Bab 70

1534 Kata
Novan mengerjapkan matanya perlahan. Akhirnya, dia bisa tidur dengan nyenyak. Semalam dia langsung tertidur pulas. Sedikit applause karena dia bisa tertidur tanpa mendengar alunan lagu khusus untuk tidur yang selalu menemaninya. bahkan ia bangun lebih cepat sebelum jam wekernya berbunyi. Meski tidurnya tidak cukup, tapi dia merasa segar bugar. Ia bangkit dan mengambil handuk yang tergantung. Ia masuk ke kamar mandi sambil bersenandung. Hari ini suasana hatinya sedang baik. Mungkin akan terjadi hal baik juga hari ini? Entahlah. Semoga saja. ***** “Sori ya Van, aku nggak bisa antar kamu ke sekolah. Ada meeting mendadak pagi ini,” ujar Stevan di ujung sana. “Nggak apa, santai aja. Daripada kamu telat kan,” jawab Novan. “Lagian, kenapa kamu kok selalu mau antar aku ke sekolah sih? Padahal kan dari kantor ke sekolah itu lawan arah, jauh pula,” tanya Novan penasaran. Ya, selama ini dia memang penasaran dengan hal itu. “Kalo nggak di anterin nanti kamu nyasar,” jawab Stevan. Novan mendengus. “Di kira bocah. Ya enggaklah, udah. Sekarang kalo kamu nggak antar aku juga nggak apa, aku udah bisa berangkat sendiri.” “Entar kalo berangkat sendiri telat loh.” “Nggak, aku bukan bocah lagi udah. Ini aku mau berangkat, udah ya. Bhay.” “Ya, hati- hati.” Stevan mematikan telponnya. Novan mengantongi smartphone di saku celana dan kembali memakan sarapannya. Kali ini dia mau sarapan di rumah, selain karena uang jajannya sudah menipis, suasana hatinya juga sedang baik. “Pagi bu, pagi papa,” sapa Novan riang. “Pagi juga adiknya abang.” Novan mencium pucak kepala Mikel yang masih mengantuk. “Loh? Tumben kamu mau sarapan di rumah,” gumam ibunya. Novan tidak menjawab. Dia hanya menyinggungkan senyum kecil sambil mengunyah roti bakar coklat. “Harus sering sarapan bang, jangan sampai tinggal. Sarapan itu penting soalnya,” ujar papa sambil membaca koran. “Mikel mau di suap abang!” Pinta Mikel. “Jangan Mikel. Nanti abangnya telat pergi sekolah,” larang ibu. Mikel merengut. “Nggak apa kok bu, masih ada waktu,” lerai Novan. “Sini, sini, Mikel mau sarapan apa?” “Mikel mau seleal! Mau seleal coklat! Pakai s**u coklat!” Pinta Mikel. “Kok coklat semua?” “Mikel suka coklat! Pokoknya Mikel mau pakai s**u coklat!” “Iya iya. Ya udah, ini abang siapin ya.” Novan bangkit dari duduk dan mengambil mangkuk. Ia menuangkan sereal coklat dan s**u coklat, lalu menyuapi Mikel. Mikel menerima suapan itu dengan senang hati. “Kok di suap sih? Makan sendiri dong Mikel. Kan repot abangnya itu suap- suapin kamu lagi. Nanti abangmu telat loh,” gerutu ibu. “Nggak apa bu, belum telat kok. Masih ada banyak waktu,” bela Novan. “Nggak apa, nanti abang biar papa aja yang antar.” Papa menawarkan. Novan melirik papa. Tumben. Papa tidak pernah mengantarkannya ke sekolah sejak ia duduk di kelas 3 SD. “Nggak usah pa, abang bisa pergi sendiri kok,” tolak Novan. “Nggak apa, biar papa antar aja. Papa hari ini masuk kerjanya agak siang,” ujar papa. “Suapin Mikel sambil makan juga sarapanmu itu, jangan sampai kita telat nanti.” “Iya pa.” Novan kembali menyuapi Mikel. Mikel bersenandung selama di suapi. Ia berjoget kegirangan. Melihat Mikel yang seperti itu menambah mood Novan di pagi itu. Semoga hari ini ada banyak hal baik yang terjadi. **** Sesuai dengan yang di janjikan, papa mengantarnya ke sekolah. Selama perjalanan, tidak ada percakapan yang terjalin. Hanya lantunan lagu pagi dari radio yang memecahkan keheningan mereka. Tidak ada yang berniat membuka percakapan, sampai mereka tiba di sekolah Novan. Papa memberhentikan mobil di parkiran sekolah. “Masih ada uang jajan kamu?” Tanya papa saat Novan melepaskan seatbelt. “Ada sih, cuma udah sekarat,” jawab Novan. “Oh, oke.” Papa mengeluarkan dompet dan memberikan dua lembar uang seratus ribuan pada Novan. “Ini, uang jajan.” Novan mengernyitkan alis, namun tetap mengambil uang itu. “Makasih pa.” Novan menyalim papanya. “Novan sekolah dulu ya.” “Iya, belajar yang rajin.” **** Novan baru saja menginjakkan kaki di kelas dan langsung di cegat oleh Karyo di depan pintu. Novan tersentak kaget melihat Karyo sudah ada di sana. “Eh Yo. Ngapain di sini? Kan bukan kelasmu …” Tanya Novan. Karyo mendekatkan wajahnya dan menatap Novan tajam. “Kenapa kamu jawab chat aku kayak gitu hah? Udah gitu kamu blokir aku? Memangnya aku salah apa? Kan aku lakuin itu buat kita semua,” tanya Karyo penuh introgasi. “Oh ya? Buat kita semua? Tapi aku nggak merasa begitu kok ya …” Jawab Novan. Wajah Karyo memerah, matanya melotot. “Padahal ini kan ide aku …” “Iya, emang ide kamu, tapi kan aku yang merealisasikannya. Aku yang ajak kamu buat realisasikan hal itu, aku yang cari pelanggan. Kamu tinggal kerjain aja, apa susahnya sih hah?! Lebih susah cari pelanggan tau daripada kerjain soal! Kamu kan nggak mau deket dengan orang lain, bersyukurlah masih ada aku yang mau bantuin kamu!” Novan terbelak mendengarnya. Sampai tega ia mendengar Karyo bilang begitu. Novan tersenyum miris. Ia menarik kerah baju Karyo dan mendorongnya ke dinding. “Maaf ya kalau aku malah jadi ngerepotin kamu buat nyari pelanggan. Kalau memang nggak mau bantuin lagi, yaudah nggak usah. Kita akhiri aja sampai sini,” bisik Novan tepat di telinga Karyo. Ia melirik. Semua pasang mata mengarah ke mereka. Novan menyungging senyum kecil, lalu melepas cengkeramannya. Ia merapikan kerah baju Karyo. “Selaw, bercanda kok. Jangan tegang gitulah mukanya,” ujar Novan. Karyo tersadar. Ia membuang muka dan merapikan kerah bajunya, lalu pergi keluar kelas. Novan balik badan dan terkejut melihat semua pasang mata masih memperhatikannya. “Kenapa? Ada apa?” Ia mengernyitkan alisnya. Beberapa anak masih menyorotinya dengan smartphone. “Udah? Gitu aja?” Tanya Tata. Novan melongo. “Yah, padahal tadi keren banget loh!” Tukar Karin. Tata dan Filda mengangguk setuju. “Hampir dapat tahu chemistry-nya tadi! Malah udahan pula,” timpal Filda kecewa. “Iya kan? Padahal tadi tiba- tiba udah di b*****e gitu, udah di tarik kerahnya. Ya ampun, hot banget gila!” Karin mengipasi dirinya dengan tangan. “Banget! Ya ampun, imajinasi liarku ya ampun!! Nggak tahan aku lihatnya!!” Timpal Tata. “Ya kan?! Mana ganteng banget tadi si Novan ya ampun. Bentar. Aku mau teriak.” Filda teriak kegirangan kencang, di susul oleh Tata dan Karin. Mereka berpegangan tangan dan loncat- loncat di tempat. “Kenapa mereka?” Tanya Novan setengah berbisik pada Gilang. Gilang mengedikkan bahunya dan menyilangkan jarinya di dahi. “Heh! Tobat kalian! Jangan asik BL aja tuh di otak!” Andi memperingatkan. Mereka bertiga manyun menatap Andi. “Ye! Suka- suka dong!” Gerutu Tata. “Tau tuh! Ganggu imajinasi orang aja!” Sambung Filda. “Tobat kalian, kiamat udah dekat nak. Tobat nak tobat,” pinta Andi bak seorang ustad. Ketiga perempuan itu mendengus kesal. “Sok alim lu Ndi! Udah gais, bubar. Ganggu aja si Andi ni!” Tata menarik ketiga temannya menjauh dari mereka. “Van, kalau jadian sama Karyo bilang ya. Biar kami rayain!” Ujar Tata dari pintu belakang kelas. “Heh! Agak lain kalian ya! Udah di bilang tobat sana!” Balas Gilang sebal. Novan geleng- geleng kepala mendengarnya. Makin aneh aja dunia ini. **** Hari ini tampaknya memang hari keberuntungannya. Seharusnya hari ini waktunya ulangan Matematika, tapi guru Matematika lupa akan hal itu. Sekelas juga kompak tidak mengingatkan beliau. Sepertinya semua belum siap untuk ulangan. Tidak ulangan dan tidak belajar, karena beliau memilih untuk istirahat dengan menceritakan masa mudanya. Tidak ada yang lebih seru selain mendengar guru bercerita sampai jam pelajaran habis. Berikutnya, jam pelajaran Biologi, mendadak guru Biologi mengadakan praktikum. Canggihnya, beliau sudah menyiapkan semua alat dan bahan di laboratorium. Kali ini kami membuat acar mangga, untuk mempelajari teknik absorbsi. Selesai praktikum, kami menikmati acar mangga itu bersama. Bahkan guru Biologi membelikan kami roti sosis di kantin. Sepertinya suasana hati beliau sedang baik. Ah, pagi yang menyenangkan. Hal baik apalagi yang akan terjadi hari ini? “Permisi.” Seorang guru mengetuk pintu kelas. Kami yang sedang menikmati acar mangga menoleh. “Oh, pak Tono. Ada apa ya pak?” Tanya bu Ira, guru Biologi. Beliau menghampiri pak Tono. “Itu pak Tono, guru Bahasa Indonesia anak IPS,” bisik Andi. Novan mangut- mangut. Untuk apa guru IPS ada di kelas IPA? Dan lagipula, hari ini mereka tidak ada pelajaran Bahasa Indonesia. “Maaf bu, saya boleh izin panggil itu... Anak baru di kelas ini? Duh, saya lupa namanya pula,” Tanya pak Tono kebingungan. “Oh, si Novan ya pak? Oh boleh pak, silakan.” Bu Ira menoleh. “Novan, di cariin pak Tono!” Novan mengernyitkan alis. Ia bangkit dari duduk dan menghampiri bu Ira dan pak Tono. “Kamu yang namanya Novan ya?” Tanya pak Tono. Novan mengangguk pelan. “Iya pak. Maaf pak, ada apa ya ini pak?” Tanya Novan pelan. “Saya ada perlu sebentar sama kamu. Kamu bisa ikut saya sebentar?” Pinta pak Tono. Novan mengangguk. “Saya minta izin bawa anaknya bentar ya bu.” Pak Tono pamit sambil mendorong Novan pelan. “Ikut bapak bentar ya nak.” Hah? Ada apa ini? ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN