menutup pintu kulkas. Ia meraih tasnya. “Novan mau ke kamar.” Novan melewati ibu dan papa dan menaiki tangga. “Halah, proyek apaan sih anak sekolahan ini. Kerjain proyek sampai lupa pulang, sok kayak orang dewasa aja. Udah capek kerjain, tapi nggak di bayar kan buat apa, percuma. Buang- buang waktu saja. Memangnya kamu bisa kerjain tugas proyek kayak begitu hah? Palingan juga banyakan temanmu yang buat kan. Haduh, kamu ini memang. Bukannya banggain orangtua, malah bikin repot aja di rumah orang. Dasar,” gerutu papa. Papa geleng- geleng kepala. “Tuh kamu lihat tuh ya, sepupu kamu. Dia belum lulus SMA, tapi udah daftarin dirinya buat ambil beasiswa di luar negeri. Nilainya jauh lebih tinggi di atas kamu. Tuh kamu contoh dia. Jangan main aja, keluyuran aja kerjanya.” Papa menghela napas panjang. Novan menghentikan langkahnya. Lagi dan lagi. Novan tahu siapa maksud papa. Sepupu yang sebaya dengannya, Akram. Tinggal di luar kota, namun masih berhubungan baik dengan papa. Ia menarik napas panjang dan balik badan. “Kalau papa maunya begitu, ya papa angkat aja Akram jadi anak papa,” gumam Novan. “Novan kan bukan anak papa, selalu salah kok di mata papa.” Papa terbelak kaget. Wajahnya memerah. “NOVAN! TURUN KAMU NOVAN! NGGAK SOPAN YA KAMU NOVAN! HEI NOVAN!” Novan tidak menghiraukan bentakan papa. Ia menaiki anak tangga dengan cepat dan megunci pintu kamar dari dalam. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN