bab 154

2192 Kata
“Novan! Keluar kamu Novan! Papa belum selesai bicara!” Papa menggedor pintu kamar dengan kencang. Novan tidak peduli, ia malah mengunci ganda pintu kamarnya dan sembunyi dalam selimut. “Pa, jangan begitu pa. Nanti pintunya rusak …” Terdengar suara ibu yang berusaha merelai papa. “Biarin! Bisa di perbaiki pintunya!” “Pa, jangan begitu pa. Malu kita di dengar tetangga, suaranya sampai keluar loh pa.” Papa berdecak kesal. “Awas ya kamu Novan,” ancam papa, lalu terdengar suara langkah kaki menuruni tangga. Samar- samar ia mendengar suara teriakan papa di bawah. Papa terus memaki- maki Stevan dan Novan, yang di iringi oleh bujukan ibu. Tapi teriakan itu berhenti saat terdengar suara tamparan yang cukup kencang. Novan melempar selimutnya dan menuju pintu. Ia hendak keluar, tapi ia urungkan niatnya. Ah, sudahlah. Sama saja. Tidak ada yang bisa merubahnya. Novan mengambil selimut dan kembali menyelimuti tubuhnya, mengabaikan suara tangisan yang samar- samar terdengar dari luar. **** Novan mengerjapkan mata perlahan. Ia tidak ingat kapan dan bagaimana ia bisa tertidur. Ia melirik ke jam dindingnya. Oh, masih jam 9 ternyata. Sepertinya dia baru tidur sebentar. Novan merenggangkan badannya dan turun dari kasur. Ia membuka tirai dan terbelak kaget saat cahaya matahari masuk ke kamarnya. Ini bukan jam 9 malam, tapi jam 8 pagi! s**l! Dia sudah terlambat untuk sekolah! “Abang,” panggil ibu dari luar sambil mengetuk pintu. “Iya bu.” Novan hendak membuka pintu kamar, tapi ia urungkan. “Ada apa bu?” “Kamu nggak sekolah nak?” Tanya ibu. “Nggak bu,” jawab Novan. Buat apalagi dia pergi sekolah jam segini? “Udah telat.” “Ya sudah kalau begitu. Papa sudah pergi kerja dari pagi tadi. Ibu dan Mikel pamit dulu, kamu jaga rumah ya. Makanan udah ibu siapkan, tinggal kamu panaskan saja di microwave.” Novan terbelak kaget. Ibu pamit? Novan membuka pintu kamar dan semakin terbelak melihat wajah ibunya. Ada memar biru di sudut bibir dan tangannya penuh dengan luka lebam yang mulai membiru. Rambutnya acak- acakan dengan mata sembab. “Ibu …” Novan memegang lengan ibu. Ibu meringis kesakitan. “Siapa .. papa … ini ulah papa kan bu? Iya kan? Papa semalam pukulin ibu?” Ibu menepis tangan Novan dan memegang lengannya. Ibu tidak menjawab apapun, hanya menyinggungkan senyum getir. Novan nelangsa. Ya ampun, ia tidak menyangka ini akan terjadi. “Ibu nggak apa kok, abang tenang aja ya.” “Apanya yang nggak apa? Bu, itu badan ibu udah biru- biru! Nggak, pokoknya kita pergi ke rumah sakit sekarang!” Novan keluar dan menarik tangan ibu. Ibu menepisnya. “Nggak usah bang, nggak apa kok. Ibu … ini udah ibu obatin, bentar lagi juga sembuh …” “Ya udah, kalau gitu biar aku lapor polisi! Pasti ini perbuatan papa kan?” Novan hendak turun ke bawah, tapi ibu mencegatnya. “Nggak bang, nggak apa. Itu bukan papamu, bukan papamu yang lakuin itu …” “Siapa lagi yang bisa lakuin itu selain papa?!” Novan menepis tangan ibu. Ibu menariknya dan memeluknya dengan erat. Isak tangisnya pecah di sana. “Bukan … itu bukan papa …” Ujar ibu di sela isak tangis. “Papa … papa nggak … nggak gitu … itu … bukan papa …” Novan membalas pelukan ibunya lebih erat. Isak tangis ibu semakin menjadi. Ia menyesal tidak mencegat papa semalam dan memilih untuk mengurung diri. Kalau saja dia tidak begitu, mungkin ibu tidak akan terluka seperti ini. “Maaf bu … Maaf …” Gumam Novan lirih. Bagaimana dengan Mikel? Apa Mikel mendengar pertengkaran semalam? Atau dia malah melihatnya dan juga di pukuli oleh papa? Ibu mengelus pundak Novan. “Udah, nggak apa. Bukan salah abang, bukan salah siapa- siapa di sini.” Ibu melepas pelukan dan mengelus pundak Novan. “Nggak apa kalau hari ini abang nggak sekolah, ibu izinin. Nanti biar ibu yang telpon ke sekolah ya.” Novan mengangguk. “Mikel gimana bu?” “Mikel nggak apa, dia baik- baik aja. Sekarang Mikel lagi nonton kartun di kamarnya.” Novan menghela napas lega. “Lalu ibu … bagaimana?” Ibu menunduk. “Maafkan ibu Van …” Ibu melirik Novan sekilas. “Ibu … maaf … ibu mau pergi … sebentar saja … setidaknya, sampai papamu sedikit reda.” Novan terbelak. “Ibu mau kemana?” “Entahlah. Mungkin ibu akan ke rumah teman, atau menginap di wisma atau hotel termurah saja. Ibu akan bawa Mikel pergi. Maaf, ibu … ibu hanya tak ingin Mikel melihat pertengkaran seperti semalam lagi. Ibu tidak ingin ada keributan. Maaf kalau ibu meninggalkanmu berdua dengan papa.” “Ibu … pergi sampai kapan?” “Tidak tahu, tapi ibu pasti akan kembali. Mungkin hanya untuk hari ini. Tenang saja, ibu tak akan lama. Ibu juga tak tega meninggalkanmu dengan papa lebih lama. Ibu akan terus hubungi kamu.” “Gimana ibu mau hubungi aku? Hp di sita papa, telpon rumah juga tak bisa.” “Oh ya, ini.” Ibu memberikan smartphone pada Novan, yang entah punya siapa. “Ini hp lama ibu, tapi masih bisa di pakai. Kamu pakai saja dulu untuk sementara. Ibu sudah masukkan simcard dan memory card punyamu ke dalamnya.” Novan terbelak kaget. Baterai smartphone itu penuh. “Ini charger. Oh ya, itu juga sudah ada paket data, sudah ibu isi. Kamu tinggal pakai aja, jangan sampai ketahuan papa.” Novan mengangguk. “Makasih bu.” Ibu tersenyum kecil. “Ya, sama- sama. Sepertinya papa saat ini juga akan pulang telat, lebih baik kamu segera hubungi Stevan saja sekarang.” “Ibu tahu soal Stevan?” Tanya Novan kaget. Ibu tersenyum geli. “Tidak mungkin ibu nikah tanpa tahu keluarga papa, kan?” Ibu menepuk pelan pundak Novan. “Ibu pernah ketemu Stevan. Kamu hubungi saja dia, kamu juga boleh temui dia, asal jangan ketahuan saja.” Novan memeluk ibu erat. “Makasih … makasih bu … makasih banyak …” Gumam Novan terbata. Ibu tersenyum lebar dan membalas pelukan Novan. “Kembali nak. Abang tetap anak ibu, walau bukan dari rahim ibu.” **** Novan membantu ibu mengepak barang- barang dan mengantar ibu ke depan rumah, dimana taksi menjemput. Mikel menangis kencang dan merengek untuk tidak ikut, tapi Novan membujuknya. “Abang! Abang kenapa nggak ikut? Mikel mau abang ikut!” Rengek Mikel. Novan mengelus pelan rambut adiknya. “Mikel, abang nggak bisa ikut karena harus sekolah. Mikel berdua saja dengan mama ya?” “Tapi …” Novan memeluk Mikel erat. “Mikel, jaga mama ya. Nanti abang coba susul kalian.” Mikel membalas pelukan Novan dan mengangguk. Ia berlari menghampiri ibu bersama Novan. Ibu kembali memeluk Novan erat. “Jaga diri, ibu akan pulang dengan cepat.” Novan mengangguk. “Hati- hati ya bu. Kabarin kalau udah sampai.” “Iya, ibu kabarin. Kamu hati- hati ya, kabarin ibu kalau mau pergi. Ayo Mikel.” Ibu menggandeng Mikel. Novan melambaikan tangan, yang di balas oleh ibu dan Mikel. Mereka masuk ke dalam taksi yang perlahan meninggalkan rumah. **** “HAH? APA?!” Teriak Stevan di ujung sana. Novan menjauhkan smartphone dari telinganya. “Si abang sampai kayak gitu?!” “Iya. Papa semalam marah banget sih, asli.” “Terus gimana? Katanya hp kamu di sita? Ini kamu hubungi aku pakai apa?” “Ibu kasih pinjam hp lamanya.” “Oh ya, kamu nggak apa nelpon aku jam segini? Bukannya ini masih jam sekolah ya?” Tanya Stevan. “Aku nggak sekolah,” jawab Novan. “HAH?! KENAPA?!” Novan kembali menjauhkan smartphone dari telinganya. Haduh, Stevan ini. Berisik sekali. “Telat bangun, tadi jam 9 baru bangun. Ya udah mending bolos sekalian daripada telat banget. Katanya ibu yang bakal buat izin ke sekolah nanti.” “Ya ampun … jadi sekarang di rumah? Sama ibu?” Novan berdecak. “Kan udah aku bilang tadi, ibu nggak ada di rumah. Aku sekarang sendirian di rumah, ibu sama Mikel pergi nginep di luar buat healing, papa pergi kerja dari pagi.” “Gile …” Stevan berdecak. “Ya udah dah, ini kerjaan aku setengahnya bisa di bawa pulang. Entar aku pulang sekalian mampir ke rumah gimana? Atau kamu mau di rumah aja?” Tanya Stevan. “Mending kamu yang ajak aku keluar deh. Sendirian di rumah nggak enak, mending keluar aja cari angin,” jawab Novan. “Nanti kalau ketahuan papamu gimana? Mengamuk lagi nanti dia.” “Ya, jangan lama- lama. Seengaknya sore udah di rumah gitu.” “Ya udah, kita cari angin. Nggak aman kayaknya kalau aku jemput, entar di liatin sama orang- orang kemarin. Jadi mendingan kamu aja yang nyusul ke apartemen. Entar alamatnya aku kirimin dah. Ini aku mau beresin sedikit, terus otw pulang.” “Ya udah, boleh juga. Ya udah, aku mandi dulu dah. Bye.” **** Setelah semua siap, ia segera memesan ojek online ke apartemen Stevan. Tidak butuh waktu lama, ojek online sudah tiba di depan rumahnya. Novan mengunci pintu dan menyimpannya di tempat rahasia. Ia membawa kunci cadangan untuk jaga- jaga dan pergi ke apartemen Stevan. “Ini alamatnya sudah benar kan mas?” Tanya pengemudi ojek online. Novan mengangguk. “Sudah mas.” “Baik. Kita berangkat sekarang ya mas.” Perlahan mereka meninggalkan rumah Novan. Sepanjang jalan, pengemudi ojek online mengajaknya mengobrol, tapi hanya di balas oleh anggukan dan “oh”, “ya,” atau “hem, gitu,” saja oleh Novan. Ia sedang tidak tertarik mengobrol. Lagipula suara pengemudi ojek online juga tidak terdengar jelas karena kalah bising dengan suara di sekitar. Novan mengeluarkan smartphone saat nada notifikasi chat berbunyi. Stevan Kamu jadi ke apart? Novan Andriansyah Jadi, ini lagi otw. Stevan Oke. Naik apa ke sana? Novan Andriansyah Ojol. Stevan Oh, oke. Biar aku top up ya saldomu. Nanti kalau udah sampai bilang. Aku juga lagi jalan pulang. Mau nitip makanan apa? Udah makan? Novan Andriansyah Belum. Boleh apa aja dah, nggak usah beli kalau ada makanan di apart. Stevan Ya udah aku beliin breakfast menu di WeckD ya? Sekalian kopi. Novan Andriansyah Boleh, terserah aja. Notifikasi chat lain masuk ke aplikasi. Hem, kontak yang tidak ia kenal. Ia mengecek foto profilnya. Oh, ini ibu. Widya Ningrum Novan, ini ibu. Kami nginap di wisma Kencana, di ujung kota. Kami baru sampai di sini, ibu booking satu kamar aja. Kamu lagi apa? Dimana? Kamu udah makan? Jangan lupa makan ya nak, semuanya ada di dalam kulkas. Bilang ibu kalau papa sudah pulang ya. Hati- hati. Jangan bilang papa kalau ibu di sini. Bilang saja ibu udah nggak ada di rumah dari kamu pulang sekolah, atau apalah. Novan Andriansyah Iya bu. Syukurlah kalau ibu sudah sampai di tujuan. Novan belum makan, sekarang lagi di jalan ke apart Stevan. Novan makan di sana. Widya Ningrum Lah kamu ke sana? Ya sudah, hati- hati. Jangan lama pulangnya, nanti keburu ketahuan papa. Pokoknya jangan lupa makan ya nak. Bilang ibu kalau mau pulang. Novan Andriansyah Iya bu. **** Novan tiba di apartemen Stevan lebih dulu. Syukurlah Stevan sudah menitip kunci ke resepsionis, jadi Novan bisa masuk lebih dulu. Ia melongo melihat apartemen Stevan yang sangat berantakan. Baju- baju yang berserakan di setiap sudut rumah, sisa- sisa makanan yang masih ada di meja dan tumpukan cucian piring di westafel. Novan geleng- geleng kepala melihatnya. “Ya ampun, anak ini …” Gumam Novan. “Nggak bisa gini nih.” Novan memunguti satu persatu baju yang berserakan dan menaruhnya di keranjang cucian. Ia menyalakan mesin cuci dan mencuci semua baju itu. Ia mengutip sampah dan mengumpulkannya dalam plastik besar, lalu menaruhnya di balkon. Ia juga mencuci tumpukan piring kotor hingga bersih tak bersisa. “Aku pulang. Kamu udah sampai ya Van …” Stevan masuk ke dalam dan melongo melihat rumahnya yang sudah rapi. “Oh, welcome.” Novan menyambut Stevan dari dapur. Stevan masuk ke dalam sambil memperhatikan sekitar. Ia masih melongo lebar. “Kamu yang rapiin semuanya?” Tanya Stevan. Novan mengangguk. “Ya iyalah, ini apartemen kamu udah kayak kandang sapi tau berantakannya. Bahkan kandang sapi aja lebih rapi.” Novan mematikan keran westafel dan mengelap tangannya. “Itu cucian piring juga pada numpuk, udah berapa lama nggak di cuci sih?” “Itu …” Stevan celingak- celinguk. “Loh? Baju- baju di sini dimana?” Stevan menunjuk sofa ruang tengah. “Semuanya aku cuci, habis di biarin gitu aja kayak baju kotor.” Stevan menepuk jidatnya. “Ya ampun, itu tuh baju baru loh rata- rata! Belum aku pakai, baru keluarin dari lemari!” “Ya, siapa suruh kamu geletakin gitu aja? Udah kayak baju kotor! Makanya rumah tuh di bersihin, beresin! Baju tuh kalau nggak di pakai taruh di tempatnya kek, ini di biarin bertebaran dimana- mana,” omel Novan. “Iya dah, iya dah. Maaf.” Novan mendengus. “Bentar aku mau cek cucian.” Novan melesat ke ruang laundry. Stevan menaruh paperbag di dapur, lalu pergi ke kamar untuk ganti baju. Setelah itu ia menyusun makanan yang ia beli ke piring dan menuangkan kopi ke gelas. “Van, udahan yuk. Sarapan dulu kita. Ini ada aku beliin bubur ayam, kopi, sama pancake. Makan dulu sini,” ajak Stevan. “Iya, iya. Aku nyusul.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN