Bab 56

2505 Kata
      Novan tersentak terbangun saat mendengar suara smartphone yang berdering nyaring. Ia mengerjapkan matanya perlahan dan mengambil smartphone di pojok meja. Tidak ada yang menelpon, hanya bunyi alaram. Siapa yang memasang alaram jam segini?            Oh ya, dirinya sendiri. Tadi dia tengah mengerjakan tugas joki dengan terkantuk- kantuk. Akhirnya ia memutuskan untuk memasang alaram dan tidur sebentar. Ia melirik ke tugas yang dia kerjakan. Kertas coretan ini kini penuh dengan coretan antah berantah. Sepertinya tangannya melindur saat dia mengantuk tadi. Ia menggeliat, merenggangkan otot- ototnya yang kaku. Ia melirik jam. Sudah jam 1 pagi. Ternyata ia baru tidur 3 jam.            Ia memeriksa notifikasi di smartphone. Seperti biasa, hanya ada notifikasi chat dari grup. Ia membuka chat grup sekilas, lalu menutupnya kembali. Tidak ada hal yang penting. Grup dana usaha juga terlihat sepi. Hanya Kirana yang chat di sana, memberitahu kalau mereka akan libur kegiatan selama seminggu. Tidak ada yang bertanya lebih jauh soal keputusan itu. Sepertinya mereka malah bersyukur akan hal itu.            Novan hendak menutup aplikasi chat, tapi urung dia lakukan karena ada chat masuk dari Karyo. Karyo Van, ada kabar nih. Udah banyak yang pakai jasa kita nih. Tugasnya makin beragam. Kamu mau nerima nggak? Mereka belum bayar sih. *sent a picture*            Novan membuka foto yang di kirim oleh Karyo dan terbelak kaget. Ia tidak menyangka kalau tugasnya akan jadi sebanyak ini. Novan Banyak beud. Ini tugasnya apa aja? Karyo Lah njir belum tidur lu? Ada tugas English kelas 10, Fisika kelas 11, Ekonomi kelas 11, ada juga tugas Seni Rupa kelas 10. Novan Tugas seni rupa biasanya ngapain memang? Karyo Kalo kelas 10 sih, masih gambar perspektif gitu sih. Eh iya, katanya gambar perspektif. Dia ada kirimin gambar contohnya. Dia minta bikin 2 gambar, buat di sebarin ke satu angkatan katanya. Novan Hah? Jadi satu angkatan cuma buat 2 gambar itu aja? Emangnya nggak bakal ketahuan? Karyo Enggak lah. Aman itu. Gurunya udah tua kok, nggak ngeh bapak itu soal begituan. Gimana? Mau nggak? Katanya yang tugas seni rupa ini dia mau bayar lebih. Novan Menarik sih Tapi, ini yang MTK aja belum selesai. Karyo Udah selesai sampai mana? Aku udah siapin lumayan banyak sih ini. Coba foto yang udah kamu kerjain. Novan *sent a picture* Nih, segini sih kurang lebih. Karyo Oh, udah bisa itu. Udah selesai, berarti. Soalnya aku udah selesai kerjain semua nomor selanjutnya. Selesai dikit lagi itu. Nanti langsung kasih aja ke dia. Katanya kasih coretannya aja. Biar dia tinggal salin aja, gitu. Kamu mau ambil yang ini nggak? Novan Hem, lihat dulu deh. Nanti aku kabarin lagi Karyo Oke. Kerjain aja satu nomor lagi, udah selesai itu.            Novan menaruh kembali smartphone dan merenung menatap kertas coretan yang tak menentu itu. Yah, hanya tinggal selesai satu nomor lagi. Ah, iya. Dia lupa kalau kemarin dia sempat meminta tolong Stevan. Buru- buru dia chat Stevan. Novan Stev, sori hubungi malem- malem. Btw, tugasku udah siap. Kamu nggak usah kerjain lagi yang kemarin ya. Thank you. Stevan Hah? Kamu minta tolong apa? Oh .. oh, aku baru cek. Tugas MTK kemarin ya? Sori aku lupa, soalnya aku banyak kerjaan. Heh, kamu kenapa belum tidur jam segini hah? Pergi tidur sana. Novan Aku baru bangun. Kerja, kerja, kerja, tipes lu habis itu. Stevan Namanya juga buat modal nikah Novan Cari modal nikah mulu. Calon udah ada belum? Stevan Bangke. Rese lu.            Novan tertawa kecil. Yah, begitulah Stevan. Sibuk mencari cuan untuk modal nikah, tapi calonnya sendiri belum ada. Kalau Novan singgung soal itu, pasti dia bilang, “Harus ada modal dulu dong biar bisa minang anak orang. Nggak bisa kalau cuma modal cinta doang, nggak hidup.”            Yah, memang tidak salah sih apa yang di bilang olehnya. Uang memang bukan segalanya, tapi untuk mendapatkan segalanya butuh uang. Termasuk restu untuk meminang, karena itu bisa sebagai bukti kalau diri ini mampu memenuhi kebutuhan hidup. Rumit memang menjadi dewasa, tapi itu harus kita jalani, bukan? ****            Novan baru selesai mengerjakan tugasnya saat jam menunjukkan pukul 3 pagi. Ia merapikan kertas yang berserakan dan mengangkatnya tinggi.            “Akhirnya selesai!” Ujarnya terharu. Ia merasa sedikit lega karena berhasil mengerjakan satu tugas, tapi bukan berarti ia bisa berleha- leha. Masih ada banyak tugas yang menantinya.            Ia menguap lebar. Tidur 3 jam saja memang tidak cukup. Ia mengambil smartphone dan memasang alaram. Sepertinya tidur 2 jam lagi tidak masalah. Ia juga memasang alaram pada jam wekernya di waktu yang sama. Setelah beres, ia menuju ke tempat tidur dan menarik selimutnya. Ia mulai tenggelam di dalam dunia mimpi. ****            Suara gedoran kencang pintu kamar membangunkan Novan. Ia mengerjapkan mata. Siapa sih yang membangunkannya seperti ini? Ribut banget. Padahal dia baru saja terpejam. Setengah sadar, Novan bangkit dari tempat tidur dan berjalan untuk membuka pintu kamarnya. Ibu Novan berkacak pinggang di depan pintu dengan tangannya yang memegang teflon.            “Kamu mau tidur sampai kapan hah?!” Bentak ibu Novan.            “Ribut banget sih. Kan ini masih subuh …” Gerutu Novan. Ia menguap lebar dan menggaruk rambutnya yang tak gatal.            “Subuh apanya hah?! Ngelindur kamu ya? Sekarang udah jam setengah 7 pagi tau!” Novan yang masih mengantuk seketika terbelak kaget. Ia melirik jam weker di meja belajarnya. Benar saja, ternyata sudah jam setengah 7 pagi! Dia terlambat bangun!            “HAH?! UDAH JAM SEGINI?!” Teriak Novan membahana. Matanya seketika segar kembali. Ia menarik handuk dari balik pintu dan segera masuk ke dalam kamar mandi. “Kenapa nggak kebangun sih?!”            “Ya, kamu juga ngebo. Alaram kamu itu kedengeran sampai bawah tau. Mana kamu pasang alaram pagi banget. Udah pasang alaram, tapi masih juga nggak bangun,” gerutu ibu Novan. “Jangan lama- lama mandinya. Nanti telat. Ibu turun dulu ya. Jangan lupa sarapan.”            “Aku nggak sarapan!” Sahut Novan dari dalam kamar mandi. Ah sudahlah, dia tidak sempat lagi keramas. Saat seperti ini, hanya mandi bebek yang bisa di andalkan.            “Haru sarapan! Kalau nggak sarapan nanti kamu lemas!”            Novan keluar kamar mandi dengan handuk yang melitit di pinggangnya. “Ck, terserahlah!” Novan berdecak kesal. “Keluar dulu, aku mau ganti seragam.”            “Kalau kamu nggak mau sarapan, biar di bekelin aja ya,” ujar ibu Novan sambil menutup pintu dari luar.            “Aku bukan anak SD lagi yang bawa bekal ke sekolah,” ujar Novan. Ah sudahlah, terserah. Ia memakai bajunya seragamnya dengan cepat. Ia sedang memakai kaus kaki dan saat itulah, smartphone berdering. Novan mengangkatnya dan menempelkan di kuping.            “Halo? Siapa ini?” Tanya Novan.            “Heh, kamu sekolah atau enggak? Tadi jam 6 aku tungguin kamu di luar, tapi kamunya nggak datang. Udah aku telponin tapi nggak kamu angkat juga,” tanya seseorang di ujung sana. Oh, ini suara Stevan.            “Eh, sori. Aku telat bangun ini. Baru selesai mandi juga. Kamu udah pergi duluan ya?” Tanya Novan balik.            “Ya iyalah! Habis kamu lama, jadi aku duluan. Ini anak, udah di bilangin semalam jangan telat tidurnya. Kan telat bangunnya. Udah dah, kamu pergi naik ojek aja.”            “Ya memang begitu niatnya!”            “Ya udah, lain kali jangan begadang lagi tuh. Pesen terus ojeknya. Semoga kamu nggak telat ya sampai sekolah.”            “Iya iya dah, bawel. Udah ya.”            Novan mematikan telpon. Ia segera memesan ojek online melalui aplikasi. Ia menarik tasnya dan buru- buru turun ke bawah.            “Van, sarapan dulu,” seru ibu Novan dari dapur.            “Nggak sempat!” Novan mengambil sepatu sekolahnya dari rak dan membawanya ke teras. Ia memakai sepatu di teras.            “Nih! Seengaknya kamu bawa bekal. Makan di sekolah nanti ya.” Ibu Novan menyodorkan tas bekal padanya. Novan hanya meliriknya sekilas. “Ambil nih. Harus kamu bawa pokoknya.” Ibu Novan menyodorkan itu padanya. Novan mendelik dan dengan terpaksa mengambilnya.            “Pergi dulu,” pamit Novan.            “Ya, hati- hati ya!” ****            Tepat seperti dugaannya, Novan terlambat sampai di sekolah. Hanya telat sedikit saja. Pak Guna menutup pintu gerbang saat Novan baru saja tiba di sekolah. Tadinya dia nekat untuk manjat lewat pagar belakang, tapi niat itu langsung dia urungkan begitu melihat bu Julia sudah bersiap di depan gerbang. Apes. Dia terlambat saat bu Julia piket.            Akhirnya Novan berakhir di sini, berdiri di tengah lapangan bersama murid- murid lain yang terlambat. Mereka di jemur di tengah panas matahari sambil terus di awasi oleh bu Julia. Bu Julia menatap mereka satu persatu sambil mangut- mangut.            “Sudah saya duga, kebanyakan yang terlambat itu pasti orang yang sama. Lihat ini, wajah- wajah yang sering terlambat!” Bu Julia berhenti di depan seorang anak laki- laki berbadan tinggi. “Ini lagi! Rumah kamu kan dekat, tapi bisa- bisanya kamu terlambat! Itu kepleset dikit dari rumah udah sampai loh kamu ke sekolah. Bisa- bisanya kamu terlambat!”            Anak laki- laki yang di marahi bu Julia hanya bisa menunduk. “Kamu lagi!” Bu Julia menunjuk anak perempuan yang memakai bando di sebelahnya anak laki- laki itu. “Kalian kan tetanggan! Bisa- bisanya kalian terlambat!”            Anak perempan itu menunduk dalam. “Ini juga, ngapain pakai aksesoris kayak gini? Kan udah saya bilang, nggak boleh pakai aksesoris apapun ke sekolah! Cuma boleh di ikat aja rambutnya!” Bu Julia menarik paksa bando itu hingga terlepas dari rambutnya. “Ini saya sita.”            “Eh bu, jangan bu …” Pinta anak perempuan itu.            “Saya sita, tetap. Karena kamu udah pakai ini ke sekolah. Saya nggak peduli kalau harganya mahal. Kalau kamu mau bando ini balik, kamu buat surat permintaan maaf dan kasih ke saya nanti siang. Mengerti?!” Perintah bu Julia. Anak perempuan itu mengangguk pelan.            “Iya bu,” gumamnya.            Bu Julia kembali mengelilingi mereka yang terlambat. Novan sedaritadi menunduk. Bu Julia berhenti tepat di depannya.            “Kamu, coba jangan nunduk. Saya mau lihat wajah kamu,” perintah bu Julia. Novan mendongak dan menyinggungkan senyum kecil.            “Saya agak asing dengan wajah kamu. Saya hafal dengan seluruh wajah murid di sekolah ini. Kamu anak baru ya?” Tanya bu Julia. Novan mengangguk pelan.            “Iya bu. Saya baru pindah kemari sebulan,” jelas Novan. Bu Julia mangut- mangut.            “Kok bisa telat? Udah sebulan kan sekolah di sini? Belum hafal juga ya jalan ke sekolahnya?” Sindir bu Julia.            “Nggak bu … saya telat bangun …” Jawab Novan pelan. Bu Julia mendengus.            “Alasan klasik.”            Bu Julia kembali mengelilingi dan menatap mereka satu persatu. Setelah itu, bu Julia berdiri di podium kecil.            “Kalian lari keliling lapangan ini lima kali, terus balik kumpul kemari. Cepat cepat!” Pinta bu Julia. Ia menyalakan peluit. Kami lari beriringan keliling lapangan upacara yang cukup luas itu. Putaran pertama, masih sanggup. Putaran kedua, dua murid mulai terengah- engah. Putaran ketiga, semakin banyak yang kelelahan. Putaran ke empat, hampir semuanya mulai kelelahan, kecuali anak laki- laki berbadan tinggi itu. Kayaknya karena sudah terlalu sering terlambat, dia sudah biasa saja dengan hukuman seperti ini.            Kami kembali berkumpul di titik awal dengan napas yang sudah terengah- engah, kecuali anak laki- laki berbadan tinggi itu. Dia malah terlihat sangat bersemangat dengan melompat- lompat di tempat.            “Guntur, kenapa kamu nggak capek kayak teman- temanmu yang lain?” Tanya bu Julia pada laki- laki berbadan tinggi itu.            “Udah biasa buk,” jawabnya nyengir.            “Nggak perlu bangga kamu!” Sindir bu Julia. “Guntur, hukuman kamu di tambah. Kamu push up 30 kali.” Bu Julia mengalihkan pandangan ke yang lainnya. “Dan kalian, sudah boleh balik ke kelas. Tapi kalian harus menulis laporan keterlambatan kalian dan di kumpulkan saat jam istirahat di ruangan saya. Mengerti?”            “Mengerti bu,” jawab kami serempak.            “Saya juga buat laporan itu bu?” Tanya Guntur dengan polosnya.            “Ya iyalah! Buat semuanya, termasuk kamu! Kamu harus bikin alasan kenapa kamu terlambat tidak hanya hari ini, tapi juga laporan keterlambatan kamu selama sebulan ini!” Jawab bu Julia galak.            “Baik bu.”            “Sudah, kalian semua balik ke kelas. Guntur, kamu push up 30 kali, baru boleh masuk kelas!” Bu Julia berkacak pinggang di depan Guntur. “Hitungan 5, kalian nggak ada lagi di lapangan. Satu …” Bu Julia menghitung. Buru- buru kami mengambil tas yang di tumpuk di bawah tiang bendera. “Dua …”            Kami berhamburan kembali ke dalam kelas, meninggalkan Guntur yang sedang menjalankan hukuman tambahan dan bu Julia yang terus mengawasinya. ****            Novan tiba di kelas. Ia menghela napas lega saat tidak ada guru di kelasnya. Ia segera duduk di tempatnya.            “Tumben terlambat,” gumam Andi.            “Telat bangun.” Novan melepaskan tasnya. “Nggak ada guru?” Tanyanya.            “Ada, tapi lagi balik ke kantor sebentar. Ada perlu katanya,” jawab Andi. Novan mangut- mangut.            “s**l banget aku dah. Terlambatnya waktu bu Julia piket,” gerutu Novan.            “Oh, pantesan kamu berkeringat gitu. Pasti kena hukuman dari bu Julia kan?” Terka Andi. Novan mengangguk. “Palingan juga bu Julia suruh lari, terus buat laporan keterlambatan kan? Biasa mah bu Julia kayak gitu.”            “Pagi- pagi udah capek duluan karena bu Julia,” gerutu Novan. Ia memendamkan wajahnya di meja.            “Laporannya buat terus itu. Minimal selembar. Terserah deh kamu tulis apa, intinya tuh ada alasan utama kamu terlambat dan permintaan maaf kalau kamu nggak akan terlambat lagi.” Andi mengingatkan.            “Iya iya, nanti aku kerjain. Ini badanku masih capek semua, remuk rasanya.”            “Jangan sampai lupa aja sih. Kalau lupa bakal berabe soalnya. Bu Julia bakal kasih hukuman lebih kalau sampai lupa, atau terlambat sebentar saja,” ujar Andi. “Emang apes kalau udah bu Julia piket. Soalnya beliau itu ya, guru yang nggak pernah datang terlambat ke sekolah.”            “Sekali pun? Sama sekali nggak pernah?” Andi mengangguk.            “Izin nggak sekolah aja jarang beliau. Pokoknya beliau mah, selagi masih kuat kakinya buat ke sekolah, dia bakal berangkat meski badai hujan dia lalui. Tapi ya … katanya beliau pernah sih sekali itu bolos.” Novan terpenjat kaget.            “Bu Julia bolos? Yang kayak bu Julia bolos?” Tanya Novan tak percaya. Andi mengangguk.            “Pernah waktu itu bu Julia kepergok telat sama murid kita yang lain nyari bahan untuk praktikum. Dia kira, bu Julia bakal pergi ke sekolah, karena beliau pakai seragam waktu itu. Eh ternyata, bu Julia izin. Kayaknya bu Julia menganut prinsip, ‘daripada telat, mending tidak usah datang sama sekali’. Mungkin waktu itu bu Julia buat alasan gitu, biar bisa dapat izin.” Novan melongo dan geleng- geleng kepala.              “Bisa gitu juga ya bu Julia ternyata. Nggak nyangka aku.” Andi mengedikkan bahunya.            “Dengernya sih begitu ya. Nggak tahu benar apa enggaknya. Kalau pun benar, ya bisa kita maklumin lah. Namanya juga manusia, kan nggak selamanya harus sempurna. Pasti pernah yah, buat salah. Ada sisi lainlah setiap manusia itu.” Novan mangut- mangut. Ya, tidak salah juga memang. Hanya saja, dia masih tidak menyangka. Ternyata seorang bu Julia pun bisa melakukan hal tidak displin seperti itu.            “Heh udah, kamu kerjain terus. Mumpung nggak ada guru. Nanti pak Guntoro marah kalau ada yang kerjain hal lain waktu pelajaran beliau.” Andi menyikut Novan. Novan mendengus kesal.            “Iya iya, ini aku kerjain sekarang.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN