Bab 82

1119 Kata
Stevan menaiki lift apartemen dan menekan lantai 5. Ia bersyukur hari ini bisa pulang lebih cepat dari dugaan. Sesuai janji, ia pulang tidak dengan tangan kosong. Ia membawa dua bungkus makanan dan juga game baru. Lift berhenti di lantai 5. Stevan menuju ke apartemennya, kamar 501. Ia menempel kartu kunci di gagang pintu dan otomatis pintu terbuka. “Novan! Aku pu …” Stevan tercengang saat melihat rumah yang gelap. “Lah, kok gelap?” Stevan menyalakan lampu di ruang tengah. Tidak ada Novan di sana. Ia menyalakan semua lampu kecuali di kamar. Ia tercengang melihat setiap sudut rumah yang bersih dan rapi. “Beneran di bersihin ternyata. Nggak nyangka aku bakalan bersih banget kayak gini,” gumam Stevan. “Tapi mana anak itu ya?” Ia membuka pintu kamar tamu yang tidak di kunci. Ia menyalakan lampu. Kosong, tidak ada orang di sana. “Lah? Mana dia?” Stevan menutup pintu kamar tamu. “Mungkin …” Stevan menuju ke kamarnya dan menemukan Novan tertidur di meja kerjanya. “Van, bangun. Oi, Van.” Stevan mengguncang pelan bahu Novan. Novan tersentak bangun dan melihat sekeliling dengan linglung. Tampak bekas iler di pinggir bibirnya. “Hah heh? Lah? Udah pulang?” Tanya Novan linglung. Novan menyeka wajahnya. “Kenapa kamu tidur di sini?” “Kamu pikir karena siapa aku di sini?!” Stevan mengernyitkan alisnya. “Hah? Maksudnya?” Novan menunjuk tumpukan kertas yang kucek karena ia tiduri. Stevan menepuk jidatnya dan cekikian. “Beneran di kerjain? Buset …” Stevan mengambil selembar kertas di sana. Ia tidak menyangka Novan mengerjakan soal yang ia berikan. “Sebenarnya iseng aja aku kasih soal kayak gini, kebetulan ada sisa jaman SMA dulu. Eh kamu malah beneran kerjain.” Stevan geleng- geleng kepala. “Mana lebih dari satu soal lagi. Emang rajin banget kamu ya.” Novan berdecak kesal. “Aku kerjain karena gabut, karena … biar kamu nggak lapor papa juga ..” Gumam Novan pelan. “Halah, percaya amat kalo bakal laporin ke bapakmu.” “Lah? Kamu nggak bakalan laporin ke papa soal ini?” “Ya enggaklah! Kalau mau aku laporin aja mending dari kemarin! Kan aku yang suruh kamu sembunyi di sini biar nggak ketahuan bapakmu.” “Oh, iya ya …” “Udah udah, sana kamu cuci muka. Mandi kalau belum. Terus kita makan malem, aku ada beliin makanan.” Stevan menaruh tasnya di atas kasur. “Oh ya, aku ada beliin game baru.” “Game apa?” Tanya Novan antusias. “Liat aja di luar.” Novan melesat pergi keluar kamar dan teriak kegirangan. “Tapi makan dulu baru main gamenya!” Stevan mengingatkan dari dalam kamar. “Oke! Makasih Stevan! Paling baik memang!” **** Selesai makan malam, mereka menghabiskan waktu dengan bermain video game sampai tengah malam. Stevan memutuskan untuk begadang dengan membeli kopi di minimarket dekat apartemen. “Mumpung besok lagi off, nggak apalah ya gas aja.” Begitu kata Stevan. Novan dengan senang hati menuruti kemauan Stevan. “Van, kamu bisa- bisaan masih anak baru udah diskors,” ujar Stevan sambil fokus di game. “Dih kan bukan salah aku juga. Gara- gara si Karyo tuh.” Novan membela diri. “Kawanmu itu emang kurang ajar sih, tapi cara main kalian juga kurang pinter. Tapi aku nggak nyangka aja kalau bakalan sampai diskors gini.” “Ya, jangankan kamu, aku lebih nggak nyangka lagi. Rupanya peraturan di sekolah itu agak strict. Kalo ketahuan nyontek bakal di bawa ke BK dan yah, bakal kena hukuman dari BK. Hukumannya juga ya nggak main- main, kalau udah lebih dari dua kali nyontek bakal di panggil orangtua.” “Baru denger dah peraturan kayak gitu. Bener- bener di realisasikan ya.” “Ya aku juga baru tau sih itu. Agak lain emang itu sekolah. Tapi yah seengaknya masih di kasih bawa HP.” Stevan mangut- mangut. “Pantes aja sih kalo sampai kena skorsing.” “Ah udahlah, nggak usah bahas itu! Ah, eh … ARGH!” Novan merutuk dan menggengam stick erat- erat. “Yess!” Stevan teriak kegirangan. “Elu sih Van, ngajak ngobrol mulu!” Tuduh Novan. Stevan cekikian. “Ya siapa suruh di jawabin.” Novan mendengus kesal. “Ah, udahlah.” Novan menyeduh kopi hingga habis. Ia menaruh stick di atas meja. “Main sendiri sana!” “Lah, malah ngambek.” Novan memalingkan wajahnya. Stevan turun dari sofa dan memilih duduk di lantai. Ia mematikan TV dan membuka sebungkus snack. “Makan dulu nih, makan.” Stevan menyodorkan snack. Novan mengambilnya dan memeluk snack itu. Ia melahap snack itu dengan bar-bar. Stevan melirik smartphone Novan yang tergeletak di meja. Sedaritadi smartphone itu bergetar, tapi Novan tidak menyentuhnya sama sekali. “Tuh, ada notif dari doi tuh. Nggak mau di cek?” Tanya Stevan. “Nggak ada doi.” “Tapi itu penuh amat notifikasi chat. Buka dululah, mungkin penting.” “Halah biarin aja. Bukan yang penting- penting amat juga kok.” “Ada chat dari si Karyo ya?” Tebak Stevan. Novan terdiam. “Kayaknya bener. Karyo ada chat kamu ya?” “Kamu kok…” “Feeling aja sih.” Novan menghela napas. “Ada sih dia chat dari kemarin. Tapi nggak aku baca. Aku udah bodoh amat sama dia. Udah nggak peduli pokoknya. Masih sakit hati. Aku jadi ngerasa bersalah sama Kirana. Kirana ada chat aku juga, tapi aku juga nggak ada baca chatnya karena ya … aku takut. Dia pasti marah juga samaku, kan aku otak di balik semua ini.” “Tujuan kamu sebenarnya baik, caranya aja yang agak salah,” timpal Stevan. “Makin salah lagi gara- gara si Karyo k*****t itu,” tukas Novan. “Yah itu emang udah parah sih dia. Udah kayak orang yang nyuri soal Ujian Nasional aja.” Stevan melirik Novan. “Tapi sampai kapan kamu nggak maafin dia?” “Entah. Selamanya, mungkin. Mau minta maaf juga aku nggak peduli.” “Terus gimana tuh dengan anggota Dana Usaha?” “Bu Julia bilang, bisa aja mereka di bubarin. Tapi nggak tahu dah bener atau enggak. Emang grup rame, tapi nggak aku baca. Aku buka HP buat nonton aja.” Stevan mangut- mangut. “Ya udah, nggak apa. Take your time. Tenangin diri aja dulu selama masa skorsing ini, jadiin pelajaran aja. Nanti gimana- gimananya di sekolah ya udah hadapin aja.” “Males juga ke sekolah jadinya.” “Ya udah minta di perpanjang aja masa skorsingnya.” Novan memukul d**a Stevan dari belakang. Stevan meringis kesakitan. “s****n. Malah suruh nambah masa skorsing pula.” “Ya kan kamu malas sekolah toh. Sekalian temenin aku di rumah, gitu.” “Nggak! Ogah! Mending sekolah dah daripada jadi penggangguran kayak gitu.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN