Bab 83

1139 Kata
Suara alaram dari smartphone berbunyi kencang mengganggu tidur Stevan dan Novan. Mereka tertidur di ruang tengah setelah selesai bermain game semalaman suntuk. Novan yang merasa terganggu mencoba meraih smartphone untuk mematikan alaram. Ia meraba sekeliling dengan mata setengah terpejam. Ia berdecak kesal karena tidak bisa meraih smartphone yang berisik itu. “Van … matikan alaramnya …” Ngigau Novan sambil menepuk Stevan. Stevan berdecak kesal. “Ck, berisik …” Stevan menendang kesana kemari hingga suara alaram itu terhenti. Ia hendak kembali memejamkan matanya, tapi matanya tertuju pada jam dinding. “HAH? UDAH JAM 10?!” Ia tersentak bangun. “HAH? Apa? JAM 10?! Eh, eh, aku udah telat sekolah ini …” Novan tersentak terbangun mendengar teriakan Stevan. “Duh, telat kerja nih! Duh!” Stevan bangkit dari sofa dan lari ke kamar mandi. Semenit kemudian, dia keluar dari kamar mandi dengan linglung. “Oh iya, aku lagi off hari ini,” gumam Stevan. “Lah kamu mah kerja ada waktu off. Anak sekolah mana ada! Awas, sana! Aku mau mandi!” Novan bangkit dari sofa dan menyambar handuk dari gantungan. “Kamu kan juga lagi off. Lagi diskors, toh,” tukas Stevan. Novan menghentikan langkahnya dan nyengir lebar. “Hehehe, iya ya. Lupa aku. Ya udahlah, aku mau cuci muka aja dulu.” “Ya udah sana. Aku buat sarapan.” Novan masuk ke kamar mandi untuk cuci muka, sedangkan Stevan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Stevan menguap lebar. Ia membuka lemari dan mengeluarkan sekotak sereal coklat. Ia masih sangat mengantuk, jadi ia memilih membuat sarapan yang simpel. Ia menuangkan sereal dan s**u ke dalam mangkuk. “Sarapannya sereal doang?” Tanya Novan. “Malas masak. Kalau mau masak sendiri sana.” “Gosong sih kalau aku masak.” Novan menarik kursi dan duduk di sana. Ia mengambil sereal yang di sediakan. “Tapi aku udah jarang makan sereal sih.” “Harus stock sereal di rumah, biar bisa buat sarapan simpel.” “Duluan di cemilin kayaknya sama Mikel.” Ya, dulu Novan sering sarapan dengan sereal. Tapi semenjak Mikel sudah mulai bisa makan, ia menjadikan sereal itu cemilan yang ia makan di luar jam sarapan. Karena kesal, akhirnya tidak pernah ada lagi sarapan sereal. “Kayak kamu waktu kecil sih, nggak beda jauh.” Novan mengernyitkan alisnya. “Hah? Masa?” Stevan mengangguk. “Iya. Sama. Kamu waktu kecil juga sering banget nyemilin sereal. Terus karena gigi kamu bolong ya, kebanyakan makan manis, jadi mama nggak kasih lagi kan beli sereal. Aku inget kamu nangis tuh sepanjang jalan ke dokter gigi sampai pulang juga.” Stevan cekikian. “Lebih parah lagi, kamu ngamuk waktu di ruang periksa. Tuh perawat dan dokternya sampai kewalahan.” “Ih, mana pernah aku kayak gitu. Ngaco ah,” bantah Novan. “Pernah loh. Kamunya aja yang masih kecil, jadi nggak ingat. Masih umur 4 tahunan gitu dah kalau nggak salah.” Stevan mengacak rambut Novan. “Sekarang malah udah segede ini. Nggak kerasa ya waktu berlalu.” “Apaan sih.” Novan menepis tangan Stevan dari rambutnya. Suara perut keroncongan terdengar dari perut Novan. Ia tersipu malu sambil memegang perutnya. Stevan tertawa kecil. “Oalah, memanglah orang Indonesia ini. Nggak kenyang kalau sarapannya sereal doang!” Ucap Stevan. Novan nyengir. “Kebiasaan sarapan nasi, hehe ..” “Yah, kita emang telat sih sarapannya. Udah mau masuk jam makan siang sih …” Stevan melirik jam dinding. “Ya udah yuk, kita siap- siap. Kamu mandi terus ya, kita mau pergi bentar lagi.” Novan mengernyitkan alisnya. “Mau kemana kita?” “Ke mall!” **** Mall tidak pernah sepi pengunjung, terutama di jam seperti ini. Beberapa karyawan kantoran tampak menghampiri food court yang ada. Anak- anak juga ramai pergi belanja bersama orangtuanya. “Tuh di lantai 3, ada kayak family resto gitu. Enak makanannya di sana. Kita makan di sana aja ya Va…” Stevan menoleh ke Novan yang mengikuti di belakangnya. Novan celingak celinguk memperhatikan sekitar dengan penuh waspada. Ia memakai kupluk di hoodie untuk menutupi wajahnya. “Ngapain pakai kayak gini hah?” Stevan menarik kupluk itu turun. “Mau mata- matai siapa?” Novan berdecak kesal. Ia kembali menutup wajahnya dengan kupluk. “Nggak. Biar nggak ada yang kenalin aku aja.” “Lah, macam banyak kali kenalanmu di sini, baru pindah juga.” “Tapi masa anak yang diskorsing malah pergi jalan- jalan ke mall. Kan aneh gitu …” “Memangnya orang- orang di sini tau kamu diskorsing hah?” Stevan kembali menurunkan kupluk Novan. “Nggak ada yang tau dan nggak ada yang peduli. Udah, ayo kita pergi.” Stevan menarik Novan menuju eskalator. Novan masih was- was. Ia sesekali memperhatikan sekeliling sambil menutup wajahnya dengan tangan. “Udah, nggak ada yang kenal kamu kok,” ujar Stevan. “Tapi …” “Udahlah, santai sikitlah! Anggap aja kamu emang lagi libur sekolah terus pergi ke mall gitu.” Stevan berusaha menenangkan Novan. “Mana pernah libur sekolah perginya ke mall …” Gumam Novan pelan. “Kan anggapan doang loh. Udahlah, pokoknya kamu santai aja udah. Rileks. Lupain kamu lagi diskorsing, anggap aja itu liburan. Oke?” Novan mengangguk pelan. Stevan merangkul Novan dan menurunkan kembali kupluk Novan. “Nah, gitu dong. Nggak apa, hari ini kita puas- puasin jalan- jalan pokoknya!” ***** Rencananya hanya pergi makan di mall, tapi Stevan malah mampir ke tempat lain. Ia mengajak Novan main di arcade game lantai 2. Stevan mengisi banyak poin di kartunya sehingga mereka bisa main sepuasnya. Mereka mencoba beberapa permainan yang ada di sana. Arcade game tidak terlalu ramai di jam segitu, mereka bisa main tanpa harus menunggu giliran. Setelah puas bermain di arcade game, Stevan mampir ke salah satu toko peralatan olahraga dan melihat peralatan gym di dalam sana. Ia juga mencoba beberapa alat gym yang ada. Hanya melihat, tidak membeli. Sebelah toko gym, ada toko sepatu. Stevan juga mampir ke sana dan mencoba beberapa model sepatu yang menarik hatinya. Setelah mencari, akhirnya Stevan menemukan model sepatu yang cocok untuknya. “Kamu nggak mau sepatu juga Van?” Tawar Stevan. Novan mengeleng. “Nggak usah malu, kalau mau kamu ambil aja tuh yang kamu suka.” “Hem …” Novan mengambil salah satu sneakers berwarna biru. “Ini aja deh.” “Oke, ini aku bayar ya. Mas.” Stevan memanggil karyawan yang ada di sana. Pegawai itu datang menghampiri mereka. “Mas, tolong ini di bungkus ya.” “Baik mas.” Pegawai itu mengambil sepatu dari tangan Stevan. “Ini udah pas kan ukurannya?” Novan mengangguk. “Ya udah mas, bungkus aja terus ya.” “Baik mas. Silakan ambil di kasir 1 ya.” Pegawai itu memberitahu, lalu pergi meninggalkan mereka. “Udah kan? Langsung makan habis ini?” Tanya Novan. “Selaw, selaw. Kita bakal makan kok. Santai aja.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN