bab 121

1114 Kata
Dokter Akar menjelaskan maksud kata ‘cuti’ pada Dudut. Dudut mangut- mangut. “Nah itu maksudnya. Ngerti?” Tanya dokter Akar. Dudut mengeleng dan nyengir lebar. “Hehe, kurang dok ...” Jawabnya. Dokter Akar menepuk jidatnya. Kami geleng- geleng kepala. “Intinya cuti itu tuh libur, gak kerja. Gitu. Paham kan?” Rendra menjelaskan. “Gak ngapa- ngapain gitu loh, gak kerja.” Dudut mangut- mangut. “Kayak dokter Akar sekarang nih? Gak kerja?” Dudut menunjuk dokter Akar. “Iya deh iya, kayak saya. Bener kamu. Gak salah memang,” ujar dokter Akar. Dudut nyengir lebar. “Gak apa deh dok. Kapan lagi kan cuti kayak gini.” Rendra menepuk pelan pundak dokter Akar. “Yah ini sih cuti karena insiden. Kalo enggak mah hari ini saya masih masuk shift di rumah sakit.” “Yah kan jarang- jarang juga kan cuti panjang kayak gini kan dok? Biasanya juga hari libur nasional juga masuk.” “Yah orang sakit mana kenal waktu toh.” Dokter Akar selonjoran. “Sekarang sih kayak cuti, tapi ada aja hal yang buat spot jantung.” Kami mengangguk setuju. Ya, benar. Rasanya selalu ada saja sesuatu yang membuat kami terkejut. Kami di hantui dengan bayang- bayang ketakutan sebenarnya. Tidak bisa di bilang saat ini kami sedang berlibur. Terlihat seperti itu, tapi kami merasa di hantui oleh ancaman dari manapun. “Eh. Udah ada signal. Udah bisa nih mapsnya!” Celetuk Kara. “Nyalain aja mode auto pilot Kar. Biar kamu istirahat bentar,” saran dokter Akar. Kara mengangguk dan mengaktifkan mode auto pilot. Kara menghela napas. Ia merenggangkan kedua tangannya dan selonjoran. “Akhirnya. Capek juga bawa mobil di jalanan lurus,” gumam Kara. “Lah kan enakan bawa di jalan lurus toh?” Tanyaku. “Ya enggaklah. Kalo jalannya lurus lempeng kayak tadi, ya buat ngantuk. Mending agak sedikit ada belokan atau apalah gitu, biar gak sepi amat. Mana kalian tadi juga diem di belakang.” “Soalnya emang gak ada yang perlu di ributin sih. Di luar juga sawah terus liatnya, ya mau nengok apa. Bosenlah.” “Sekalinya ribut malah bahas soal cuti. Dasar pengangguran, sok sok ngomongin cuti.” “Kita masih anak sekolah bukan pengangguran,” celetukku. “Iya. Kecuali dokter Akar. Cutinya udah kayak pengangguran.” “Sekalinya sibuk lupa makan tidur,” celetuk dokter Akar. “Siapa suruh jadi dokter sih Kar. Kan sibuknya gak manusiawi,” bisik dokter Akar. “Sibuk gak manusiawi demi menyelamatkan manusia,” celetuk Rendra. “Hem. Bener juga sih kamu.” “Udah ye. Aku mau tidur dulu. Ngantuk gue. Kalian jangan berisik!” Kara mengambil penutup mata di dashboard. Ia sedikit menurunkan kursi dan selonjoran di sana. Ia menguap lebar. Aku ikutan menguap. “Kamu tidur juga gih sana. Biar matanya gak sembab- sembab amat,” pinta Rendra. Aku mengangguk. “Iya deh. Aku tidur dulu ya.” Aku bersandar di bahu Rendra. Ia mengelus pelan rambutku. “Selamat tidur adikku.” **** BRUK! Aku meringis kesakitan. Seketika aku terbangun. Kepalaku terbentur oleh sesuatu. Aku mengelus pelan kepalaku. Mataku mengerjap perlahan. Gelap? Kenapa gelap? Loh udah malam apa ya? Bukan aku yang buta kan jadinya? Setitik cahaya menyinari di ujung sana. Aku menghalangi cahaya itu dengan tanganku. Agak silau. Aku menyipitkan mata, coba melihat ada apa di balik cahaya itu. Seketika aku terbelak kaget dengan apa yang aku lihat. Seberkas cahaya itu ternyata bola mata yang bersinar, dan pemilik bola mata itu adalah … Mitha. Bersama rombongannya di belakang. “Mi … Mitha?” Gumamku pelan. Badanku gemetar melihat Mitha dengan matanya yang bersinar. Ia tersenyum kecil melihatku. Senyum yang sinis. “Ke .. te … mu …” Gumam Mitha. Aku menelan ludah. Aku meraba- raba ke sebelahku, mencari keberadaan yang lain. “Ren … Rendra ….” Tak ada apa- apa di sebelahku. Aku menoleh. Tidak ada. Tidak ada siapapun di sebelahku. Kosong melompong. Aku mengguncangkan kursi kemudi yang di duduki oleh Kara. “Kar, Kar, bangun Kar …” Gumamku dengan nada tersendu. Rasanya ingin menangis saja. Aku tidak tahu harus berbuat apa, rasanya seperti seekor kupu- kupu yang terjebak di sangkar laba- laba dan siap menjadi santapan makan malamnya. “Kalian semua kemana hei?! Kara! Dudut! Rendra! Dokter!” Aku memanggil mereka semua satu persatu. Hening, tak ada suara yang menjawab. Mobil berguncang, tampak dari depan salah satu robot merayap naik ke atap mobil. Badanku gemetar hebat saat mendengar suara gemuruh di atap mobil. Atap mobil sempat penyok. “Auto pilot aktif. Melajukan mobil 140km/jam.” Hah? Apa? Tiba- tiba mesin mobil menyala dan mobil melaju dengan kencang. Aku sampai tersentak ke belakang. Aku memegang hand grip erat- erat. Kenapa bisa aktif auto pilotnya? Padahal aku tidak menyentuh apapun. Aku teriak kaget saat melihat ada sosok yang merayap keluar dari bawah kolong mobil. “Tenang tenang Teh, ini aku!” Kara menoleh ke belakang dan menutup mulutku. Aku melotot kaget. Ia melepaskan tangannya. “Kamu … tapi … darimana …?” Aku bertanya terbata- bata. “Aku sembunyi di kolong tadi, begitu lihat ada Mitha dan rombongannya di kejauhan sana,” jawab Kara. “Yang lain …?” “Kami di sini,” jawab sebuah suara di sampingku. Aku menoleh. Rendra sudah duduk manis di sampingku, begitu pula dokter Akar. Dudut tampak berusaha keluar dari bawah kolong kursi mobil dengan susah payah. Dokter Akar membantu menarik Dudut keluar dari sana. “Kalian … daritadi sembunyi?” Tanyaku bingung. Rendra mengangguk. “Tadi sih damai- damai aja, sampek akhirnya dokter Akar lihat ada yang aneh di depan sana. Rupanya itu Mitha dan rombongannya,” jawab Dudut. “Dokter langsung bangunin aku. Aku kebangun sih, tapi begonya malah matiin auto pilot karena panik. Jadilah kita berhenti di sana, terus di kerumuni sama itu rombongan si Mitha,” sambung Kara. “Yah, kami gak tahu mau kemana jadinya sembunyi aja di dalam kolong. Tadinya mau narik kamu juga, tapi kamunya ngebo banget tidurnya. Tadi Mitha keburu ngintip ke dalam, aku jadi gak bisa narik kamu sembunyi di bawah kolong. Takut ketahuan,” ujar Rendra. “Tapi kok bisa Mitha ada di sana?” Kara mengangkat bahunya. “Jangan tanya. Kami juga bingung kenapa dia bisa tahu kita dimana, persis pula posisinya di tengah jalanan sepi begitu,” jawab Kara. “Sepertinya sekarang lebih aman,” lanjutnya. “Kayaknya engga,” celetuk Dudut. Kami menoleh pada Dudut. Dudut duduk menghadap ke belakang. “Lihat.” Dudut menunjuk ke depannya. Kami menoleh ke arah yang dia tunjuk dan terbelak kaget. Mitha dan rombongannya terlihat di ujung sana. Mereka mengejar kami. Mitha terlihat sangat menyeramkan dengan badannya yang entah bagaimana bisa membesar dan matanya yang berkilat merah. “Cepat! LEBIH CEPAT! NAIKIN KECEPATANNYA!” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN