Bab 153

1397 Kata
“Papa…” Gumam Novan pelan. Papa masih menatapnya dengan tajam. Novan menelan ludah. “Novan!” Bentak papa. Papa menghampirinya dan menggebrak mobil Stevan dengan paksa. “Hei! Keluar kamu! Aku tahu kamu di dalam! STEVAN, KELUAR!” “Pa … pa … jangan gitu pa … pa …” Novan berusaha menarik papa. Orang yang lalu lalang memperhatikan mereka. Kasak kusuk mulai terdengar. “Pa, rame orang pa. Jangan buat malu …” Novan menarik tangan papa, tapi langsung di tepis. “Lepas! Jangan kamu halangi papa! Udah pintar kamu ya, bohongi papa terus keluar sama dia! Bilangnya pulang sama teman, tapi apa?! Pergi kemana kamu sama dia hah?!” Papa menggengam erat pundak Novan dan mengguncangkan badannya. Novan hendak menepisnya, tapi papa menggenggamnya dengan kuat. “Abang! Jangan gitu!” Stevan keluar dari mobil dan menepis tangan papa dari pundak Novan. “Kita bicarakan baik- baik, lagipula kita udah lama nggak jumpa.” Papa berdecak kesal. “Bahkan aku nggak sudi jumpa denganmu!” Papa menunjuk Stevan di depan matanya. “Jangan kamu ajak anakku pergi! Jangan kau kasih ilmu yang enggak- enggak!” Papa menarik Novan dengan kasar. “Nggak, bukan begitu. Aku nggak apa- apain Novan, tenang aja. Selaw bang, selaw.” “Novan! Lihat papa!” Papa menatap wajah Novan lamat- lamat. Novan menundukkan wajahnya. “Kamu di ajak pergi paksa olehnya kan? Bilang aja sama papa, yang jujur!” Novan terdiam sebentar, lalu menggeleng. “Nggak pa, Stevan … dia ajak ke rumah sakit …” Papa terbelak kaget. “Ke rumah sakit? Kamu di pukul ya sama dia? Kamu ada luka? Atau apa? Kamu di sakiti sama dia?” Papa mengelus lengan Novan. Novan menggeleng. “Nggak, Novan nggak luka. Novan …” Novan menunduk. “Hei, aku nggak ada pukul dia, sekali pun. Dia ke rumah sakit bukan karena luka di badan, tapi luka di batin,” timpal Stevan. “Apa maksudmu?” Tanya papa dengan tatapan tajam. Stevan balik menatap papa dalam. “Luka batin harus pergi ke psikiater untuk obtain. Aku antarkan dia ke poli Jiwa …” Papa terbelak kaget. Ia melirik Novan yang masih menunduk. “Jangan yang aneh- aneh kamu ya! Anakku nggak sakit jiwa! Dia sehat! Dia nggak gila!” “Hei, pergi ke psikiater bukan berarti dia gila.” Papa menggeleng. “Nggak, dia nggak butuh psikiater, atau poli jiwa, atau apalah itu namanya. Nggak, anakku sehat jiwa raga!” Papa menarik Novan ke pelukannya. “Tapi …” “Dia anakku, aku yang paling tahu tentangnya! Bukan orang asing sepertimu!” Bentak papa. “Ah, klasik. Setiap orangtua selalu bilang gitu,” gumam Stevan. “Kamu jangan sok tahu! Kamu belum punya anak, nggak tahu rasanya!” Stevan mengangguk. “Iya, aku belum punya anak, nikah saja belum. Benar, iyakan sajalah.” Stevan mendekat dan menatap papa lamat- lamat. “Ya, dia anakmu. Tapi dia bukan kamu.” Stevan menatap papa dari atas sampai bawah. “Mungkin daripada mengurus Novan, lebih baik kamu mengurus dirimu sendiri. Lihatlah, kamu sangat berantakan sekarang. Beda dengan dulu.” Stevan tersenyum geli. “Kamu nggak di urus dengan istrimu yang sekarang ya?” Wajah papa semakin memerah mendengar perkataan nyelekit dari Stevan. “Kamu… dasar kurang ajar!” Papa hendak memukul Stevan, tapi langsung di tahan oleh Stevan. “Jangan main pukul dong. Kamu nggak malu di lihatin anak sendiri?” Papa menoleh pada Novan yang menengadahkan wajahnya. “Kamu juga nggak malu di lihatin orang- orang? Semuanya pada lihatin kita loh.” Papa melirik sekeliling. Kerumunan orang semakin ramai mengelilingi mereka. Beberapa bahkan merekam pertengkaran itu. Papa berdecak kesal. Ia menurunkan tangannya dan balik badan. “Ayo Novan, kita pulang!” Papa menarik Novan. Ia mengikuti papa dari belakang. “Ngapain lagi kalian di sini hah?! Balik sana balik! Pulang kalian semua!” Papa mengusir kerumunan orang- orang. Terdengar decakan kesal dari kerumunan itu. Satu persatu pun bubar dari kerumunan. “Ya sudah, aku pamit pulang dulu ya bang. Titip salam buat keluargamu yang baru.” Stevan mendekati papa, hendak salim. Tapi langsung di tepis oleh papa. “Pulang sana! Nggak usah balik lagi! Ayo Novan!” ***** Novan mengikuti papa dari belakang. Ia dan papa memang jarang bicara, tapi kali ini dia bisa merasakan amarah papa. Dia menelan ludah. Dia tidak akan aman sampai rumah, pasti. Papa pasti menahan amarahnya di jalan dan akan meledak di rumah. Novan sengaja jalan lebih lambat, tapi langsung di tarik paksa oleh papa. “Pulang! Jangan sengaja di lambatin!” Bentak papa sambil menarik tangan Novan. “I .. iya pa …” Novan menunduk. Duh, mati aku! Mereka tiba di rumah. Ibu yang sedang menemani Mikel bermain di teras segera membuka pintu pagar. “Loh, tumben balik berdua,” ujar ibu. “Kebetulan ketemu di depan minimarket,” jawab Novan. Ia masuk dan salim pada ibu. Mikel berlari menghampirinya. Ia memeluk Mikel dan menggendongnya. “Novan,” panggil papa. Novan menelan ludah. Oke, ini tidak beres. “Ya pa?” “Kamu masuk ke dalam, papa mau bicara. Kasih Mikel ke ibumu.” Papa menoleh. “Ma, kamu dan Mikel di kamar dulu. Papa mau bicara dengan Novan.” Papa menatap Novan dengan tatapan tajam. Ibu mengernyitkan alis dan mengangguk. “Baik. Mama masuk dulu. Sini Mikel, sama mama aja.” Ibu mengambil Mikel dari gendongan Novan. Mikel merengek. “Nggak mau! Mikel mau sama abang!” Rengek Mikel. “Ssst, udah sama mama dulu ya? Papa lagi ada perlu sama abang. Ayo kita nonton bus brum brum di dalam!” Mama dan Mikel masuk ke dalam lebih dulu, di susul oleh Novan dan papa. Mama masuk ke kamar dan menguncinya, meninggalkan papa dan Novan di ruang tamu. Suasana mencekam menyelimuti ruang tamu. Novan menundukkan wajahnya, sedangkan papa menatapnya dengan tajam. Papa berdehem. “Novan,” panggil papa. Novan menoleh. “Mana hp kamu?” “Hah? HP?” Tanya Novan bingung. Papa mengangguk. “Iya. Mana HP kamu?” Papa menengadahkan tangannya. Novan mengeluarkan smartphone dari kantong celana dan memberikannya pada papa. Papa menerimanya dan yang terjadi selanjutnya tidak terduga. Papa membanting smartphone-nya ke lantai dengan kencang dan menginjaknya hingga seluruh layarnya letak. Novan melongo melihat smartphone-nya yang lecet. Ia hendak mengambilnya, tapi kalah cepat dari papa. “Nggak ada hp lagi buatmu,” ujar papa. Papa menggenggam smartphone erat- erat dengan tangannya yang besar, sampai smartphone itu sedikit penyok. “Tapi pa …” “Nggak ada tapi tapi! Nggak ada pokoknya hp buat kamu! Mulai sekarang, sampai selamanya!” Papa membanting smartphone ke lantai. “Kamu nggak boleh protes! Papa yang belikan kamu hp ini! Kamu hanya boleh pakai hp kalau memang kamu beli sendiri! Pakai uangmu sendiri!” “Tapi pa .. nanti gimana …” “Mulai sekarang, kamu kalau mau hubungi teman, lewat hp papa. Bilang ke semua temanmu, kalau ada perlu pakai hp papa! Mulai sekarang juga, setiap kamu berangkat dan pulang sekolah, papa yang jemput. Motor kamu juga papa sita, papa yang bakalan antar kamu kemana pun! Mama, mama!” Ibu tergopoh- gopoh keluar dari kamar dan terbelak kaget melihat smartphone yang hancur di lantai. “Kenapa pa? Ada apa ini?” “Ma, dengar papa. Pokoknya selama papa pergi kerja, jangan pernah kamu kasih pinjam hp kamu ke Novan, dan jangan kasih dia pergi keluar sendirian, baik mau jalan kaki sekali pun. Novan boleh keluar kalau papa udah pulang dan harus papa antar. Ngerti ma?” “Hah? Tapi kenapa gitu pa?” “Nggak ada tapi- tapi! Pokoknya ini hukuman buat Novan! Kamu, jangan pernah kamu temuin dia lagi!” Novan menggenggam erat tangannya. Keterlaluan. Ia menatap papa dengan tatapan tajam. “Apa lagi yang mau papa ambil? Sekalian aja papa kurung Novan di rumah, nggak boleh sekolah! Kenapa nggak sekalian gitu biar bisa terus papa pantau?! Hah?! Apalagi yang mau papa ambil hah?!” Bentak Novan dengan napas menggebu- gebu. Cukup sudah, hilang kesabarannya. Semakin di biarkan malah semakin menjadi. “Aku nggak tahu apa masalah papa dengan dia, tapi kenapa jadi aku yang kena hah?! Orang dewasa macam apa kalian?! Bahkan aku nggak ada salah apa- apa dengan kalian kan?!” Novan berusaha menahan tangisnya. “Maaf pa, tapi memang anakmu ini sakit jiwa. Orang gila, kayak yang papa bilang. Itu semua karena tingkah papa!” Novan membalikkan badan. Ia mengambil tasnya dan pergi ke kamarnya. Mengabaikan teriakan papa yang terus memanggilnya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN