bab 152

1144 Kata
“Lama banget,” gerutu Novan. Dia bahkan sudah selesai nonton dua episode anime, tapi masih belum juga ia di panggil. “Ya sabar dong. Kan pasiennya banyak. Lagian ini beda dengan pasien lain, cek sat set udah selesai. Kebanyakan kan butuh terapi bicara yang lama,” timpal Stevan. Ia sedaritadi berkutat dengan layar laptop. Meski sedang sibuk, Stevan tetap menyempatkan diri untuk menemaninya. Walau tandanya dia harus turut membawa kerjaannya juga. “Ya, benar sih.” Hari ini mungkin hari yang sibuk di poli Jiwa, karena beberapa pasien tampak berontak. Ada 3 pasien yang menolak untuk masuk ke dalam, sampai dokternya turut keluar dari ruangan untuk membujuknya tapi tetap gagal. Bahkan satpam juga menyerah untuk menenangkannya. Malah ada seorang bapak yang malah memaki- maki dokter dengan lantang. Stevan yang melihat kejadian itu langsung berceletuk, “wah, lebih parah dari kamu sih itu. Untung aja nggak ada benda tajam, mungkin bakalan di lempar kali ya.” Ya, hari yang sangat hectic untuk poli Jiwa. Akhirnya setelah menunggu nyaris setengah jam, giliran mereka tiba juga. “J-29. Nomor J-29.” “Ayo, giliran kita.” Stevan menutup laptopnya dan memasukkan ke dalam tas. Novan kembali mengantongi smartphone dan bangkit dari duduk. Mereka masuk ke dalam ruangan bersama. ***** “Oh, hai kalian. Hai Stevan, hai Novan,” sapa dokter. Ah, bahkan Novan lupa nama dokternya. Tidak ada nametag. Siapa ya kemarin namanya? “Loh? Kok bukan yang biasa? Kemana dokter itu?” Tanya Stevan. “Oh, dia lagi ada urusan. Jadi saya yang gantikan. Perkenalkan, nama saya dokter Nurul, saya temannya dokter Siska.” “Nurul, yang teman satu kos Siska bukan?” Tanya Stevan. “Loh, kenal? Kamu siapa ya?” “Aku temannya Siska, kita pernah ketemu kok sesekali. Kadang aku temani dia pergi kerjain tugas di café. Stevan loh, ingat nggak?” “Oh, Stevan! Iya, ingat, ingat! Wah, makin ganteng aja kamu ya, walaupun udah tua!” Dokter Nurul melirik Novan. “Jadi siapa ini yang jadi pasien? Kamu?” “Nggak, bukan. Tapi dia.” Stevan memegang pundak Novan. “Ini Novan, keponakanku.” “Hem, sebentar. Novan Andriansyah …” Dokter Nurul membuka berkas di depannya dan membacanya sekilas. “Hem, kasus khusus ternyata.” “Kata Siska, Novan bakalan di pegang dengan dokter lain. Apa benar?” Tanya Stevan. Dokter Nurul menutup berkasnya dan mengangguk. “Iya. Siska ada nitip ke saya, tapi saya lupa nama pasiennya. Hem, sebentar ya. Saya hubungi dulu.” Dokter Nurul menempelkan smartphone di telinganya. “Ya, halo. Iya, udah waktunya nih. Kamu di mana? Oh, oke. Langsung masuk aja ya ke poli, mereka udah di dalam.” “Dia baru sampai. Sebentar lagi kemari. Kalian tunggu saja sebentar ya, sebelum itu, boleh saya tanya- tanya sedikit?” Tanya dokter Nurul. Stevan melirik Novan. Ia hanya mengangguk pelan. “Boleh, tapi apa boleh saya yang jawab?” Tanya Stevan. “Tak apa, asal jawabannya sesuai dengan keadaan Novan.” Dokter Nurul mengeluarkan pulpen, siap mencatat diagnosis. “Nah, baiklah. Kalau di lihat dari sini, sepertinya ini kunjungan kedua ya? Kalau begitu, sudah dapat resep obat dari Siska ya? Apa obatnya ada di minum?” Tanya dokter Nurul. “Em, iya. Memang ada di kasih Siska kemarin itu, tapi dia lupa minum, jadi ya obatnya masih banyak sampai sekarang,” jawab Stevan. “Oalah. Nggak apa, itu biasa. Memang susah untuk menerima awalnya.” Novan diam- diam menghela napas lega. Syukurlah ia tidak di omeli. “Tapi jangan begitu. Kalau dokter kasih resep, tandanya kamu memang butuh.” “Tuh dengerin.” Stevan menyikut Novan. Ia hanya mengangguk sambil menunduk. “Nggak apa, saya hanya mengingatkan saja. Hem, kalau begitu … saya tidak bisa tanya soal pengaruh obat sih karena jarang ia minum. Tapi, bagaimana perasaanmu akhir- akhir ini?” “Gimana perasaanmu?” Tanya Stevan. Novan terdiam sebentar. Apa yang ia rasakan akhir- akhir ini? Dia tidak merasakan sesuatu yang terlalu, entah yang kesal atau apalah. “Van?” Novan mengedikkan bahunya. “Nggak tahu, aku cuma ngerasa sibuk aja sih akhir- akhir ini,” jawab Novan. “Yah, walaupun sempat sedikit marah dengan teman. Tapi hanya marahan biasa, yah layaknya anak remaja sih.” Dokter Nurul mengangguk. “Nggak ada yang marah sampai kesal banget, sampai ada niat untuk memukulnya, begitu?” Novan menggeleng. Dokter Nurul mangut- mangut. “Baiklah. Bagus kalau begitu.” Dokter Nurul mencatat diagnosis di sebuah kertas. Tidak seperti dokter lain, tulisan dokter Nurul lebih bisa di baca. “Permisi.” Pintu ruang poli Jiwa terbuka dan tampaklah seorang dokter laki- laki. “Maaf terlambat.” “Oh, udah sampai ternyata. Nggak kok, nggak telat. Mereka juga baru sampai.” Dokter Nurul bangkit dari duduk dan memberikan catatan tadi pada dokter laki- laki. “Ini baru sebagian. Tolong ya, kamu gantikan sebentar. Aku mau kantin sebentar, beli minum. Kamu mau?” Dokter laki- laki itu membaca catatan itu dan mangut- mangut. “Boleh deh. Air mineral dingin aja ya.” “Oke.” Dokter Nurul mengacungkan jempol. “Kalau begitu, saya pamit sebentar ya. Silakan kalian konsultasi dengan dokter Nelwan.” Dokter Nurul pergi keluar. Dokter Nelwan duduk di kursi dokter Nurul dan menatap Stevan dan Novan. “Perkenalkan, saya dokter Nelwan. Saya dokter pengganti sementara di sini, di minta langsung oleh dokter Siska. Kalau saya lihat, sepertinya ini kasus khusus yang agak jarang. Saya bukan perempuan, jadi apa saya boleh tahu, sudah sejak kapan kamu merasa begitu?” Dokter Nelwan menatap mata Novan lamat- lamat. Novan menelan ludah. Sejak kapan? Apa mungkin itu sejak … “Itu … sudah lumayan lama. Ceritanya begini …” **** Mereka balik dari rumah sakit saat hari menjelang magrib. Ya, ini yang paling lama daripada sebelumnya. Mereka juga lama saat mengantri obat. “Gimana? Masih takut buat kontrol?” Tanya Stevan di dalam mobil. Novan mengedikkan bahunya. “Yah, lebih nyaman sih dengan dokter Nelwan tadi. Dia ramah, rasanya kayak teman aja gitu. Dia juga nggak judge sembarangan,” jawab Novan. “Mana mungkin dia nge judge, melanggar kode etik itu namanya.” Novan mangut- mangut. Benar juga. “Nah, kayaknya kamu di kasih obat lagi, yang berbeda. Kamu minum, jangan lupa.” “Iya, iya.” “Kita aman kan pulang jam segini? Ini udah kemalaman loh, papamu nggak ada telpon apa?” Tanya Stevan. Benar juga, ini sudah lewat dari jam malam untuk pulang sekolah. Ia mengecek smartphone. Tidak ada telpon atau chat dari papa. “Aman sih, kayaknya. Papa nggak ada hubungi,” jawab Novan. Stevan mangut- mangut. “Yah, semoga saja begitu,” gumamnya pelan. “Berhenti di tempat biasa?” Novan mengangguk. Perlahan mobil Stevan memasuki wilayah rumah Novan. Ia memberhentikan mobilnya tepat di sebrang minimarket. Novan baru saja keluar dari mobil dan terbelak kaget. Papa ada di sana, baru keluar dari minimarket. Ia menatap Novan dengan tatapan tajam. “Heh? Pa … papa?” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN