Bab 29

1835 Kata
Mereka tiba di gedung yang terpisah dari sekolah. Gedung ini tampak lusuh dan nyaris rubuh. Letaknya jauh di belakang sekolah. Novan mengintip ke dalam gedung itu. Hanya ada kursi dan meja yang di tumpuk berserakan di dalam sana. “Ini gudang, tempat simpan kursi dan meja yang nggak terpakai. Tapi dulunya sempat jadi kelas.” Karyo menjelaskan. “Terus kamu kenapa bawa aku kemari?” Tanya Novan. “Aku mau bahas yang kita omongin semalam, soal ‘misi rahasia’ kita itu.” Karyo berjongkok. “Sini sini, aku bisikin.” Novan berjongkok di sebelah Karyo dan mendekatkan telinganya. “Jadi nanti ini jadi markas rahasia kita. Aku ada kunci cadangan tempat ini, udah aku buat. Udah aku beresin sedikit bagian yang nggak nampak dari jendela. Terus, nanti kalau ada yang mau joki kita ini, mereka harus kasih tugas- tugasnya di sini, sekalian dengan biaya yang udah di amplop. Terus nanti kita juga kasih yang udah beres di sini. Gimana?” Novan melongo mendengar penjelasan Karyo. Dia menyiapkan semuanya dengan sempurna. Karyo mengeluarkan kunci cadangan dari kantung celananya. “Mau coba cek ke dalam?” Karyo menawarkan. Novan mengangguk. Ia memutar kunci dan membuka pintu ruangan itu. Debu- debu yang berterbangan menyapa kami. Ya, isinya tidak beda jauh dengan yang di lihat dari jendela. Tumpukan kursi dan meja yang menggunung, beberapa sudah tampak lapuk dan di makan oleh rayap. Sarang laba- laba dan debu bertebaran dimana- mana. Novan terbatuk karena debu- debu yang begitu tebal. “Sori Van, belum sempet aku bersihin. Biasanya aku bersihin sedikit,” ujar Karyo. “Ayo masuk, di sini tempatnya.” Karyo berjalan melewati tumpukan kursi dan meja. Novan mengikutinya sambil menutup hidungnya dengan tangan. “Memang biasanya tempat ini kamu bersihin? Sendiri?” Tanya Novan. Karyo mengangguk. “Iya, biar lebih nyaman aja sih … makanya aku bersihin. Lagian kalo kelamaan kosong dan kotor bakal ada penghuninya kan,” jawab Karyo. “Penghuninya?” Novan mengernyitkan alis. Karyo mengangguk. “Yah … penghuni itu dah .. ya kamu taulah apa, gak usah di jelasin bangetlah.” Novan menelan ludah. Ia memperhatikan sekeliling. Suasana tampak mencekam. Tumpukan kursi dan meja menghalangi sinar matahari yang masuk dari dalam jendela. Lampu yang sudah pecah masih bergantung di sana, membuatnya bertanya kenapa bisa lampu itu pecah? Apa karena begitu kuat energi spiritual yang ada di sini? Entahlah. “Gelap banget ya di sini,” gumam Novan. “Iya, soalnya lampunya belum di ganti. Kemarin itu nggak sengaja waktu nyusun kursi dan meja di sini kena lampunya, jadi pecah gitu.” “Itu kerjaan kamu?” Novan menunjuk lampu di atas sana. Karyo mengangguk. “Insiden. Nggak sengaja. Tapi orang kiranya karena di apain sama mahkluk halus yang lagi pesta di sini. Karena itu nggak ada yang pakai lagi gedung ini.” Novan geleng- geleng kepala. “Nah lihat. Kita udah sampai!” Novan tercengang. Ternyata di balik tumpukan kursi dan meja, ada lampu lantai yang terpasang di sana, juga karpet halus, kipas angin mini, dan yang bikin lebih tercengang adalah kulkas mini. “Selamat datang di markasku!” Karyo merentangkan tangannya. “Gile! Ada kulkas di sini!” Novan membuka kulkas itu. Kulkasnya kecil, hanya terdiri dari 2 rak di dalamnya. Tapi cukuplah untuk menyimpan beberapa botol minuman dan snack di dalam sana. “Iya, buat minuman dingin. Lumayan kan. Aku sering stock minuman kaleng di sini,” ujar Karyo. Benar saja, di dalamnya ada beberapa minuman kaleng dan yoghurt. “Ini ada juga box cemilan.” Karyo menyeret salah satu kardus di sana dan membukanya. Berbagai macam jenis cemilan ada di sana. “Aku beli di grosiran, jadi banyak dan murah. Lumayan kan buat nyetok.” “Ini mah, kalo sebanyak ini kamu bisa bikin warung sendiri!” Novan mengeluarkan serenteng snack kacang dari dalam kardus. “Iya ya, buat kantin kayak kang Ujang. Tapi jangan dah, kasian kang Ujang ada saingannya.” “Iya sih. Kasian kang Ujang nanti. Soalnya jajanan kamu lebih banyak variannya.” “Kalo kamu mau, ambil aja. Masih banyak kok.” “Bener nih?” Karyo mengangguk. “Kalo gitu, aku bagi ini aja ya, udah kepisah sedikit.” Novan menarik rentengan bungkus snack yang hanya 3 bungkus. “Ya ambil aja.” Novan duduk di karpet yang di sediakan. Dia membuka bungkus snack dan memakannya. Karyo melakukan hal yang sama. “Jadi, gimana rencananya?” Tanya Novan. “Oke. Jadi gini rencananya. Nanti, mereka yang mau di jokiin tugasnya, suruh kumpul tugasnya di sini. Nah, kita promosinya dari sosmed, kan ada tuh twee khusus sekolah kan. Jangan posting di beranda, tapi kita DM aja satu persatu anak sekolah. Yang nampak sering aktif sosmed gitu. Nanti biarlah mereka yang dapat DM itu buat sebarin ke yang lain.” Karyo menjelaskan. “Buat tambahan deh, nggak menerima tugas prakarya. Susah, ribet tugas begituan mah,” timpal Novan. Karyo mengangguk. “Aku juga males sih kerjainnya.” Karyo membuka bungkus snack yang paling besar. “Kalau misalnya nih, tugasnya susah, gimana? Kuat nih kerjain berdua?” Tanya Novan. “Kuatlah. Kan kamu kerjain semua kan hukuman dari bu Julia itu? Tuh, kan kamu cerita kan kalo kamu yang bikin kalian semua nggak dapat hukuman tambahan? Ya bisalah!” Karyo menyikut Novan. Novan nyengir lebar dan menelan ludah. “Hem … ya .. hem … ya, bisa ya …” Karyo mengeluarkan kaleng soda dari kulkas mini dan memberikannya pada Novan. “Yuk, cheers dulu. Semoga sukses rencana kita!” Mereka saling bersulang dan menegak soda itu bersamaan. “Emang pinter banget lu Van!” Novan tersenyum kecut. Sepertinya dia bakal lebih ngerepotin Stevan nantinya. **** Novan tiba di kelas tepat saat bel masuk berdering. Syukurlah ia tidak terlambat masuk ke kelas, karena gedung itu jaraknya jauh dari kelas. Ia segera duduk di tempatnya. “Hoi. Baru balik ya? Tadi nggak ke kantin?” Tanya Gilang. “Enggak, tadi rapat danus,” jawab Novan. “Kayaknya danus lebih sibuk ya daripada devisi lainnya,” gumam Gilang. Novan mengedikkan bahunya. “Ketuanya siapa sih?” “Hem, Kirana ya namanya. Gatau anak kelas berapa, lupa.” Gilang mangut- mangut. “Oalah, pantes aja sih.” Novan mengernyitkan alis. “Lah, memangnya kenapa dengan dia?” Tanya Novan. Gilang mengangkat kedua alisnya. “Yah, soalnya ya, dia tuh anaknya bossy banget. Kalo dia ketuanya bakal ribet sih, kayak serba salah gitu semuanya. Terus ya, dia tuh anaknya egois. Maunya tuh sesuai dengan maunya dia gitu, nggak mau denger masukan dari anggota lain. Sok gitu deh pokoknya. Palingan juga dia di pilih jadi ketua karena si Valdi. Kan, Valdi deket sama dia. Katanya sih, Valdi udah deketin dia dari awal masuk, tapi tuh si Kirana malah nolak. Nggak mau. Terus semenjak si Valdi jadi ketos, malah di deketin lagi. Emang modus aja dia tuh mah.” Novan geleng- geleng kepala dan bertepuk tangan. “Ckckck, gil. Udah bisa kayaknya kamu jadi admin akun gossip, bener- bener banyak infomu tentang dia!” Novan mengacungkan jempolnya. Gilang berdecak kesal. “Hei, itu udah rahasia umum satu sekolah tau! Tuh satu sekolah juga nggak demen sama dia, karena tingkahnya yang belagu.” “Tapi aku nggak tau tuh.” “Ya kan kamu anak baru! Kalo yang anak lama mah, udah tau dari dulu.” Novan mengedikkan bahunya. “Ya terserahlah.” “Temen dia tuh ya, cuma beberapa doang. Tuh salah satunya si Karyo, cuma itu temen laki- lakinya!” Novan mangut- mangut. “Tapi serius, kamu nggak niat apa jadi admin akun gossip? Kayaknya cocok. Coba aja dah, coba.” Gilang mendengus sebal. “Ck, ngeselin kamu mah.” Gilang melengos pergi dari sana. Novan geleng- geleng melihatnya. Memang cocok dia jadi admin akun gossip di sosmed. Tapi dia tidak percaya dengan apa yang di katakan Gilang. Entahlah, menurutnya Kirana tidak seperti itu. Setidaknya, selama beberapa hari ini dia belum menemukan tingkah menyebalkan darinya. “Van …” Panggil seseorang. Novan tersentak kaget saat melihat Andi sudah menyenderkan kepala di meja. Wajahnya tampak lesu. “Anj. Kaget aku!” Novan mengelus dadanya. “Kamu kenapa hah? Kok tiba- tiba masuk gitu? Tuh muka juga kenapa?” Andi mengangkat kepalanya. Ia menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Novan. “Aku habis dari ruangan pak Guntoro.” “Ya terus? Dapat hukuman?” Andi mengangguk. “Iya, tapi hukumannya nggak dari pak Guntoro.” Novan mengernyitkan alisnya. “Lah, jadi hukumannya dari siapa?” Andi menghela napas. Ia menundukkan kepalanya. “Dari bu Julia …” Andi mengacak- acak rambutnya. Ia teriak, mengeluarkan segala kesalnya. “Kenapa coba dari bu Julia?! Please deh, mending hukuman dari pak Guntoro aja. Jangan hukuman dari bu Julia lagi!” “Memangnya apa hukumannya?” Tanya Novan. Andi menghela napas. “Kerjain essai. Bahasa inggris. Temanya tentang, apa dah tadi. Penggunaan sumber daya alam di Indonesia apa, lupa aku. Pokoknya gitu deh. Tau apa yang menyebalkan?” “Apa?” “Ini essai 3 lembar. TIGA LEMBAR! TULIS TANGAN! TEMANYA ENTAH TENTANG APA ITU, KUMPULNYA LUSA! GILAK GAK?!” Andi mencak- mencak kesal. “Emang seenaknya aja tuh bu Julia kalau kasih hukuman! Ya Tuhan, kamu bayangin. Bahasa Inggris! Essai! Tiga lembar! Essai bahasa Indonesia aja aku udah kewalahan, lah ini? Haduh …” “Ya … kan resiko ya .. tapi kamu udah jelasin nggak soal kamu telat itu?” Andi mengangguk. “Udah, udah aku jelasin. Tapi mereka nggak nerima alasannya. Katanya, kalau mau nggak telat, jangan lewat situ. Terus bangun lebih pagi biar nggak kena tilang. Aneh kan? Apa harus aku ke sekolah jam 4 subuh biar nggak telat, nggak kena tilang juga?” Andi geleng- geleng kepala. “Emang agak- agak itu ibu agaknya. Pak Guntoro juga. Mending si bapak suruh bersihin WC cowok seminggu, atau beresin tuh gudang belakang, daripada di suruh kerjain essai.” “Sekalian aja nginep di sekolah dah, biar nggak telat. Gantian shift sama satpam!” Ujar Novan. Andi berdecak kesal. “Ck, tau dah. Pundung ah. Terserah dah gimana nanti, terjadi ya terjadilah.” Andi menyenderkan kepalanya di meja. Sepertinya awan gelap sedang mengerumuninya. Hem, essai ya. Kalau essai bahasa Inggris, dia pernah sih dapat tugas seperti itu di sekolahnya dulu. Novan mencolek pundak Andi. Andi menoleh dengan wajahnya yang kusut. “Ndi, kalo aku bantu essai kamu gimana? Aku pernah sih buat essai untuk tugas dulu, mungkin bisa buat bantu kamu …” Novan menawarkan. Mata Andi berbinar. Awan gelap yang mengerumuninya tadi seketika hilang berganti dengan cerahnya sinar matahari. Senyu mengembang di wajahnya yang tadi cemberut. “Beneran Van? Kamu bisa?” Tanya Andi. “Yah … em … bisa sih … tapi aku tengok dulu deh ya, semoga aja file essai masih ada,” jawab Novan. Andi mengangguk semangat. “Makasih! Sumpah makasih banyak!” Andi merentangkan kedua tangannya, hendak memeluk Novan. Novan menghindar. “No hug, please. Jangan peluk- peluk, oke? Geli.” Andi nyengir lebar. “Ya udah kalo nggak mau peluk, aku kiss bye aja sini!” Novan geleng- geleng. Ia menjauhkan Andi yang mendekatinya. “Heh, heh, insyaf lu. Sana! Sana!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN