Bab 71

1144 Kata
         Novan mengikuti pak Tono menyusuri lorong kelas yang sepi. Kepalanya di penuhi tanda tanya. Kenapa dia sampai di panggil oleh pak Tono, yang tidak pernah mengajar di kelasnya? Kemana mereka akan pergi? Memangnya kesalahan apa yang dia perbuat? Dia baru 2 minggu sekolah di sini dan kesalahan yang ia perbuat hanya terlambat. Apa hal itu akan di ungkit lagi? Tapi kan itu sudah lama?            Atau mungkin beliau memang sedang ada perlu dengannya? Ah, mungkin saja begitu. Ia kan anak baik, tidak buat kesalahan, mana mungkin kan dia di hukum. Tapi prasangka baik itu buyar saat mereka berhenti di depan ruang BK. Pak Tono membuka pintu ruang BK dan masuk ke sana.            “Kamu ngapain di luar? Ayo ikut saya masuk,” ajak pak Tono sambil menahan pintu. Novan mengerjap dan mengangguk.            “Ah, iya pak.” Ia ikut masuk ke dalam. Pak Tono menutup pintu. Kursi roda di depan sana berputar dan tampaklah seorang guru dengan wajah ramah duduk di sana.            “Hai, halo. Nak Novan kan ya?” Tanyanya. Novan mengangguk. “Duduk dulu, duduk.” Beliau menunjuk sofa yang ada di sana. Novan duduk di sana dan tersentak kaget melihat ada orang lain yang duduk di sana. Ia menundukkan wajahnya, tapi tampang itu terasa amat familiar baginya.            “Karyo …?” Panggilnya. Karyo menoleh sesaat dan sama kagetnya seperti Novan. “Kamu .. kenapa bisa ada di sini?” Tanyanya lagi. Karyo tidak menjawab. Ia membuang muka.            “Sebentar ya, kalian tunggu dulu teman kalian yang lain,” ucap guru BK. Ia menatap Novan lamat- lamat. “Kamu kok rasanya agak asing ya, anak baru ya?”               “Iya pak, nama saya Novan Andriansyah, saya anak baru di kelas XI MIPA 2. Saya baru masuk 2 minggu lalu.” Novan memperkenalkan dirinya.            “Oh, bener ternyata. Pantesan agak asing. Perkenalkan, saya pak Gono Wonogiri. Saya guru BK di sekolah ini. Kamu kalau mau curhat atau sekedar ngobrol, boleh kok main- main ke ruangan saya. Tenang aja, ruangan ini terbuka untuk semua murid.” Beliau merentangkan tangannya lebar. Novan meringis.            “Hehehe …iya pak.” Novan sedikit pun tidak percaya dengan ucapan pak Gono. Hei, murid mana yang pergi ke ruang BK untuk curhat, kecuali dia bermasalah? Hal seperti itu tidak pernah terjadi sepanjang hidupnya.            “Anu pak …” Karyo mendongak. “Anu itu pak, kenapa kami …” Belum selesai Karyo bertanya, sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatian pak Gono.            “Ya, silakan masuk,” pinta pak Gono. Pintu BK terbuka dan tampaklah Kirana di daun pintu.            “Bapak manggil saya?” Tanya Kirana sambil menunjuk dirinya.            “Nah, ini! Masuk dulu nak, masuk. Gabung dengan teman- teman kalian ini!” Ajak pak Gono sambil menunjuk kami.            “Loh? Kalian ada di sini juga?” Tanya Kirana heran. Karyo meringis, sedangkan Novan membuang muka. Kirana duduk di samping Karyo. Ia menyikut Karyo yang menunduk.            “Eh, kenapa kok kamu bisa di panggil pak Gono?” Bisik Kirana. Karyo mengedikkan bahunya.            “Aku juga nggak tahu, bingung juga. Padahal aku nggak ada buat salah minggu ini,” jawab Karyo berbisik.            “Eh, ada apa tuh bisik- bisik?” Tanya pak Gono. Kirana dan Karyo meringis dan serempak menggeleng.            “Ah, nggak ada apa- apa kok pak. Hehe ..” Jawab mereka serempak. Pak Gono mangut- mangut.            “Kalian tunggu dulu ya, ada satu teman kalian lagi yang mau datang. Bentar lagi bakal sampai kok, kalian hitung mundur aja. Lima … empat … tiga …” Pak Gono hitung mundur sambil menatap pintu lamat- lamat. “Dua … sa …”            “Bapak manggil saya?” Tanya seseorang di daun pintu. Kami menoleh. Gisela berdiri di sana sambil memegang gagang pintu.            “Ulang. Kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu, salam, baru masuk nanya. Kalo kayak gitu nggak sopan. Ulang lagi, ulang!” Pinta pak Gono. Gisela mendelikkan matanya dan berdecak.            “Iya, iya …” Gisela keluar dari ruang BK. Ia mengetuk pintu dan langsung membuka pintunya. “Udah kan? Jadi, ada apa kok manggil saya?” Tanya Kirana acuh. Pak Gono geleng- geleng kepala.            “Ya ampun, itu mah masih salah. Ulang lagi ulang!” Pinta pak Gono. Kirana berdecak kesal. Ia tidak menuruti perintah pak Gono, ia malah masuk ke dalam dan mengunci pintu. Ia berkacak pinggang.            “Halah, bawel amat sih kamu, bang. Ada perlu apa sih?” Tanya Gisela acuh tak acuh. Novan, Karyo, dan Kirana terbelak kaget dan menoleh ke Gisela dan pak Gono bergantian.            “Abang?” Gumam Karyo. Gisela mengernyitkan alisnya.            “Ya, iya abang. Kan ini pak Gono kalian ini abang aku,” jawab Gisela. Mereka terbelak makin lebar.            “HAH?!” ****            Gisela duduk di samping Kirana sambil mengemut permennya. Masih terlalu sulit untuk di percaya kalau Gisela dan pak Gono adalah saudara sedarah, karena mereka berdua tampak sangat berbeda. Gisela dengan badannya yang lumayan langsing dan kurus, sungguh berbanding terbalik dengan pak Gono yang berbadan lumayan gempal dan berkulit coklat.            “Kalian kenapa sih? Kok kayaknya kaget banget gitu?” Tanya Kirana risih. Mereka menatap pak Gono dan Gisela bersamaan. “Heh, udah. Biasa aja kalilah. Pak Gono ini.” Gisela menunjuk pak Gono. “Kami ini abang adik, iya. Abang adik. Tapi umur kami itu memang beda jauh, sampai belasan tahun kayaknya. Nggak usah heran deh, dia terlalu ikut wajah mama sedangkan aku ikut wajah papa. Jadi gitulah.” Kirana menjelaskan. Mereka mengangguk bersamaan sambil melongo. Kejadian yang amat sangat tidak terduga sekali.            “Iya, saya abangnya ini si Gisela. Saya agak pusing jadinya, ini anak walaupun udah ada abangnya yang jadi guru BK, tetap ada aja tingkahnya. Entah sudah berapa kali dia kena kasus di sekolah,” ucap pak Gono.            “Udahlah. Itu nggak penting. Sekarang yang penting, aku mau nanya. Gimana persiapan? Udah aman? Udah kamu siapin belum?” Tanya Gisela dengan mata berbinar penuh harap.            “Ada kok, tenang aja. Pokoknya serahin aja semuanya dengan abangmu ini!” Pak Gono memukul dadanya pelan. “Sebenarnya dia ada di sekeliling ruangan ini, tapi kalian aja nggak sadar.”            Kami mengernyitkan alis. Ada di sekeliling ruangan? Ia tidak menemukan sesuatu yang janggal sama sekali. Semuanya sama seperti biasa.            “Mana bang? Katanya ada kado?” Rayu Gisela. Pak Gono berdecak kesal.            “Itu loh, coba kalian tengok dengan teliti lagi,” pinta pak Gono. Kami memperhatikan sekitar. Hei, tidak ada yang janggal, sampai …            “Aku ketemu!” Sorak Karyo. Kini mereka mengerumuni Karyo dan mengucapkan selamat.            “Memangnya itu apa?” Tanya Kirana.            “Ini.” Karyo mengambil buket kecil di bawah meja. Mereka mengernyitkan alisnya. Untuk apa buket ini?            “Hah! Ini kan yang aku minta kan bang?!” Tanya Gisela. Pak Gono mengangguk. Gisela tersenyum sumringah dan loncat- loncat kegirangan.            “Memangnya bunga mawar ini mau di apain?” Tanya Karyo. Gisela menoleh pada Karyo dan tersenyum kecil.            “Ayo! Kita laksanakan ide baru kita!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN