Bab 122

1141 Kata
Novan masih berdiri di tempat. Ia melongo menatap Kirana. Kirana yang merasa risih di perhatikan melirik Novan. Ia menyikut lengan Novan. “Oi Van, kok bengong?” Tanya Kirana. Novan tersentak kaget. “Eh Kir? Udah dari kapan di sini?” Tanya Andi dari belakang Novan. “Daritadi. Aku nyari kamu, tapi kamu entah kemana. Aku udah izin tadi ya, di chat.” Kirana menutup buku yang ada di meja. “Udah kamu baca belum?” Tanya Andi. Kirana mengangguk. “Kurang lebih, sedikit. Nanti kamu jelasin lagi ya.” Kirana menaruh kembali buku ke laci meja. “Van, nanti kita ada rapat. Kamu jangan sampai nggak datang ya.” Novan tidak merespon. Ia masih melongo di tempat. “Aku balik dululah ya, udah bel.” “Btw, itu pak Agus otw ke kelasmu itu,” ujar Andi memberitahu. “Kamu habis ini pelajaran Akuntansi kan?” “Kok baru kasih tau sih?!” Protes Kirana. Ia melesat lari keluar kelas XI MIPA 2. “Oi Van? Kok bengong aja?” Andi menepuk pelan pundak Novan. “Hah eh … nggak apa …” Novan duduk di tempatnya, yang di susul oleh Andi. “Kamu darimana Ndi?” “Tadi ke kelas sebelah sebentar, temuin si Erdy. Kamu kaget ya tadi ada Kirana?” Tanya Andi. Novan mengangguk pelan. “Aku suruh dia temui aku buat bahas soal rapat, niatnya sih mau bahas di kelasnya, eh dianya malah kemari. Padahal aku cariin tadi. Nanti rapat ya, penting.” Andi meliriknya. “Kamu nggak ada buka buku ini kan?” Andi menunjuk ke buku yang di taruh dalam laci. “Nggak, aku baru datang.” “Oke.” Andi memasukkan bukunya ke dalam tas. “Kirana ini, kebiasaan. Langsung ambil aja, nggak pakai izin. Eh, batagor!” Andi mencomot batagor Novan dari plastik dan memakannya. “Kamu juga sama aja, nggak pakai izin,” timpal Novan. Andi nyengir lebar. “Maaf deh, maaf. Bagi ya Van.” Andi mencomot batagor untuk kedua kalinya. Novan mendengus. “Dasar.” **** Oke, mimpi tetaplah mimpi. Tidak akan jadi kenyataan. Ia sempat merasa déjà vu sesaat, tapi seketika hilang saat ia melihat Gilang masuk ke dalam dan duduk di tempatnya seperti biasa. Diam- diam Novan merasa lega. Ah, mana mungkin juga mimpinya kejadian kan? Aneh sekali. “Hah, hampir pecah kepalaku!” Gilang merebahkan kepalanya di meja Novan. Saat ini sedang pertukaran jam pelajaran dan guru selanjutnya terlambat masuk. “Itu bapak kalau kasih soal emang suka nggak nanggung! Mana ulangannya mendadak lagi!” Gerutu Gilang. Pelajaran sebelumnya adalah pelajaran Kimia dan di adakan ulangan mendadak. “Nggak mendadak kok, beliau kan pernah bilang memang bakalan buat test setiap bulannya.” Andi memberitahu. “Hah? Kapan di bilang begitu?” Tanya Gilang tak percaya. “Makaya kalau guru ngomong tuh di denger!” Jawab Andi ketus. “Pasti kamu nggak ada persiapan kan makanya bilang begitu?” Gilang mendengus. “Yah kan aku nggak tahu. Kalau tahu kan aku bakal belajar,” jawab Gilang. “Kayak yang iya aja bakal belajar,” gumam Andi. “Dih, belajar ya!” “Iya, 5 menit doang. Sisanya mabar.” Gilang nyengir. Ia melirik Novan. “Tapi soalnya memang susah kan Van? Ya kan?” Tanya Gilang mencari pengakuan. Novan mengedikkan kedua bahunya. “Yah, nggak sesusah itu juga sih. Masih lumayan mudah kok, kan udah pernah di pelajari juga,” jawab Novan. Gilang melongo sebentar mendengarnya, lalu geleng- geleng. “Kamu ada belajar semalam ya?” Tanya Andi. Novan menggeleng. “Mana sempat belajar, semalam udah begadang duluan kerjain tuh revision tugas,” gerutu Novan. “Cuma ingat- ingat sedikit sih, apa yang pernah di ajarin.” “Oh, emang genius berarti,” gumam Gilang. Novan tidak merasa begitu. Ia hanya anak biasa, yang tidak terlalu pintar tapi tidak bodoh juga sih. Sebelumnya dia tidak pernah ikut olimpiade atau lomba akademik lainnya. Selama ini dia hanya belajar dari melihat dan mendengar saja. Siapapun pasti bisa melakukan hal itu asal fokus. Novan bukan anak yang rajin belajar, hanya belajar ketika ada tugas atau mendekati ujian saja. “Asal fokus, cukup perhatiin guru juga bakal ngerti kok sama soalnya,” ujar Novan. “Hah, tuh. Dengerin Lang. Udah duduk di depan juga, masih nggak mau perhatiin.” Andi menunjuk Gilang. “Iya dah iya, tau deh yang pinter. Ah udah ah, nggak usah bahas soal ulangan tadi!” “Padahal dia duluan yang bahas,” gumam Andi dan Novan bersamaan. “Udah udah, kerjakan dan lupakan!” Gilang mengeluarkan kartu remi dari saku celananya. “Main kartu yuk?” Ia menaruh kartu itu di tengah meja Novan. “Ini anak, nanti di sita.” “Ya jangan sampai ketahuan dong.” Gilang mengeluarkan kartu dari kotak dan mengocoknya. “Kamu ikutan main nggak?” “Sekali. Tapi kalau ketahuan aku nggak nanggung ya.” “Iya iya, nggak bakalan seret- seret kamu kok. Tenang aja.” **** Hari ini murid- murid di pulangkan lebih cepat, karena guru- guru ada urusan mendadak. Tentu itu jadi kabar gembira untuk semua murid, termasuk Novan. Akhirnya, ia bisa pulang lebih cepat. Ia ingin cepat sampai di rumah dan tidur lebih lama. Novan bersenandung sambil berjalan keluar kelas, tapi Andi menarik tasnya. “Eh, mau kemana?” Tanya Andi. “Pulang. Udah jam pulang kan?” “Nggak. Rapat dulu, baru pulang. Udah di bilang kan tadi.” Novan menepuk jidatnya. Ah, dia lupa. “Nggak ada bolos rapat. Besok aja bolos rapatnya, hari ini jangan!” “Lah, kok gitu?” “Soalnya yang kali ini tuh lebih penting! Udah ayo, ke ruang rapat!” Andi menarik Novan. Andi mengeluarkan smartphone dari saku celana dan menjawab telpon. “Ah, iya. Gerak ke sana nih. Aman kan? Semua udah pada di sana ya? Oke.” “Loh? Udah pada ngumpul? Ini rapat buat semuanya?” “Nggak, buat devisi kalian aja.” “Tapi kemarin kan udah.” “Nggak cukup rapat sekali mah buat kalian.” Andi berdecak. “Emang ada aja sih. Mana si Valdi ribut kali. Udah, ayo kita pergi!” **** “Mana lu? Katanya udah pulang? Ini aku udah di sekolah.” tanya Stevan di ujung sana. “Sori Van, sori. Ada rapat mendadak nih,” jawab Novan setengah berbisik. Ia sudah tiba di ruang rapat OSIS bersama yang lainnya. “Rapat terus kalian, kayak DPR aja. Lama nggak? Kalau bentar aku tungguin, kalau lama aku tinggal nih. Masih banyak kerjaan soalnya.” “Nggak tahu sih. Aku pulang sendiri aja.” “Ya udah, hati- hati. Nanti bilang kalau udah sampai. Bilang juga sama ketuamu itu, siapalah. Rapat terus kayak DPR, nggak di gaji juga.” Stevan mematikan telpon. Valdi melirik Novan dan berdehem. Novan mengantongi kembali smartphone. “Maaf, tadi keburu minta jemput.” “Oke.” Valdi berdehem. “Kita mulai rapat kali ini.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN