Bab 89

1192 Kata
“Lama!” Gerutu Stevan saat Novan menghampirinya. “Sori, sarapan dulu tadi.” Novan duduk di sebelah Stevan dan memakai seatbelt. Ia melirik jam tangannya. “Tapi ini belum telat Van.” “Lebih baik kecepatan daripada telat,” ucap Stevan. “Sebenarnya sih aku ada meeting pagi, jadi kudu cepet datang,” gumam Stevan. “Ya elah.” “Kalo kamu ngantuk tidur aja lagi. Nanti di bangunin.” Stevan memutar kunci mobil. Ia menginjak pedal gas perlahan dan mobil meninggalkan lorong rumah Novan. **** Tidak ada salahnya juga pergi lebih cepat. Mereka jadi terhindar dari macet dan sampai di sekolah jauh lebih cepat. Sekolah masih sangat sepi saat Novan tiba, tapi ia bersyukur akan hal itu. Setidaknya dia bisa menghindari orang- orang yang mungkin akan memandangnya sambil kasak- kusuk. “Perlu di antarin sampai kelas nggak? Sepi nih,” tawar Stevan. Novan menggeleng. “Nggak usah yang aneh- aneh deh.” Novan melepaskan seatbelt. Ia meraih tasnya di kursi belakang. “Thanks.” Novan keluar dari mobil. Stevan membuka setengah kaca mobil. “Pulang kayak biasa kan? Nanti aku jemput,” tanya Stevan. Novan mengangguk. “Telpon kalau nggak kuat.” “Nggak kuat apanya?” Tanya Novan bingung. “Yah, kali aja nggak kuat. Aku siap jemput kok, kapan aja.” Stevan mengacungkan jempolnya. Novan mengernyitkan alis. “Kuat kok, tenang. Nggak apa. Udah sana, katanya ada meeting.” “Oh iya.” Stevan menyalakan mesin mobil. “Eh, hampir lupa. Obatnya aman kan?” Tanya Stevan. “Aman kok, aman.” Novan mengacungkan jempolnya dan menyinggungkan senyum canggung. “Bagus. Oh ya, besok udah jadwalnya kontrol ulang, sekalian kita ambil obat lagi. Obat yang kemarin itu di habiskan ya. Nanti aku cek lagi.” **** Novan mengubek isi tasnya. Ia lupa, sudah beberapa hari ini dia tidak minum obat. Ia tidak teringat sama sekali perihal obat itu. Dimana terakhir kali dia taruh obatnya? Seingatnya masih di dalam tas. Dia sangat berhati- hati menyimpan obatnya, karena takut ketahuan oleh orang lain. Jelas obatnya berbeda dengan obat biasa dan menarik orang untuk mencari tahu. “Ah, ini dia!” Novan menghela napas lega saat menemukan obat itu di bagian terdalam tasnya. Ia menghitung keseluruhan obat. Ia baru minum 5 tablet dan masih ada sisa 5 tablet tadi. “Kalau di minum sekaligus bakal mati sih,” gumam Novan. Ia mengeluarkan satu tablet di sana dan meminumnya tanpa air. Sebuah keahlian aneh yang tak pantas di banggakan. Ia menatap obat yang masih banyak. Harus dia apakan obat- obat ini? Stevan akan mengomel panajang kalau melihat obatnya belum habis. “Ambil satu aja buat besok, sisanya buang aja.” Novan merobek satu bungkus tablet. Ia mengambil kertas dan menyembunyikan sisa obatnya di balik kertas yang sudah ia remas, lalu membuangnya di tong sampah depan kelas. Novan merasa sedikit aneh harus minum obat, sedangkan dia sendiri merasa baik- baik saja. Tidak demam, tidak batuk, fisiknya sehat secara keseluruhan. Jadi untuk apa dia minum obat? Ia juga merasa selama ini obat tidak banyak membantunya, malah tidak memberikan efek apapun. Ia merasa masih sama seperti sebelumnya. Apa pengobatan ini benar? Apa memilih untuk pergi ke professional ini langkah yang tepat? Entahlah, mungkin dia harus sedikit lebih bersabar untuk merasakan hasilnya. Tapi ia harap tidak ada lagi obat yang harus ia konsumsi. Terkadang ia merasa seperti minum obat terlarang karena meminumnya diam- diam. Stevan pernah bilang, anggap saja seperti minum vitamin. Hei, tapi ini tidak semudah itu. Vitamin dan obat jelas berbeda. “Loh? Novan?” Seseorang menepuk pundaknya. Novan tersentak kaget dan menoleh. Andi berdiri di belakangnya. Ia menenteng tas sekolahnya. “Cepat banget datangnya.” “Oh, Andi …” Novan menghela napas lega. “Iya, abangku ada meeting jadi ajak pergi pagi.” “Oalah gitu. Kirain lagi piket buang sampah,” ujar Andi. Novan menggeleng dan nyengir. Andi tidak lihat kan saat ia membungkus obat di dalamnya? Andi tidak tahu kan soal itu? “Nggak, tadi lagi beres- beres tas aja. Banyak kertasnya ternyata.” Andi mangut- mangut dan masuk ke kelas. Novan mengikutinya. “Oh ya, btw, kamu kemarin itu kenapa mendadak pulang?” Tanya Andi. Novan menelan ludah. “Ah itu … iya, kemarin itu katanya papahku sakit, jadi ya … abangku jemput gitu …” Jawab Novan asal. “Ya ampun. Sakit apa papamu?” Tanya Andi. s**l, malah percaya lagi nih anak. “Em … katanya sih … tadinya stroke kambuh, terus waktu di cek ternyata papa ada diabetes dan kolestrol. Combo duo komplikasi gitu. Jadi ya … gitu …” Jawab Novan bohong. “Jadi kamu nggak datang 2 hari kemarin itu, kamu temenin papamu sakit?” Tanya Andi lagi. Waduh, beneran percaya dia. Novan menggangguk pelan. Udahlah di iyakan saja. “Iya .. aku jagain papa di rumah sakit … tapi sekarang udah nggak apa kok, papa udah di bolehin rawat jalan katanya.” “Sekarang udah pulang dong?” Novan mengangguk. Tuhan, maafin Novan kalau bohong sampai bawa orangtua seperti ini. “Syukurlah kalau papamu udah mendingan. Kayaknya kamu sibuk banget ya urus papamu, sampai nggak bisa di hubungi.” “Hahaha .. iya, aku lagi jagain papa jadi nggak kepikiran cek HP,” ujar Novan. “Oh ya, selama aku nggak datang, ada tugas nggak?” “Ya ada sih. Ada tugas kelompok Bahasa Inggris, kamu sekelompok sama Yudi. Nanti tanya aja sama dia tugasnya apa, kumpulnya besok. Terus di suruh lengkapin catatan Biologi, nanti di cek. Tugas Sejarah, di suruh buat kayak mading gitu tentang sejarah singkat tentang G30S itu. Terus …” “Banyak ya,” potong Novan. “Memang. Nggak tahu deh, guru- guru lagi demen kasih tugas bejibun. Tugas kelompok ada dua pelajaran, Bahasa Inggris dan Sejarah itu. Lengkapin catatan Biologi, minggu depan ulangan Fisika, besok ada praktikum Kimia, sebelumnya harus nyari jurnal sebelum praktikum, satu jurnal aja.” “Perasaan aku cuma nggak masuk dua hari dah, bukan seminggu,” gumam Novan. “Kalo seminggu kamu nggak datang, udah deh begitu masuk langsung di hajar sama tumpukan tugas,” timpal Andi. “Bentar, bentar, aku catat. Tugas Bahasa Inggris …” Novan mengeluarkan post it dari laci meja dan menuliskan tugas- tugasnya di sana. “Eh, kemarin waktu kamu tiba- tiba pulang, mereka pada ngira kamu diskors sama bu Julia tau,” tukas Andi. DEG! Novan tertawa kecil. “Kok bisa mereka kepikiran kayak gitu?” Tanya Novan. “Karena kan kita baru balik dari BK. Yah, mereka ngiranya kamu tuh mungkin yang mincing, kamu sebenarnya yang buat onar bukan Yudi. Padahal kan jelas- jelas mereka lihat, bisa- bisanya kepikiran begitu ya.” “Oh, hahaha begitu … mereka sok tahu sih, biasalah,” timpal Novan. Syukurlah mereka salah menduga. “Ya kan. Harusnya kan Yudi yang diskors!” Andi melirik jam dinding di kelas. “Ah, aku lupa! Aku harus sapu halaman belakang sekolah! Halah, belum datang pula si Yudi itu,” gerutu Andi. “Yudi? Oh, hukuman kemarin ya?” “Iya, malah di tambah hukumannya sama bu Julia.” Andi bangkit dari duduk. “Udahlah, aku ke halaman belakang dululah.” “Semangat jalanin hukuman ya!” Andi berdecak kesal. “Nyebelin lu.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN