bab 123

1217 Kata
“Althea, merunduk! Cepat!” Terdengar teriakan pak Gugun entah darimana. Seketika aku langsung tersadar dan refleks merunduk. Tiba- tiba sebuah peluru laser meluncur dari balik tangan robot itu. Aku terpenjat kaget saat laser itu mengenai kursi dan membuat kursi itu bolong seketika. Apa itu? Kenapa tiba- tiba robot di rumah ini bertingkah seperti ini? Apa mungkin sistemnya error? Atau mungkin ada bagian yang konsrlet? Aku tidak tahu, tapi yang di lakukan robot ini jelas mengancam nyawa banyak orang. Apalah jadinya tadi kalau aku sampai terkena laser itu. Kayaknya badanku langsung gosong seketika. “Target tidak kena, target tidak kena …” “Althea, cepat pergi dari sana!” Teriak pak Gugun. Aku tersadar dari lamunan dan lari tertatih- tatih. Tak sengaja aku menabrak ujung meja dan jatuh. Argh, kakiku sakit lagi! Padahal tadi udah tidak sakit lagi. Aku tertatih- tatih menjauhi robot. Menahan kakiku yang semakn nyut- nyutan. Aku merutuk dalam hati. Ini kaki kenapa sakit di saat yang tidak tepat sih?! “Target tidak kena, target tidak kena …” “Lari Althea, cepat! Lari!” Pak Gugun berteriak. “Kakiku sakit pak …” Gumamku. “Target ketemu … meluncurkan tembakan …” Gawat! Aku menutup kedua mataku. Sepertinya aku tidak selamat. Tidak, aku tidak bisa lari. Kakiku sangat berdenyut sekarang, tidak bisa di ajak lari. Ah, inikah akhir hidupku? “ALTHEA!!” Teriakan pak Gugun terdengar nyaring. Ah, mungkin itu suara terakhir yang akan aku dengar. Papa, mama, nenek, Shei, Rendra, semuanya … aku minta maaf jika pernah salah dengan kalian dan sering merepotkan. Doakan aku pergi dengan damai. Aku menutup mataku, pasrah dengan keadaan. Sudahlah, ini memang akhir hidupku. Terdengar suara tembakan dari sana. Aku perlahan membuka mata. Heh, tembakan itu tidak kena aku? Loh? Aku terpenjat saat melihat Rendra memelukku sambil menahan kami dengan kuali yang sangat besar. “Kamu kenapa gak kabur?!” Tanya Rendra kesal. Aku tidak menjawab dan hanya balas balik memeluk Rendra erat. Badanku gemetar hebat. “Udah gak apa, gak apa,” bisik Rendra. Ia mengelus pelan pundakku, berusaha menenangkan. PRANG! Kami melirik ke asal suara dan melongo melihat kuali itu kini terbagi dua. Robot itu kini berada tepat di depan mata kami. Kami menelan ludah. Gawat, ini gawat. Kami tidak bisa lari kemana- mana kalau begini jadinya. Aku menatap kosong ke depan. Badanku gemetar hebat, ingin lari tapi seperti tertempel di sana. PLAK! Aku tersontak kaget saat melihat Rendra memukul robot itu sekuat tenaga dengan pecahan kuali. Rendra memukul kepala robot itu dengan sekuat tenaga hingga terjadi error. “Ayo lari! Cepet!” Rendra menarik tanganku. Aku langsung tersadar dari lari bersama Rendra. “Kita kemana?” Tanyaku sambil berlari. “Keluar! Langsung ke mobil!” Jawab Rendra. “Tapi tasku masih di dalam.” Rendra berdecak kesal. “Udah jangan lu pikirin itu dulu, yang penting lari aja dulu sekarang!” “Ren! Teh!” Terdengar suara seseorang memanggil di belakang kami. Kami menoleh tanpa menghentikan langkah. Kara dan Dudut ada di belakang kami, menyusul kami lari. Tampak masing- masing dari mereka menenteng dua tas. “Teh kamu gak apa?” Tanya Dudut. Aku mengangguk. “Ini kami bawain tas kalian, kata dokter kita langsung masuk ke dalam mobil aja.” Kara memberitahu. “Mana dokter Akar?” Tanya Rendra. “Menyusul di belakang. Sekarang dokter lagi di cegat sama robot yang lain,” jawab Dudut. “Hah? Kok bisa? Kita harus tolong dokter Akar!” Rendra hendak menghentikan langkahnya, tapi Kara dengan sigap menarik tangannya. “b**o! Udah gak apa, dokter Akar bisa selamatin diri kok. Buru kita ke mobil!” “Tapi …” Kara tidak memperdulikan perkataan Rendra. Ia menarik tangan Rendra dan mengajaknya lari bersama. Nyaris saja aku terjatuh saat menuruni tangga di teras, tapi Dudut dengan sigap menangkapku. Kami lari semakin kencang dan berhenti saat sampai di mobil. Kami terengah- engah masuk ke dalam mobil. Kara memutar kunci dan menyalakan mobil. “Dokter! Dokter Akar masih di dalam!” Ujar Rendra. “Tenang, kita gak tinggalin dokter Akar kok.” Kara menekan pedal gas kencang. Mobil melaju dengan kencang. Ia melakukan maneuver meliuk- meliuk seakan sedang di arena sirkuit. Dokter Akar terlihat dari pintu teras. Beliau jalan tertatih- tatih dengan lengannya yang di genggam oleh tangan robot yang sudah copot. “Itu dokter! Kar, itu dokter Akar udah keluar!” Rendra menepuk pundak Kara dan menunjuk ke arah dokter Akar yang sedang turun tangga. Dokter Akar melambaikan tangannya. Kara dengan sigap mengarahkan mobil ke dekat dokter Akar. Ia sedikit berbelok untuk menghindari tabrakan dan membuka pintu belakang. Dokter Akar langsung masuk ke dalamnya. “Pak Gugun, gimana dengan pak Gugun?” Tanyaku. Dokter Akar melepaskan tangan robot itu dari lengannya. “Saya gak bisa selamatin pak Gugun. Robotnya makin brutal setelah di pukul Rendra. Kayaknya dia makin error,” jawab dokter Akar. “Hah? Pak Gugun tinggal di dalam sendiri?!” Tanyaku balik. Dokter Akar mengangguk. Aku membuka pintu mobil dan hendak keluar, tapi langsung di cegat oleh Rendra. “Kamu mau kemana? Jangan masuk ke dalam, bahaya!” Aku menepis tangan Rendra. “Pak Gugun masih di dalam sendiri! Aku harus tolong dia. Kalian tega tinggalin beliau sendiri?” “Teh, jangan. Di dalam bahaya, jangan.” Dokter Akar mencegatku. “Gak, aku gak tega tinggalin pak Gugun sendirian.” Baru saja aku satu kakiku melangkah keluar, terdengar erangan kencang dari dalam rumah pak Gugun. Pak Gugun pasti habis di serang oleh robot- robot itu. Baru saja aku melangkahkan kaki satu lagi, pak Gugun sudah jalan tertatih- tatih ke teras rumah. Ia tampak sangat kusut, dengan baju yang sudah compang- camping sana- sini. Ia jalan tertatih- tatih sambil memegang pundaknya. Pipinya berdarah terkena luka baret. “Kalian … jangan … kemari …” Pinta pak Gugun terbata- bata. Ia jatuh terduduk di kursi teras. Ia mengerang kesakitan sambil menggenggam erat pundaknya. Darah mengucur dari pundaknya. “Pak! Jangan pak, bapak ayo ikut kami. Bahaya kalo bapak terus di sini.” Aku menghampiri pak Gugun. Pak Gugun geleng- geleng kepala dan mendorongku pelan. “Enggak nak, enggak. Kalian harus pergi dari sini. Saya … saya gak apa kok …” “Pak …” BOOM! Sekelibat sinar laser melewatiku. Aku tersentak kaget dan menoleh ke asal suara. Sinar laser itu meleset dan malah membakar pohon besar di halaman. “Teh, masuk Teh!” Rendra memanggil. “Pak, ayo pak ikut kami pak!” Aku mengguncang badan pak Gugun yang kini terkapar di kursi ruang tamu. Pak Gugun mengeleng lemah. “Enggak, gak bisa. Kalian … pergilah …” “Ta … tapi pak …” Pak Gugun menyinggungkan senyum kecil. “Tak apa, kalian … harus … selamatin … yang lain … kembalikan penduduk desa juga … saya titip …” Robot itu semakin mendekat, kini membawa rombongan robot yang lain juga. Aku mengguncang badan pak Gugun pelan. “Pak, pak ikut kami pak! Bapak jangan tinggalin kami!” “Althea! Bahaya, cepat masuk dalam mobil!” Rendra turun dari dalam mobil dan menarik badanku. Aku menahan badanku sekeras mungkin. “Target di temukan … target di temukan …” Gumam robot- robot itu. “Teh! Masuk!” Rendra menggendong badanku dengan paksa dan membawaku masuk ke dalam mobil. Kara dengan sigap membawa mobil sekencang- kencangnya, meninggalkan rumah pak Gugun yang kini di kuasai oleh robot- robot pelayannya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN