Bab 55

1445 Kata
Stevan menggerutu sebal. Sepertinya makan siang di restoran cepat saji bukan pilihan yang tepat. Ia terjebak dalam antrian panjang saat memesan makanan, sedangkan Novan kewalahan mencari tempat duduk yang kosong. Karena jam makan siang, restoran ini padat dengan anak- anak dan orang kantoran. Setelah berkeliling, akhirnya ia menemukan satu meja kosong di pojokan dekat jendela. Novan duduk di sana terlebih dahulu. Sembari menunggu, dia mengerjakan tugas joki yang menumpuk. Tugasnya lebih sukar dari yang ia kira. Ia tenggelam dalam tumpukan tugas hingga tidak sadar kalau Stevan sudah datang dengan pesanannya. “Banyak banget tugas ya Van?” Tanya Stevan. Ia duduk berhadapan dengan Novan. Novan mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya. “Makan dulu Van, isi bensin. Biar nggak ngadat mesinnya nanti,” ajak Stevan sambil menaruh satu set ayam, kentang, burger, dan minuman soda. “Banyak amat pesannya,” gumam Novan kaget. Ia tidak menyangka akan di pesan sebanyak ini. “Emang isi paketnya begitu,” jawab Stevan. Novan melirik pesanan Stevan. Ternyata dia memesan yang sama. Ia mengambil burger dan memakannya sesuap, lalu kembali mengerjakan tugas. “He, makan dulu udah. Istirahat,” pinta Stevan. Novan mangut- mangut. “Iya Van, bentar.” Novan kembali menggigit burgernya. “Satu soal lagi aja, nanggung.” Stevan geleng- geleng kepala. “Kayaknya tugas sekolah anak sekarang lebih banyak ya daripada jamanku dulu,” gumam Stevan. “Jaman udah jauh berubah, Van.” Stevan menghela napas. “Yah, memang benar sih..” Stevan mengalihkan pandangannya ke sekeliling, lalu dia buang muka dan sedikit menunduk. “Kenapa Van?” Tanya Novan bingung. Stevan berdesis dan menaruh jari telunjuk di bibirnya. “Sstt, ada temenku itu, bawa anak sama biniknya,” jawab Stevan pelan. Novan mengedarkan pandangan dan matanya berhenti pada pelanggan yang baru masuk. Sebuah keluarga kecil yang sedang menikmati waktunya. “Terus kenapa nggak kamu sapa? Kan temanmu toh?” Tanya Novan. Stevan geleng- geleng. “Nggak. Nggak mau. Aku lagi males ketemu sama temen sekolah,” tolak Stevan. Novan mangut- mangut. “Oh, kamu malas ya kalau nanti di tanyain kapan nikah sama temenmu?” Tebak Novan. Stevan mendongakkan wajahnya. Ia melahap burger dengan ganas. “Hah! Iya! Aku malas di tanyain soal begituan. Semua orang pada nanya, kamu kapan nikah? Kan kamu udah mapan, udah punya kerja tetap, umur juga udah matang. Apalagi yang di tunggu? Banyak banget yang nanya kayak gitu, sampai muak aku dengernya!” Stevan menggerutu. Kali ini dia melahap kentang goreng. “Kirain gampang apa ya nikah itu hah? Itu ibadah seumur hidup, sampai mati itu. Mana bisa main- main dan asal pilih. Bakal 24 jam, 365 hari ketemu sama orang yang sama. Kalau salah pilih pasangan kan nggak enak. Bener kan?” Stevan menunjuk Novan. Novan hanya mengangguk. “Pada ngira itu kayak pacaran apa ya, kalau bosan ya tinggal putusin. Nggak segampang itu. Urus soal cerainya, tentang pembagian harta gono- gini. Belum lagi nanti dari pihak keluarga si pasangan entah gimana reaksinya. Belum lagi nanti kalau udah punya anak, kalau cerai bahas soal hak asuh anak lagi. Halah, ribet pokoknya.” “Yaudah nggak usah nikah aja kalau gitu,” ujar Novan. “Pengennya gitu ya. Pengen fokus kerja dulu. Tapi itu kakakku rese banget, dia sering banget nanya kapan aku nikah, udah ada calon belum. Malah sampai jodoh- jodohin! Rese!” Stevan mengacak rambutnya. Novan terperangah. “Bentar, kamu bilang kakakmu?” Tanya Novan. Stevan tersentak kaget dan menutup mulutnya. “Bukan gitu, em.. Anu ...” Stevan gelagapan. Haduh, dia salah bicara. Ia malah menyinggung topik yang agak sensitif untuk Novan. “I... Ah, bukan, maksudku, kakakmu. Dia.. Apa kabarnya?” Tanya Novan. Stevan terpenjat kaget. Ia tidak menyangka Novan tidak marah karena di sebut soal kakaknya. Ia kira, ia tidak akan pernah dekat lagi dengan Novan kalau menyinggung soal itu. “Kakak ... Baik- baik aja, alhamdulillah,” jawab Stevan. “Oh gitu. Baguslah,” ujar Novan. Ia melirik Novan. “Kamu ... Nggak mau ketemu dengan kakakku? Atau titip salam gitu?” Stevan menawarkan. Novan menggeleng. “Nggak usah. Tahu kakakmu masih hidup dan sehat saja udah cukup,” tolak Novan. Ia kembali memakan burgernya. Stevan menatapnya lamat- lamat. Novan belum banyak berubah. Ya sudahlah, tidak apa jika mereka tidak mau bertemu. Belum waktunya saja. Semoga nanti, mereka bisa ketemu untuk saling melepas rindu, bukan melepaskan emosi terpendam. ***** Stevan mengantarnya ke rumah setelah mereka selesai makan siang. Selesai mengantarnya, Stevan pamit balik ke kantor. Masih banyak pekerjaannya yang belum selesai. Novan masuk ke dalam rumah dan langsung di sambut ramah oleh Mikel. “Abang!” Mikel menghampirinya dan memeluknya erat. “Mikel adik abang!” Novan menggendongnya. Mikel memeluk lehernya dengan erat. Novan mencium pipi adik kecilnya itu. “Mikel udah sembuh belum?” Tanya Novan lembut. Mikel mengangguk. “Udah bang! Mikel udah sembuh! Nih sehat nih!” Mikel membusungkan d**a dan menepuknya. Novan tersenyum kecil melihatnya. “Hebat ini adek abang memang. Tos dulu!” Novan mengepalkan tangannya. Mikel memukul kepala tangan Novan dengan kepalan mungilnya. “Tuh. Karena baru sembuh, kamu jangan makan jajan dulu ya. Nanti malah sakit lagi,” ujar Novan. Mikel cemberut mendengarnya. “Kenapa bang? Kan Mikel udah sembuh. Bolehlah Mikel makan cemilan ...” Gerutu Mikel. “Boleh kok, tapi nggak sekarang. Nanti. Kalau Mikel udah sembuh total, baru boleh kamu makan cemilan lagi. Ya?” “Sembuh totalnya itu kapan bang?” Novan gelagapan. “Hem... Mungkin, 2 hari lagi? Kalau Mikel banyak istirahat, pintar makannya, mau makan sayur, pasti cepat sembuh. Kalau Mikel udah sembuh, Mikel boleh makan jajan,” jawab Novan asal, tapi jawabannya berhasil membuat mata Mikel berbinar. “Wah, nggak lama lagi dong ya. Oke, Mikel bakal banyak istirahat!” Mikel mengepalkan tangannya penuh tekad. “Kamu udah makan belum?” Tanya Novan. Mikel menggeleng dan nyengir lebar. “Sana makan dulu. Kalau makan, nanti cepet sembuh.” “Oke bang!” Ia memberikan hormat. “Abang, Mikel mau turun!” Pinta Mikel meronta- ronta. Novan menurunkan Mikel dari gendongannya. “Mama! Mama! Mikel mau makan ma!” Pinta Mikel sambil berlarian masuk ke dalam rumah. Novan tersenyum kecil melihat adiknya yang ceriwis dan penuh energi itu. “Iya sayang. Duh, anak mama mau makan ya? Yuk makan yuk sayang. Mama udah masakin sup ayam. Kamu mau kan?” Tanya ibu Novan lembut. Mikel loncat kegirangan. “Yeay! Sup ayam! Ada makaroninya nggak ma?” Ibu Novan mengangguk. Mikel kembali loncat kegirangan. “Asik asik.. Makan sup ayam.. Yeay!” Mikel mengambil piringnya dari rak dan menuangkan nasi yang ada di meja, sementara ibu Novan memanaskan kembali sup ayam di kompor. “Kamu nggak makan Van? Temenin adikmu gitu,” tanya ibu Novan sambil menuangkan sup ke mangkuk kecil. “Udah makan bu tadi di luar, sama temen,” jawab Novan. “Banyak kali ya duitmu, asik makan di luar aja,” sindir ibu Novan. Novan tidak membantah. Sebaliknya, dia malah menyalim tangan ibunya. “Novan naik ke atas dulu ya bu,” pamit Novan. Ibu Novan masih terbelak kaget dengan tingkah anaknya yang tidak biasa itu. “Ih, abang mau kemana? Mikel mau sama abang! Mau di suapin abang!” Rengek Mikel. “Eh, jangan gitu dong sayang. Abang kamu kan capek, baru pulang sekolah..” Ujar ibu Novan. “Nggak apa kok ma,” tukas Novan. “Bentar ya Mikel. Abang ganti baju dulu. Tunggu bentar ya, habis ganti baju abang suapin.” Mikel menepuk tangan kegirangan mendengarnya. “Yeay! Cepet bang cepet! Mikel udah nggak sabar!” **** Novan merenggangkan badannya begitu ia sampai di kamar. Ia melempar dirinya ke atas kasur. Ia tadi menghabiskan waktunya untuk menyuapi dan bermain dengan Mikel. Dia tampak sangat gembira tadi, tidak tampak seperti anak yang sempat demam tinggi sebelumnya. “Oh ya, kerjaan masih banyak,” gumam Novan. Ia bangkit dari rebahan dan mengeluarkan soal- soal Matematika yang belum terselesaikan. Ia segera mengeluarkan kertas kosong untuk mencari jawaban yang benar. Ia mengerjakan kumpulan soal dengan amat serius. Tapi hanya sebentar. Pikirannya melayang ke restoran cepat saji yang di ucapkan oleh Stevan. Ia mengungkit tentang seseorang. Ya. Kakaknya Stevan. Ia tidak tahu, kalau Stevan masih berhubungan dengan wanita itu. Wanita yang paling dekat dengannya yang dahulu. Sebenarnya ia penasaran dengan kabar kakak Stevan dan ingin bertemu dengannya. Tapi ia belum siap. Bahkan dia tidak mau menitip salam, bagaimana lagi kalau harus jumpa dia? Kabar terakhir yang Novan dengar, kakak Stevan sudah pindah ke sebuah perkampungan. Tadinya ia hanya tinggal sementara, tapi kearifan lokal yang kental membuatnya memilih perpanjang tinggal di sana. Novan menatap kertas di depannya lamat- lamat. Ia menghela napas panjang. Ia kepikiran dengan kakaknya Novan. Dia berharap, mereka bisa bertemu suatu saat lagi, saling memaafkan dan menerima satu sama lain. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN