Bab 84

1167 Kata
Akhirnya mereka tiba di family restoran setelah mengelilingi beberapa toko. Mereka menaruh kantung belanjaan di lantai dan membuka buku menu. Sebagian besar kantung belanjaan ini milik Stevan, hanya satu saja milik Novan. Ia menghabiskan uangnya untuk belanja banyak barang. “Kamu pesan apa Van?” Tanya Stevan sambil membolak- balik buku menu. “Apa aja dah, terserah.” Novan berselonjor di kursi yang empuk. “Udah capek duluan aku nemenin kamu belanja.” “Hei, ini masih sedikit. Masih mending aku belanja daripada cewek belanja,” gumam Stevan. “Ini? Sedikit?!” Novan menunjuk 5 kantung belanjaan di lantai. “Ini 4 punya kamu ya, punyaku cuma satu. Kamu bilang ini sedikit?!” “Sedikit itu. Nggak bisa di bandingin sama belanjaan cewek- cewek, bisa sampai belasan kantong.” Novan melongo. Ia geleng- geleng kepala, tidak habis pikir. “Kamu kalau ada doi, terus temenin dia belanja pasti ngertilah. Lebih edan lagi kalo cewek yang belanja.” “Nggak ada doi.” “Ya, kali aja.” Novan menatap Stevan dengan tatapan tajam. “Mungkin, nanti, kalau ada. Terus kamu temani dia belanja. Belum lagi kalau dia nawar ya, nggak ngotak sih. Jomplang banget harganya di buat.” “Kayaknya aku nggak bakal ngerasain yang kayak gitu,” gumam Novan. “Aku yakinnya sih mungkin ya. Tampang kayak kamu mah, banyaklah yang mau.” “Akunya yang nggak mau.” Novan mendengus. “Sekarang nggak mau, nanti kalo kecantol gimana?” Novan berdecak. “Mimpi sih itu.” Novan membolak- balik buku menu. “Aku pesan jus jeruk, spaghetti bolognese, beef quesadilla, hem … spring roll.” Novan menutup buku menu. “Udah, itu aja.” Stevan melongo. “Malak nih?” “Bukan malak, tapi tanda terimakasih karena aku mau temenin belanja.” “Ya udah, bentar.” Stevan menekan bel untuk memanggil pelayan. Pelayan datang tak lama kemudian. “Mbak, saya pesan nasi kari jepang, teh leci, jus jeruk, spaghetti bolognese, beef quesadilla, dan spring roll.” Pelayan itu dengan telaten mencatat pesanan Stevan di tablet. “Baik. Saya ulangi ya …” Pelayan itu mengulangi pesanannya. Stevan mangut- mangut mendengarnya. “Ada tambahan lagi mas?” “Nggak, itu aja dulu. Menunya di tinggalin di sini aja, nggak apa kan.” Pelayan itu mengangguk. “Iya mas nggak apa. Tunggu sebentar ya.” Pelayan itu pergi setelah mencatat pesanan. Novan memperhatikan sekeliling. Family restoran ini mulai ramai dengan karyawan kantoran dan orangtua yang membawa anak kecil. Ah, dia jadi rindu dengan Mikel. Sedang apa ya dia di rumah? Kalau jam segini sih, kayaknya udah waktunya makan siang. Dia pasti masih susah makan dan harus di bujuk. Novan memperhatikan lamat- lamat anak kecil yang duduk tak jauh dari mereka. Anak itu memeluk boneka kelinci erat- erat. “Liatin apa?” Tanya Stevan. Ia melirik ke arah yang di pandang oleh Novan. “Kamu liatin anak itu?” Novan mengerjap dan mengangguk. “Keinget Mikel.” “Adikmu?” Novan mengangguk. “Anak baik ya dia?” “Ya namanya juga anak- anak, ya baiklah. Kalau dia nggak baik, salah di orangtuanya berarti.” Stevan mangut- mangut. “Bener juga sih kamu.” “Ramai karyawan ya di sini. Kamu nggak malu apa?” Stevan mengernyitkan alis. “Lah? Malu kenapa?” “Ya malulah, dia kerja kamu enggak.” Stevan cekikian mendengarnya. “Hei, ini aku bukan bolos kerja. Memang lagi waktu off aja. Nggak kayak kamu, kan beda …” “Iya iya, beda. Aku kena skorsing. Iya beda.” Novan mendengus kesal. “Udah diskorsing, malah jalan- jalan ke mall. Kayak nggak sadar sama kesalahan sendiri aja.” “Memangnya semuanya salahmu?” Tanya Stevan. Novan menggeleng, lalu menundukkan wajahnya. “Tapi aku yang kasih idenya …” Gumam Novan. “Ide kamu cuma ngejoki, bukan nyuri soal itu. Itu emang otaknya temanmu itu agak keterlaluan,” tukas Stevan. “Nggak apa, toh aku yakin kamu udah ngerasa bersalah. Setelah ini, kamu masih mau nggak temenan sama si Karyo itu?” Novan menggeleng. “Nggak, makasih.” “Permisi, pesanan anda. Jus jeruk dan teh leci, lalu beef quesadilla.” Pelayan datang dan menaruh pesanan mereka di meja. “Pesanan yang lain sedang di siapkan. Selamat menikmati.” “Terima kasih,” ucap Stevan dan Novan bersamaan. Pelayan sedikit membungkukkan badannya dan berlalu dari sana. “Hem, kayaknya enak nih.” Novan mengambil salah satu beef quesadilla di sana dan membelahnya dengan pisau, lalu memakan setengahnya. “Gimana? Enak?” Tanya Stevan. Novan mengangguk. Stevan mengambil setengah potongan yang lain dan menggigitnya sedikit. “Pakai saus kayaknya lebih enak.” Stevan menuangkan saus sambal di sisanya dan memakan sisanya. Ia mengacungkan jempol. “Enak juga makanan di sini ya.” Novan mengambil beef quesadilla dan memakannya tanpa membelahnya seperti tadi. “Tau aja lu emang tempat yang enak.” “Ini rekomendasi si doi, dari kemarin mau makan di sini tapi nggak jadi.” Novan mangut- mangut. “Kenapa nggak jadi?” Tanya Novan. “Keburu pulang anaknya,” jawab Stevan dengan wajah murung. Novan terbelak kaget. “Sori, aku salah ngomong,” gumam Novan. “Sori Van, aku nggak tahu. Semoga dia tenang di sana ya.” Stevan mengernyitkan alisnya. “Hah? Maksudnya? Hei, dia itu lagi pulang kampung! Bukan berpulang!” Bantah Stevan. “Oh, ya ampun. Aku kirain.” Novan cekikian. “Sori. Salah tangkap.” Stevan mendengus kesal. “Udah sabar aja, nanti kalau dia pulang kamu ajak aja dia kemari.” “Yah, seengaknya aku udah review duluan tempatnya sebelum kemari. Mantap juga buat ngedate di sini,” ujar Stevan. “Tapi tempatnya kurang cocok buat ngedate sih. Nggak bisa candle light dinner di sini. Kurang romantis,” komentar Novan sambil memperhatikan sekitar. Restoran sekitar tampak ramai dengan suara riuh rendah anak kecil. “Halah, nggak penting itu. Anaknya juga nggak suka sama candle light dinner kayak gitu. Dia mah lebih milih makan di pinggir jalan yang lebih banyak porsi dan murah daripada candle light dinner yang mahal, porsinya dikit juga,” komentar Stevan. Novan geleng- geleng mendengarnya. “Ada ya cewek kayak gitu …” Gumam Novan. “Ada. Dia tuh. Emang agak lain sih dia. Lebih banyak porsi makan dia kadang daripada aku.” “Cewekmu itu luar biasa ya.” Stevan mengangguk. “Sangat.” Stevan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Matanya berhenti dan mendongakkan kepalanya. “Eh, bukannya itu si temanmu yang b******k kemarin ya?” Tanya Stevan sambil menunjuk ke belakang. “Hah? Siapa?” Novan menoleh ke arah yang di tunjuk oleh Stevan. Ia terbelak kaget saat melihat Karyo ada di sana dan tampak seorang perempuan merangkul lengannya dengan mesra. Stevan geleng- geleng kepala. “Oalah, udah tau diskorsing, nilep uang joki, malah asik dia ngedate,” gumam Stevan. “Kayaknya tuh uang joki kalian dia tilep buat nyenengin tuh cewek. Tuh liat aja, ceweknya nampak matre kayaknya.” Stevan menunjuk ke kantung belanjaan yang mereka tenteng. Salah satu dari kantung belanjaan itu dari sebuah toko yang bermerek mahal. “Asem.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN