Bab 28

1363 Kata
Setelah Yudi selesai makan, mereka mengobrol sebentar sebelum akhirnya kembali ke kelas. “Heh Yudi! Kau bayar itu makananmu. Jangan main kabur aja!” Ujar kang Ujang ketus. “Santai kang. Aku bayar kok nih.” Yudi mengeluarkan uang dua puluh ribuan dari kantung celananya. “Halah! Cuma segini doang? Mana cukup buat bayar utang- utangmu! Nih lihat nih! Utang kau dari kelas 10 dulu!” Kang Ujang mengeluarkan buku catatan hutang. Tertera dengan jelas nama Yudi di sana dan di tulis dengan tinta merah. “Nih! Kau tengok! Dua ratus ribu!” Yudi berdecak kesal. “Nanti dah aku bayar kang, kalo di kasih lebih uang sakunya.” Kang Ujang berdecak kesal. “Halah, dari kemarin itu aja cakapmu! Dahlah.” “Ini kang, saya mau bayar,” ujar Novan. Ia memberikan selembaran uang dua puluh ribuan kepada kang Ujang. “Nah ini kembaliannya.” Kang Ujang memberikan kembalian selembar uang lima ribu, selembar uang dua ribu dan recehan lima ratus. “Loh? Kembalian aku mana kang? Kan aku ada kembalian juga,” Tanya Yudi. “Nggak ada! Kembalian kau aku pake buat lunasin hutang kau,” jawab kang Ujang. Yudi mengeluh. “Yah kang. Nanti aku pulangnya gimana? Kasiani aku dong kang. Aku nggak ada uang bensin buat pulang nanti,” gerutu Yudi. “Yaudah kalo habis bensinmu, kau dorong aja motormu!” Yudi bersungut- sungut kesal. “Ck, kang Ujang gitu kali. Dah ah, balik Van!” Yudi menarik tangan Novan. Mereka kembali ke kelas bersama. Yudi bersungut kesal sepanjang jalan. “Dih, si kang Ujang itu. Padahal kembaliannya lumayan buat yang bensin nanti,” gerutu Yudi. “Makanya jangan ngutang kebanyakan,” timpal Novan. Yudi mendengus kesal. “Halah. Tau dah. Moga aja bensinnya masih cukup sampai rumah. “ “Ya, semoga.” Kelas sudah lumayan ramai saat mereka tiba di kelas. Novan duduk di tempatnya. Ia melirik bangku Andi di depannya. Bangku itu masih kosong. “Lah? Si Andi belom datang? Tumben,” tanya Gilang. Novan mengedikkan bahu. “Harusnya dia nggak telat. Tadi aku ada ketemu dia kok di jalan.” Gilang mengernyitkan alis. “Lah jadi sekarang kenapa belum nyampek tuh anak?” Tanya Gilang lagi. “Entahlah. Mungkin habis bensin. Mungkin bannya bocor, we never know.” “Bisa apes sih dia kalo telat. Karena ini jam pelajaran pertama itu pak Guntoro. Habis dah dia ama pak Guntoro nanti.” “Pak Guntoro?” Tanya Novan. Gilang mengangguk. “Guru akuntansi kita. Beliau agak galak, paling nggak toleran dengan yang terlambat,” jelas Gilang. “Kalau terlambat bakal di apain memang?” “Ya. Liat aja nanti.” ***** Bel masuk sudah berbunyi. Murid XI MIPA 2 duduk rapi pada tempatnya. Tidak ada yang berani macam- macam di pelajaran pak Guntoro. Beliau guru yang tegas dan galak. Kelas selalu sunyi saat beliau mengajar, bahkan suara jarum jatuh pun dapat terdengar. “Selamat pagi anak- anak.” Pak Guntoro masuk ke kelas. “Selamat pagi pak.” “Sebelum kita memulai kegiatan belajar hari ini, alangkah baiknya kita berdoa lebih dahulu. Berdoa di mulai.” Semua berdoa sesuai dengan kepercayaan masing- masing. “Ya, berdoa selesai.” “Kalau begitu, kita lanjut materi kita minggu lalu, tentang ...” “Maaf pak saya terlambat!” Semua mata tertuju ke pintu kelas. Andi membungkukkan badannya. Ia terengah- engah dengan seragamnya yang berkeringat. “Kenapa kamu pakai helm ke kelas?” Tanya pak Guntoro. Andi terbelak dan memegang kepalanya. Ia melepas helmnya. “Maaf pak, saya lupa,” jawab Andi. Ia tersipu malu. “Kenapa kamu telat?” Tanya pak Guntoro. “Anu pak, itu. Tadi saya ketangkap razia motor pak,” jawab Andi. “Tapi kan kamu pakai helm,” timpal pak Guntoro. “Iya pak. Saya di berhentikan karena pakai seragam sekolah. Katanya anak sekolahan belum boleh bawa motor. Jadi yah, begitu. Saya kena tilang,” jelas Andi. Pak Guntoro mengernyitkan alisnya. “Agak aneh. Tapi saya tidak suka jam mengajar saya di ganggu. Sudah, kamu masuk saja,” pinta pak Guntoro. Andi menghela napas lega. “Makasih banyak pak. Permisi pak.” Andi sedikit membungkukkan badannya dan masuk ke kelas. “Tapi nanti jam istirahat kamu temui bapak di kantor.” Andi menelan ludah. “Baik pak.” Andi segera duduk di tempatnya. Novan menatapnya. Andi hanya nyengir lebar. “Baik. Buka buku kalian halaman 65. Kita lanjut materi yang kemarin.” **** Novan merengangkan badannya. Akhirnya selesai sudah pelajaran pak Guntoro yang sunyi dan mencekam itu. Tidak pernah ada guru seperti itu di sekolah lamanya. Sunyi dan mencekam, hanya semilir suara angin yang terdengar. “Kenapa kamu telat tadi Ndi? Padahal kita sempet ketemu di jalan,” tanya Novan. Andi menghela napas dan membenamkan wajahnya di meja. “Iya sih tadi kita memang papasan di jalan. Tapi habis itu kan kita pisah. Nah, waktu pisah itu, tadinya aku mau lewat jalan pintas yang biasa aku lewatin. Eh ternyata, di situ lagi ada razia.” “Terus gimana? Razia apaan emang? Kan kamu pakek helm,” tanya Novan. Andi mengedikkan bahunya. “Entahlah ya, aku juga nggak tau itu rajia apaan. Heran. Padahal aku udah pakek helm, surat lengkap, sim juga udah ada walau sim tembak ya,” jelas Andi. “Lah, itu lengkap semua. Tapi kok bisa ketangkep?” “Nah itu. Masalahnya itu. Katanya karena aku pakai seragam sekolah. Katanya anak sekolah belum boleh bawa motor. Aneh banget kan?” “Hah? Kok gitu? Aneh.” “Nah? Aneh banget kan?! Sempet di berhentiin. Udah bilang bakal telat ke sekolah tapi nggak percaya tuh polisi. Jadinya aku akal- akalin ajalah.” “Akal- akalin gimana?” “Jadi, aku coba searching kan di google soal Undang- Undang Tilang ini, selagi tuh pakpol sibuk dengan yang lain. Tapi aku cari- cari nggak ada. Jadi aku berkelit dah sama tuh polisi, entah apa deh aku bilang pokoknya aku ungkit- ungkit itu pasal yang baru aku searching. Yaudah akhirnya aku selamat, bisa jalan lagi tanpa kena surat tilang. Tanpa bayar juga.” Novan tertawa kencang mendengarnya. Ia geleng- geleng kepala. “Memang ada aja caramu itu ya.” “Oh iya dong. Harus pinter. Jangan mau di kibulin sama polisi pungli tadi.” Andi membusungkan dadanya. “Itu kepikiran aja sih, gak tau dapat hidayah dari mana. Kalo di tanya apa yang aku bilang tadi panjang lebar, aku nggak tau. Nggak ingat sama sekali memang. Emang asal bunyi aja.” Novan geleng- geleng kepala. Ia mengacungkan kedua jempolnya. “Salut sama insiatif kamu yang berlebih itu.” “Kalo di inget sih, antara terlalu pinter sama kepedean sih tadi. Tapi puas banget liat muka polisinya yang terdiam gitu.” Andi tertawa kencang. “Untung aku gak ikut kamu ya tadi,” gumam Novan. “Iya. Untung ya. Duh kalo kamu ikut aku, bakal kepikiran aku. Udah ajak nebeng, malah kena tilang bareng. Telat sekolah bareng. Jadi nyusahin orang lain kan.” “Kukira kamu bakal nyesel karena nggak ajak aku tadi, jadinya kamu di hukum sendirian gitu.” “Hah? Ya enggaklah! Mana mungkin aku kepikiran kayak gitu, kamu mah ada aja.” Andi menyikut Novan. “Ndi! Andi! Mana yang namanya Andi?” Tanya anak laki- laki berbadan jangkuk di depan pintu. Andi melambaikan tangannya. “Nih di sini! Ada apa?” Tanya Andi. “Kamu di panggil pak Guntoro ke ruang guru sekarang,” jawab anak itu. Andi terbelak kaget. “Duh! Mati aku!” Andi bangkit dari duduk. “Van, doain aku nggak mati ya. Doain masih hidup, jiwa raga baik- baik aja!” “Semoga balik ke kelas dalam keadaan utuh ya.” **** Andi baru balik ke kelas saat jam pelajaran hampir usai. Wajahnya muram. Ia ingin menanyakan perihal yang terjadi, tapi Andi langsung keluar begitu bel istirahat berbunyi. Entah kemana dia pergi. “Van, di cariin,” ujar Yudi memberitahu. “Siapa yang cariin?” Tanya Novan. Yudi menunjuk ke pintu kelas. Karyo ada di sana, sedang mengobrol dengan Tata. “Yo! Ini anaknya Yo!” Yudi memberitahu. Karyo menoleh. Ia melambaikan tangannya. “Van! Sini!” Ia tidak langsung menghampiri Karyo. Ia menunggu sampai Tata pergi. “Kenapa Yo?” Novan menghampiri Karyo. “Ayo ikut aku!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN