Bab 78

2285 Kata
“Maksud kamu apa hah? Karyo! Jawab!” Novan mengguncangkan bahu Karyo lebih kencang. Karyo terdiam dan tetap menundukkan kepalanya. “Anu, Novan, kamu bisa jelaskan pada ibu apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya bu Julia. Novan menelan ludah. Ia menarik napas dalam dan kembali duduk. “Saya akan menjelaskan semuanya. Saya terlibat di sini, saya yang punya ide di sini. Jadi begini bu, saya berniat membuka jasa joki untuk membantu divisi Dana Usaha mencari modal untuk event sekolah yang besar itu. Saya hanya menceritakan ide saya ini pada Karyo dan ia merealisasikannya. Akhirnya kami kerjasama melakukan hal itu.” Bu Julia mangut- mangut mendengarnya. “Tapi kalau tentang ini …” Novan menunjuk kumpulan soal yang berserakan di meja. “Berani sumpah, saya tidak tahu apa- apa. Karyo tidak ada menceritakan soal ini pada saya. Saya juga baru tahu soal ini.” Ia menatap Karyo dengan tatapan tajam. “Kalau begitu …” Bu Julia melirik Karyo. “Soal- soal ini, ulahmu sendiri ya Karyo?” Karyo mengangguk. “Iya bu … Anu, itu …” “Itu apa?” Karyo menelan ludah. “Jadi sebenarnya … tadinya saya juga mau mengajak Novan juga … untuk sebarin soal ini, dengan alasan ini tugas joki. Saya … mau menyuruh Novan mengerjakan soal- soal itu, lalu menjual jawabannya …” Karyo menjelaskan dengan hati- hati. Ia melirik Novan sekilas, lalu memalingkan wajahnya. Wajah Novan memerah menahan amarah. “Tapi sayangnya, rencanamu keburu gagal karena sudah ketahuan oleh saya,” lanjut bu Julia. “Edan kamu Yo! Bisa- bisanya kamu nyuruh aku kayak gitu!” Bentak Novan. “Nge-joki sendiri kan sudah curang namanya, kenapa tidak sekalian curang saja dengan jual jawab- jawaban ujian hah?!” Bentak Karyo balik. “Tapi nggak gitu cara mainnya! Joki itu bukan curang, itu cuma … cuma …” Novan kehabisan kata- kata. Ia kembali duduk di tempat. “Saya nggak tahu ya, udah berapa lama kalian ngelakuin ini. Tapi sepertinya sudah ada beberapa yang memesan jasa joki kalian ini. Lalu hasilnya bagaimana? Apa kalian sudah memberikannya kepada ketua divisi? Siapa ketua kalian itu?” “Anu .. ketuanya Kirana bu …” Jawab Karyo. “Kirana Larasati, 11 IIS ya?” Karyo dan Novan mengangguk. “Nah, kalian udah kasih belum itu hasil dari kalian ngejoki itu ke Kirana? Terus gimana kalian baginya? Kan kalian udah susah payah nih kerjain tugas punya murid lain, masa kalian nggak ambil untung buat kalian sendiri sih?” “Soal itu, mungkin sebaiknya Karyo yang jelaskan bu. Karena Karyo yang pegang semua uangnya.” Novan melirik Karyo dengan tatapan setajam elang. “Anu … maaf Van … tapi …” Novan melotot. Karyo menelan ludah. “Semua uangnya … udah aku pakai …” Novan mencengkram bahu Karyo dengan erat. Karyo meringis kesakitan. “Kamu … pakai untuk apa uangnya?” Tanya Novan sambil melotot menatap Karyo. “Aku … pakai … untuk diriku … untuk keperluanku …” Novan melempar Karyo hingga ia jatuh tersungkur. Sudah habis kesabarannya. Ia menggengam erat tangannya. Ia hendak melayangkan tinju ke Karyo, tapi bu Julia menghalangi. “Novan, kalau kamu pukul Karyo di depan saya, hukuman kamu bakal ibu tambah,” pinta bu Julia. Novan mengurungkan niatnya. Ia kembali menurunkan tangannya dan duduk. Ia menggoyangkan kakinya dengan resah. Karyo kembali duduk setelah menggeser kursi beberapa meter, menjaga jarak dari Novan. Bu Julia menghela napas berat. Beliau menepuk jidat dan geleng- geleng kepala. “Kalian ini memang ada saja ya … kasus ini bukan hal sepele, karena jatuhnya kecurangan yang fatal. Sekarang kalian telfon orangtua kalian, suruh ke sekolah sekarang juga.” Novan dan Karyo melongo. “Sekarang bu?” Tanya mereka serempak. Bu Julia mengangguk. “Ya, lebih baik kalian yang telpon. Atau saya saja yang telpon?” Bu Julia membuka buku berisikan identitas siswa. Karyo dan Novan menggeleng serempak. “Nggak, nggak usah bu! Biar kami aja yang telpon!” Jawab mereka berdua. Bu Julia menutup buku itu. “Ya sudah, kalian telpon sekarang. Kalau nggak bawa smartphone, bisa pakai telpon kantor.” Bu Julia menunjuk telpon yang terletak di meja. “Nggak apa bu, biar kami telpon pakai hp sendiri aja. Bentar bu, kami permisi nelpon dulu ya …” Karyo dan Novan bangkit dari duduk dan berdiri di pojokan. Novan mengeluarkan smartphone dan membuka kontak. s**l. Dia tidak bisa menghubungi papa dan tidak boleh. Entah akan semarah apa papa kalau tahu akan hal ini. Siapa yang harus ia hubungi sekarang? Ia tidak punya nomor ibunya. Novan menggigit kuku jari tangannya. Ah, sudahlah. Siapa saja boleh, asal jangan papa pokoknya! **** Novan menelan ludah. Setelah beberapa menit penuh pertimbangan, akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi Stevan. Hanya Stevan yang sedikit aman baginya sekarang. Nada sambung mulai terdengar di ujung sana. Novan menelan ludah, harap cemas semoga Stevan mau menggantikan papa ke sekolah. “Hallo, Novan? Tumben kamu nelpon jam segini. Ada apa?” Tanya Stevan di ujung sana. Novan menelan ludah. “Anu, Van … itu … kamu, bisa ke sekolah sekarang nggak?” Tanya Novan terbata- bata. “Loh? Memangnya kenapa? Ini aku lagi jam kantor nih, lagi kerja. Penting banget ya? Bukan karena ada yang ketinggalan kan?” Novan menggeleng. “Nganu Van, bukan. Bukan itu kok. Aku … sekarang lagi di ruang BK …” Hening. Tidak ada suara dari sana. Novan menelan ludah. Stevan pasti shock mendengarnya. “Ngapain ke ruang BK? Kamu buat masalah apa? Terus kenapa kamu telpon aku?” “Nganu … itu Van .. guru BK suruh bawa orangtua kemari .. jadi aku telpon kamu …” Novan kembali menggigit kuku jari tangannya. Tidak ada jawaban dari sana. Hanya terdengar helaan napas panjang. “Ya sudah. Aku izin sebentar buat pergi ke sana. Kamu tunggu.” “Makasih Van … maaf …” “Nanti aja kamu minta maaf, kalau aku udah denger permasalahannya. Udah, tunggu aja. Bilang ke gurumu, aku otw ke sana.” Telpon di matikan. Novan menghela napas lega. Ia kembali mengantongi smartphone dan duduk di depan bu Julia. “Gimana? Orangtua kamu bisa datang?” Tanya bu Julia. “Bisa, bu. Sedang dalam perjalanan,” jawab Novan. Bu Julia mangut- mangut. “Kalian tetap di sini sampai orangtua kalian datang,” pinta bu Julia. Novan dan Karyo mengangguk bersama. Hening. Tidak ada yang membuka percakapan. Hanya suara AC yang terdengar. Tapi keheningan itu pecah saat seseorang nyelonong masuk tanpa mengetuk pintu. “Karyo! Mana kamu Karyo?!” Bentak seorang pria berbadan besar di depan pintu. Kami tersentak kaget. Karyo menundukkan kepalanya. Pria itu menatap Karyo dan berjalan menghampirinya. “Anak s****n!” Sebuah tamparan melayang dan mengenai pipi Karyo. Novan dan bu Julia tersentak kaget melihatnya. “Kamu ini! Ke sekolah itu buat belajar! Bukan bikin masalah! Anak macam apa kamu hah?!” Pria itu hendak melayangkan tamparan lagi, tapi langsung di cegat oleh bu Julia. “Pak, tolong pak kondisikan dulu emosinya. Tarik napas dulu pak. Tolong ingat, saat ini bapak sedang di sekolah, tempat umum. Jangan sampai bapak buat keributan di sini,” bujuk bu Julia. Ayah Karyo menepis tangan bu Julia dan berdecak kesal. “Maaf pak, bapak boleh duduk di sana sambil menunggu orangtua yang lain.” Bu Julia mempersilakan sambil menunjuk sofa yang ada. Ayah Karyo duduk di sana, sedangkan Karyo masih di tempatnya. “Kita tunggu orangtua kamu datang ya, Van. Orangtua kamu datang dari rumah?” “Enggak bu, langsung dari kantor.” Bu Julia mangut- mangut. Terdengar suara ketukan dari ruang BK. Pintu terbuka dan berdiri seorang wanita paruh baya di sana. Badan kecilnya membuatnya terlihat lebih muda, dengan paras ayu keibuan yang lembut. “Permisi, ruangan bu Julia?” Tanya beliau. “Ya, ini ruangan saya,” jawab bu Julia. Karyo membalikkan badannya dan membelak kaget. “Ibu…?” Karyo bangkit berdiri dan menghampiri ibunya. Ia memeluk ibunya dan menangis di dalam pelukan sang ibu. Ibu Karyo mengelus lembut rambut Karyo. “Ya ampun, pipi kamu kenapa begini nak? Kamu habis berantem sama siapa?” Tanya ibu Karyo sambil memegang pipi Karyo yang lembam. “Aku pukul,” jawab ayah Karyo. “Jangan kau manjakan anak itu. Dia udah buat masalah di sekolah. Lembek kali kau didik anak itu, jadi seenaknya aja kan dia.” “Ayah nggak boleh begitu. Gimana pun ini anak kita Yah, nggak boleh main pukul,” ucap ibu Karyo sambil memeluk anaknya. “Halah, anak macam apa itu, sampai di panggil kita ke sekolah. Buat masalah kan dia, makanya di panggil ke BK? Ck, bukannya belajar yang rajin, kasih rangking, nilai bagus, malah di kasih hukuman.” Ayah Karyo menyilangkan tangannya di d**a dan berdecak kesal. “Ya tapi yang namanya main tangan itu nggak boleh Yah …” Relai ibu Karyo. Ayah Karyo menggebrak meja. “Tapi untuk sekarang boleh! Biar dia jera!” Bentak ayah Karyo. “Anu …” Pintu BK kembali terbuka. Stevan melongokkan kepalanya ke dalam. “Maaf menganggu, saya wali dari Novan Andriansyah …” Ujar Stevan. “Oh ya, silakan masuk.” Bu Julia mempersilakan. “Kalau saya boleh tahu, kenapa anda yang datang menggantikan orangtua Novan?” Tanya bu Julia. “Orangtua Novan sedang dinas keluar kota, jadi saat ini dia di titipkan ke saya bu.” Stevan masuk ke dalam ruangan dan menyalim bu Julia. “Baiklah. Silakan duduk di sofa. Kalian juga, anak- anak.” Bu Julia menepuk pelan pundak Novan. Karyo melepas pelukan ibunya dan duduk di sofa bersebelahan dengan Novan. Stevan ikut gabung dengan mereka. Bu Julia menarik napas panjang dan berdehem. “Jadi begini. Bapak dan ibu sekalian, saya meminta anda datang ke sekolah bukan tanpa alasan. Tapi sebelumnya, apapun kesalahan anak- anak ini, saya harap anda sebagai orangtua tidak terlalu berlebihan memberi hukuman. Maafkan dan bimbing mereka. Mungkin saja mereka melakukan hal ini karena khilaf. Saya mohon pengertiannya, jangan sampai psikis anak terganggu.” Bu Julia memperingatkan. Semua mengangguk. “Jadi, Karyo dan Novan telah melakukan kecurangan di sekolah ini. Novan sudah melakukan hal curang dengan membuka jasa joki tugas, sedangkan Karyo sudah mencuri soal- soal untuk ujian nanti dan berniat meminta Novan mengerjakannya, lalu menjual soal dan jawabannya pada murid- murid.” Stevan melirik Novan dengan tatapan tajam. Novan menundukkan wajahnya. Ayah Karyo melotot lebar menatap Karyo, sedangkan ibu Karyo tampak shock. Beliau melongo, menatap anaknya dengan tatapan kosong. “Terlebih lagi, mereka meminta bayaran untuk tugas joki mereka. Dan Karyo, ketahuan menilap uang itu yang seharusnya ia berikan untuk membantu dana event sekolah nantinya.” Ayah Karyo melotot semakin lebar, seakan matanya bisa meloncat keluar kapan saja. Bu Julia menatap kami. “Kalian berdua akan di beri hukuman. Tapi sebelum itu, kalian harus meminta maaf dengan Kirana terlebih dahulu. Kalian harus menjelaskan semuanya pada Kirana. Kalian harus tahu, semua anggota devisi akan kena konsekuensinya. Kalian harus meminta maaf pada mereka dan bertanggung jawab akan hal itu.” Ah, benar juga. Novan dan Karyo saling bertukar pandang. Mereka lupa akan hal itu. Mereka menghela napas panjang. Yah, apapun konsekuensinya harus mereka terima. “Saya akan panggil Kirana kemari saat jam istirahat. Kalian boleh kembali ke kelas kalian dan mengemas tas.” Hah? Apa? **** Kirana tiba di ruang BK saat bel istirahat baru berdering. Ia mengendap- endap masuk ke ruang BK dan menundukkan kepalanya saat menemui bu Julia. Novan dan Karyo menjelaskan semuanya dengan terbata- bata. Tapi sepertinya Kirana tetap mengerti. Ia melongo lebar. Ia tidak bisa berkata- kata. Matanya berkaca- kaca. “Kalian … kalian … tega …” Kirana terisak. “Kalian jahat! Tega! Karyo, aku nggak nyangka kamu kayak gitu, Yo.” “Maaf Kir …” Karyo menundukkan wajahnya. Kirana menarik napas panjang. “Susah buat maafin. Aku belum siap buat maafin kalian. Tapi aku terimakasih atas kejujuran kalian. Maaf bu, saya balik dulu.” Kirana membuka pintu. Ia menatap Karyo sekilas. “Yo, aku kecewa sama kamu,” gumam Kirana sebelum ia menutup pintu. “Maaf Kir …” Gumam Karyo pelan. Hening. Karyo dan Novan menunggu di ruang BK, sedangkan kedua orangtua Karyo dan Stevan pergi ke ruang Tata Usaha untuk mengambil Surat Peringatan. Ya, mereka diskors. Karyo diskors 4 hari, sedangkan Novan diskors 3 hari. Tak lama, mereka kembali dari ruang Tata Usaha yang terhubung dengan ruang BK. Wajah ayah Karyo memerah. Ia menghampiri Karyo dan menarik tangannya. “Minta maaf sama gurumu! Terus kamu kemas barangmu, kita pulang sekarang!” Pinta ayah Karyo. Karyo menurut. “Maaf bu, saya pamit dulu ..” Ia menyalim bu Julia. “Ya, kamu jangan lakuin lagi hal itu ya,” ujar bu Julia. Karyo mengangguk. Ayah Karyo menariknya keluar ruang BK dengan kasar. “Ayah jangan gitu. Karyo kesakitan itu,” pinta ibu Karyo. “Ibu ini! Biarkan saja. Dia sudah buat malu kita bu!” Karyo pergi keluar ruang BK, meninggalkan Novan dan Stevan di dalam sana. Novan dan Stevan saling tukar pandang. “Kamu pamit dulu sama gurumu, terus minta maaf. Habis itu kita ke kelas, kemas barangmu,” pinta Stevan. Novan mengangguk. Ia membungukkan badannya. “Maaf bu, saya merepotkan. Sekali lagi, saya minta maaf,” ucap Novan. “Tak apa, tak apa. Saya tahu kamu pintar, tapi jangan kamu lakuin hal begini lagi ya. Lebih baik kamu belajar bareng dengan temanmu, daripada harus seperti itu. Paham?” Novan mengangguk. “Paham bu.” “Kalau begitu, saya permisi dulu bu. Maaf sudah merepotkan,” pamit Stevan. “Ya, silakan nak. Tolong jangan terlalu di marahi ya.” “Entahlah bu, saya tidak janji. Mungkin ada sedikit hukuman yang akan saya berikan.” Stevan melirik Novan dan menyinggungkan senyum kaku. Novan menelan ludah. Stevan marah. Tidak mungkin sih memang kalau Stevan tidak marah, atau kecewa. Itu mustahil. Ia membuang wajahnya. Senyum Stevan mengerikan. Ia tidak bisa membayangkan hukuman seperti apa yang akan diberikan oleh Stevan nantinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN