bab 67

1146 Kata
         Novan merutuk kesal dalam hati, mengutuk Karyo. Tadinya, begitu tiba di rumah, Novan ingin melanjutkan tidurnya yang tertunda. Tapi Karyo mengganggunya dengan menelponnya berkali- kali. Novan sudah mengaktifkan mode pesawat, tapi ia lupa mematikan wifi. Setelah dering telpon yang ke sekian kalinya, Novan memutuskan untuk mematikan wifi. Karyo mengirimkan banyak chat. Novan membacanya. Ia tidak suka dengan tumpukan notif.    Karyo Van Woi Nih ada tugas baru, tapi dia mintanya buru- buru. Kamu kerjain ya? *sent file* Aku gak ngerti ini, soal anak IPA. Tugas kimia katanya. Kami gak ada belajar kimia. Kumpulnya lusa, tapi dia minta besok udah siap. Bisa kan Van? Aku gabisa tolak nih, udah di bayar kontan soalnya. Thank you ya. Nanti kalau ga ngerti kamu coba nanya aja sama siapa gitu Thanks, aku mau kerjain yang lain dulu. Banyak tugas nih.            Novan menggerutu kesal. Apa ini? Tugas joki lagi? Kenapa Karyo ini sering banget sih nerima tugas yang waktunya mepet, dengan alasan sudah di bayar duluan? Bukannya dari awal memang harus begitu ya? Novan mengacak rambutnya.            “Heh, kamu kirain yang banyak tugas cuma kamu doang hah?! Aku juga tahu! Mana aku belum ada tidur lagi dari semalem! Mikir dikitlah kalo mau pick tugas!” Gerutu Novan. Ia hendak memaki Karyo di chat, tapi dia urungkan. Dia tidak mau kalau mereka sampai ribut, apalagi di divisi Dana Usaha itu hanya Karyo yang laki- laki.            “Ck, udahlah.” Novan download file yang di kirim oleh Karyo dan coba membaca sedikit soal yang ada di sana. Oh, syukurlah ini soal kimia kelas 10, masih mudah dan ada beberapa materi yang masih ia ingat di luar kepala. Ia mengeluarkan kertas coretan dan mulai mengerjakan beberapa soal yang ada di sana. Sudahlah, kerjakan saja ini dulu, biar nanti malam dia bisa tidur sepuasnya. ****            Novan merengangkan badannya. Badannya terasa kaku karena sedari tadi hanya duduk mengerjakan soal. Tanpa sadar hari sudah sore. Akhirnya tugas joki sudah selesai dan sudah dia kirimkan ke Karyo. Memang mudah, tapi yang namanya kimia juga cukup menguras otak. Novan hendak streaming video untuk refreshing, tapi sebuah telpon masuk mengganggunya. Telpon dari … eh? Gilang?            “Ya, hallo Lang.”            “Hallo Van. Anu, kamu dimana sekarang?”            “Ah? Aku di rumah aja sih ini, kenapa?”            “Van, kamu bisa ke sini nggak sekarang? Ini aku sama si Iwan lagi di kedai mie setan itu. Kita mau wawancara buat tugas wirausaha.”            “Hah? Tugas wirausaha yang mana?” Tanya Novan bingung. Terlalu banyak tugas sampai dia lupa tugasnya sendiri. Terdengar suara decakan Gilang di ujung sana.            “Itu loh, kan kemarin katanya di suruh wawancara penjual makanan yang sedang naik daun gitu. Kemaren kan kita udah putusin buat wawancara di sini, karena emang lagi hits.”            “Hallo Van?” Terdengar suara orang lain di ujung sana. Sepertinya ini suara Iwan. “Kita wawancara sekarang aja, soalnya kan nanti kita juga di suruh praktek masak deh buat di jualin gitu. Jadi mending selesaiin ini dulu. Kamu bisa ke sini kan sekarang? Kami tunggu nih.”            “Hah? Eh, tapi bukannya ini udah kesorean ya?” Novan melirik jam dindingnya. Sudah jam 5 sore.            “Nggak, baru buka juga nih tempatnya. Kamu siap- siap terus ya, nanti lokasinya di share sama Karyo. Udah ya, kami tunggu di sini. Siap- siap terus pokoknya!”            Telpon di matikan, bersamaan dengan masuknya chat Gilang yang share lokasi di chat. Novan menggerutu kesal.            “Ya udahlah, sekalian refreshing di luar juga,” gumamnya. Ia mengambil handuk dari gantungan dan masuk ke dalam kamar mandi. Ia mandi secepat kilat dan asal memakai baju yang ada. Tidak ada yang tertarik dengannya juga. Setelah semua beres, Novan turun ke bawah.            “Kamu mau kemana kok udah rapi?” Tanya ibu dari ruang tengah. Beliau sedang menemani Mikel nonton kartun, sedangkan ia sibuk dengan smartphone. Ah, ibu jaman sekarang.            “Mau keluar bentar, ngerjain tugas.” Novan menarik kunci motor yang tergantung di dinding. Sebenarnya dia ada motor sendiri, tapi selama ini dia belum berani membawanya di kota ini, takut kesasar.            “Abang, abang mau kemana? Mikel ikut dong!” Pinta Mikel. Novan sedikit kaget karena tiba- tiba Mikel sudah berdiri di sebelahnya.            “Jangan ya, abang ini mau pergi buat tugas sama temen ..” Tolak Novan halus. Ia mengelus pelan rambut Mikel. Mikel cemberut. Matanya berkaca- kaca.            “Bawa ajalah adikmu itu, nanti dia nangis pula,” ujar ibunya.            “Ini pergi kerjain tugas bu, bukan pergi main,” balas Novan. Ia merutuk dalam hati. Apa ibunya tidak dengar yang ia bilang tadi?            “Buat tugas tapi nggak bawa tas, kosong aja bawaannya kayak mau pergi nongkrong. Kalau memang nongkrong bilang aja, jangan alasannya buat tugas.” Novan berdecak kesal.            “Tugas wawancara, jadi nggak bawa buku. Kalau pun aku pergi nongkrong juga nggak ada urusannya denganmu.” Novan berjongkok dan menatap Mikel. “Maaf ya, lain kali kita pergi jalan- jalan ya? Nanti pulangnya abang bawain jajan.”            Mikel menyinggungkan senyum lebar saat di janjikan jajanan oleh Novan. “Bener ya? Abang nanti beliin es krim buat Mikel kan?” Tanya Mikel penuh harap. Novan mengangguk.            “Iya, nanti abang bawain es krim yang banyaak buat Mikel. Mikel baik- baik tapi ya di rumah.” Mikel berdiri tegak dan memberi hormat.            “Siap, laksanakan! Mikel paham!”            Novan tersenyum kecil melihat tingkah adiknya. Ia mengelus pelan rambut Mikel dan mencium pipinya yang tembam.            “Abang pergi dulu ya.” ****            Novan kembali mengecek smartphone untuk kesekian kalinya. Salah satu kelemahan Novan adalah dia tidak bisa membaca map. Ia sudah mengikuti sesuai dengan instruksi yang di berikan oleh maps, tapi tetap saja dia nyasar entah kemana. Setelah ia bertanya beberapa kali dengan orang di sekitar, akhirnya ia sampai di titik yang benar.            “Sori ya, telat. Tadi agak nyasar,” ujar Novan saat bertemu dengan Gilang dan Iwan. Mereka sudah duduk di dalam sambil menikmati es teh manis.            “Lah tapi kan udah di kirimin lokasinya pake maps tadi. Udah aku kirim kan ya?” Tanya Gilang sambil mengecek smartphone.            “Udah kok, tapi memang akunya aja yang b**o, gak bisa baca maps.” Novan duduk di sebelah Iwan.            “Yaelah elu mah Van …” Novan nyengir lebar.            “Jadi gimana? Kapan mau kita wawancaranya?” Novan memperhatikan sekitar. “Agak rame juga ya,” gumamnya.            “Iyalah, kan ini paling hits. Makanya walau baru buka tapi udah rame,” tukas Gilang.            “Tadi kami udah coba nanya sama pelayan di sini, kami udah bilang mau ketemu sama ownernya. Udah sempat aku hubungi sih, tapi katanya owner lagi keluar sebentar, jadi di suruh tunggu.” Iwan menjelaskan. Ia membuka buku menu di atas meja. “Kayaknya sambil nunggu, kita coba nyicip makanannya dulu yuk? Aku belum pernah makan di sini.”            “Boleh juga. Aku juga nggak pernah kemari, selalu rame soalnya, nggak dapat tempat,” timpal Gilang setuju.            “Boleh juga.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN