Bab 77

1279 Kata
Novan menunggu di ruang BK dengan hati resah. Andi dan Yudi tadi sempat di panggil lagi oleh bu Julia untuk mengambil surat Panggilan Orangtua. Mereka di haruskan membawa orangtua mereka besok atau bu Julia sendiri yang akan pergi ke rumah mereka. Sepertinya Yudi akan diskors. Tak lama, mereka berdua kembali ke kelas, meninggalkan Novan sendirian di sana. “Anu, bu …” Bu Julia menoleh. “Saya … belum boleh balik ke kelas, bu?” “Belum. Tunggu sebentar, ibu lagi tunggu yang lain.” Novan mangut- mangut. Siapa itu yang lain? Terdengar suara pintu ruang BK di ketuk. Pintu terbuka dan pak Tono berdiri di depan sana. “Permisi bu Julia ..” “Oh, pak Tono. Masuk pak.” Bu Julia mempersilakan. “Ini bu, saya bawa anaknya.” Pak Tono membuka pintu lebih lebar dan tampaklah Karyo di sana. “Ayo, kamu masuk,” pinta pak Tono. Karyo mengangguk dan sedikit membungkukkan badannya. “Anu, permisi …” “Novan, Karyo, kalian duduk di depan ibu,”perintah bu Julia. Karyo dan Novan saling bertukar pandang dan duduk di depan bu Julia. Mereka menundukkan wajahnya dan saling melempar pandang. “Ngapain kemari?” Bisik Novan. Karyo mengedikkan bahunya. “Lah kamu ngapain udah duluan kemari?” “Lagi apes aja, ada urusan.” “Tuh muka bonyok, berantem ya?” Novan memegang pipinya yang masih agak memerah. “Masih anak baru kok udah berantem aja.” “Bukan. Diem. Jangan sok tahu,” bantah Novan dengan suara agak tinggi. Bu Julia berdehem. “Kalian kenapa bisik- bisik?” Tanya bu Julia. Novan dan Karyo menggeleng bersamaan. Mereka saling sikut. “Sudah, sudah.” Bu Julia menarik napas panjang. “Kalian pasti bertanya- tanya kan kenapa saya panggil kemari?” Novan dan Karyo saling tatap, lalu mengangguk. “Anu … ada apa ya ibu panggil kami?” Tanya Karyo. “Baik. Semuanya udah berkumpul. Jadi, ibu akan beritahu alasan kalian di panggil kemari.” Bu Julia berdehem. “Kalian di panggil kemari karena …” ***** “Begini. Beberapa guru di sekolah sempat merasa bangga karena banyak dari anak- anak yang mendapatkan nilai bagus, bahkan anak yang biasanya tidak mengerjakan tugas mulai mengumpulkan tugas.” “Wah, baguslah bu,” celetuk Karyo. “Ya, bagus memang. Tapi …” Bu Julia menatap mereka. “Tapi … penjaga sekolah kita, pak Budi, sempat melihat ada anak yang pergi ke gudang belakang.” Deg! Novan dan Karyo saling bertukar pandang sesaat. Gawat. Bukannya mereka selalu berhati- hati kalau pergi ke sana? “Katanya ada dua orang anak yang ke sana. Anak laki- laki. Pertama pak Budi nggak terlalu peduli. Beliau pikir mungkin anak murid ada yang naruh kursi bekas di sana. Tapi pak Budi mulai curiga karena mereka pergi ke sana tidak sekali saja, sampai berkali- kali. Pak Budi mulai curiga. Beliau kira ada transaksi barang illegal di sana atau anak- anak yang ketahuan merokok. Akhirnya pak Budi buka gudang itu saat sekolah sudah sepi, dan yang pak Budi temukan ternyata jauh lebih mencengangkan.” “Pak Budi temuin ini.” Bu Julia membuka laci mejanya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Beliau menaruh lembaran kertas ke depan mereka. “Kalian tahu ini apa?” Novan memperhatikan kertas itu lamat- lamat, lalu menggeleng. Karyo masih menundukkan wajahnya. “Ini adalah kertas ujian. Ya, untuk ujian ke depannya memang. Guru- guru sudah menyiapkan soal ujian jauh sebelum ujian di laksanakan. Kertas ujian ini adalah kertas ujian terbaru yang akan di pakai untuk ujian dua bulan lagi.” Novan terbelalak kaget. Ia melirik Karyo yang menunduk semakin dalam. “Saya nggak tahu kenapa bisa ada ini di sana, padahal guru- guru udah simpan soal ini sebaik mungkin. Dan ini soalnya nggak cuma satu mata pelajaran aja, ada beberapa mata pelajaran dengan jenjang kelas yang berbeda.” Bu Julia menaruh setumpuk kertas. Novan melihat kertas itu satu persatu. Soal Fisika kelas 10 MIA, soal Biologi kelas 11 MIA, soal Matematika kelas 10 IIS, dan banyak lagi. Rasanya soal di hampir semua mata pelajaran ada di sana. “Saya … nggak tahu soal ini bu …” Ujar Novan tergagu. Ia speechless melihat tumpukan soal di depannya. “Tapi kamu tahu kan tentang soal- soal ini, Karyo?” Bu Julia menatap Karyo lamat- lamat. Karyo masih menundukkan wajahnya. Bu Julia berdehem. “Karyo. Hei, Karyo.” Hening. Karyo masih tidak mendongak. Bu Julia menarik napas dalam dan menggebrak meja pelan. Karyo tersentak kaget dan mendongak. “Karyo, daritadi saya panggil kamu!” Bentak bu Julia. “Ibu tanya, kamu tahu kan tentang kumpulan soal- soal ujian ini?” Bu Julia menunjuk tumpukan kertas yang berserakan di meja. Karyo tidak menjawab. Ia menggigit bibirnya. “Anu … ini … apa ya bu?” Tanya Karyo terbata- bata. “Karyo.” Bu Julia menatap Karyo lamat- lamat. “Saya tahu. Jawab saja saya yang jujur, kamu yang curi soal- soal ini kan dari ruang guru?” “Tapi saya nggak …” Karyo membantah. Bu Julia memotongnya dengan meletakkan sebuah foto di atas tumpukan kertas. “Ini kamu bukan?” Bu Julia menunjuk foto itu. Novan dan Karyo tercekat. Tampak jelas Karyo di sana, sedang membuka loker yang ada di ruang guru. Bu Julia menaruh beberapa foto lain, foto Karyo yang sedang menutup loker dengan tangannya memegang sebuah kertas dan Karyo yang menyembunyikan kertas itu di balik bajunya. “Kamu mungkin tidak tahu, sudah terpasang CCTV di ruang guru, dan baru di nyalakan saat kamu menjalankan aksi ini. Kebetulan sekali. Sebenarnya waktu itu kami hanya mengetes CCTV saja, tapi ternyata malah menemukan hal lain.” Karyo tidak bisa berkata- kata. Ia menatap foto itu lamat- lamat. Seluruh badannya bergetar hebat. “Kamu jangan mengelak, sudah ada bukti di tangan. Ibu tidak akan memanggil kamu kalau hanya sekedar katanya saja.” Bu Julia berdehem. Ia mendekat ke Karyo. “Itu kamu kan?” Karyo mengangguk sambil menundukkan wajahnya. “Kenapa kamu melakukan hal itu?” “Karena … saya … butuh ….” Jawab Karyo terbata- bata. “Saya … saya butuh … soal- soal itu … untuk belajar …” “Tanpa soal itu, kamu juga bisa belajar. Materi yang diberikan sama dengan yang kalian pelajari. Harusnya kamu tidak melakukan hal itu,” ucap bu Julia. Karyo kembali mengangguk. “Benar hanya untuk belajar saja?” “Sebenarnya …” Karyo melirik Novan sesaat. “Ya … untuk belajar … ada untuk …” Karyo tidak meneruskan perkataannya. Bu Julia menghela napas dan menatap Novan. “Kamu, Novan. Kamu tahu kenapa saya panggil kamu kemari? Karena pak Budi bilang, ada dua orang yang pergi ke gudang. Pak Budi tanda dengan Karyo, tapi tidak denganmu. Karena itu, saya coba cari tahu dan saya teringat kalau ada anak baru di kelas 11 MIPA 2. Kebetulan saja tadi kamu keseret dengan masalah di kelas, jadi sekalian saya ungkit soal ini.” Bu Julia menatap Novan lamat- lamat. “Jadi, kamu tahu tentang soal- soal ini?” Novan menggeleng. “Saya tidak tahu mengenai soal- soal ini bu. Berani sumpah, saya benar- benar tidak tahu. Saya juga baru tahu sekarang.” “Lalu, kamu dan Karyo ngapain di gudang itu? Kenapa bisa pak Budi temuin kumpulan soal ini di gudang?” Novan menatap Karyo dengan tatapan harap cemas. Karyo menundukkan kepalanya dalam. “Anu, itu bu.. sebenarnya …” “Van, maaf …” Gumam Karyo setengah berbisik. “Kamu nggak tahu soal ini, cuma aku yang tahu. Aku setuju dengan ide kamu mengenai joki tugas itu karena … aku juga mau menjual soal- soal itu ke anak- anak yang lain.” Novan tersentak kaget mendengarnya. Ia memegang bahu Karyo dan mengguncangkannya. “Maksud kamu apa hah?!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN