Bab 20

3087 Kata
“Oi Novan!” Andi datang dari belakangnya dan merangkul Novan. “Tumben agak telat. Biasanya jam segini udah di kelas aja tuh,” tanya Andi. “Iya, agak telat bangunnya tadi,” jawab Novan. “Begadang ngerjain hukuman yang di kasih bu Julia ya?” Novan mengangguk. Andi menghela napas. “Hampir pecah kepalaku kerjainnya. Kayak yang nggak siap- siap tuh,” gerutu Andi. Novan mengangguk. “Berasap kepala memang ngerjainnya.” Andi mengangguk. “Kamu udah kerjain berapa memangnya?” “Hem … soalnya kan ada 35 ya … kayaknya udah selesai …” Novan menghitung dengan jari- jarinya. “Hem … kayaknya sih udah 17 soal kali ya? Kurang lebih sih segitu, kayaknya, lupa. Antara 15 atau 16, atau 17 gitu deh. Masih banyak,” jawab Novan. Andi menoleh dan melongo lebar. Novan mengernyitkan alisnya. “Kenapa memangnya?” Andi mengguncangkan pundak Novan dengan kencang. “Hah? Yang bener aja kamu udah selesai sebanyak itu?” Tanya Andi heboh. Novan mengangguk dan melepaskan tangan Andi dari pundaknya. “Ya, bener sih. Kan aku bilang kurang lebih 15 soal gitu dah. Kan masih banyak sisanya, masih ada 20 soal lagi,” jawab Novan. Andi melongo lebar dan geleng- geleng kepala. “Tapi itu udah selesai banyak! Aku aja baru dapet 9 soal, kirain bakal aku yang paling cepet ngerjainnya,” gumam Andi. “Kamu kerjainnya dari kapan memang?” “Hem, dari di sekolah kemarin kan? Sampai tadi malam aku kerjainnya.” “Padahal sama waktu kerjainnya, tapi kenapa kamu udah bisa selesai banyak gitu hah?! Kamu pakek jurus apaan? Kagebunshin no jutsu apa gimana?!” Andi kembali mengguncangkan bahunya. Novan menjauhkan tangan Andi dari bahunya. “Nggak ada jurus- jurusan itu. Ya kerjain ya tinggal kerjain aja,” jawab Novan. “Yah tapi kebanyakan di kerjain sama Stevan sih,” gumam Novan pelan. Kalau dia tidak di bantu oleh Stevan, mungkin juga baru selesai 9-10 soal sama seperti Andi. “Hah? Apa tadi?” Novan mengeleng. “Tapi aku takutnya nggak keburu siap sampai besok sih. Kan masih banyak.” Andi menggerutu kesal. Ia mengacak- acak rambutnya. “Ck! Kamu mah masih mending. Aku nih, masih banyak banget malahan!” “Ya kan aku walaupun udah selesai banyak tapi belum tentu tuh bener semua.” Novan menoleh. “Eh tapi itu memangnya di nilai gak sih tugasnya? Apa kayak di kasih ttd aja gitu?” “Di nilai woi. Nanti itu bakalan di periksa satu persatu, terus di nilai. Nilainya bakal di kasih ke guru, buat nilai tambah. Tapi kalo nilainya jelek bakal di kasih tambahan tugas lagi, atau tambah jam pelajaran gitu.” Novan melongo. “Bisa begitu?” Andi mengangguk. “Bu Julia hampir segalanya di sekolah ini. Kepala sekolah agak segan dengan beliau.” Novan geleng- geleng kepala. “Bisa ya kayak gitu.” Andi mengerlingkan matanya. “Kan sudah kubilang, seribu satu guru kayak bu Julia ini.” **** Hukuman dari bu Julia mengubah atmosfer kelas ini drastis. Biasanya kelas ribut dan hanya tersisa setengahnya saja kalau masih pagi. Tapi kali ini, kelas sudah hampir semuanya datang dan mereka duduk manis di mejanya sambil menatap lurus ke meja. Mengerjakan soal- soal yang di berikan bu Julia. “Tumben banget udah rame. Padahal masih pagi,” gumam Novan. “Biasa ini mah. Ini hanya bisa terjadi kalau udah buat masalah dengan bu Julia.” Andi menaruh tasnya di kursi. Iwan, Gilang, dan Ipang datang menghampiri Andi sambil membawa buku. Wajah mereka tampak agak pucat dan lelah. Kantung mata yang tebal dan hitam terlihat jelas. “Andi …” Panggil mereka bertiga serempak dengan lesu. Andi menoleh dan tersentak kaget. “Heh! Kalian bikin kaget aja!” Andi mengelus dadanya. “Kenapa kalian? Lesu amat. Itu mata juga udah kayak panda!” Mereka tidak menjawab, malah menguap lebar. “Semalem, kami bertiga begadang ngerjain itu tugas dari bu Julia di rumahnya si Giant,” jawab Ipang. Gilang dan Iwan mengangguk serempak. “Kami kerjain dari pulang sekolah sampai malem,” timpal Iwan. Gilang mengangguk. “Kami minum kopi 4 gelas, biar gak tidur. Tapi yang ada kami malah bolak- balik ke kamar mandi, sakit perut karena kebanyakan ngopi,” tambah Gilang. Mereka mengangguk serempak sambil memegang perut. Andi geleng- geleng kepala mendengarnya. “Nah terus? Udah berapa soal yang kalian kerjain?” Tanya Andi. Mereka bertiga saling lirik satu sama lain. “Anu … baru selesai 3 soal sih …” jawab Ipang. Mereka bertiga nyengir. “Yaelah, kerjain dari semalem kirain bakal dapat 5 soal.” “Kan kami nggak pinter kayak kamu Ndi,” timpal Iwan. “Apalagi ini soal Matematika, segudang soalnya. Kalo matematika mah, kamu tahu sendirilah ya kami gimana. Kalo udah kena matematika, tuh IQ bukan jongkok lagi kayaknya. Udah tiarap!” Mereka menarik kursi dan duduk mengelilingi meja Andi. “Yah memang agak susah sih soalnya. Aku juga baru kerjain 9 soal sih.” Gilang menggebrak meja. “Kan?! Memang susah kan?! Bukan kaminya yang terbodoh kan?!” “Ya, tapi tetep aja sih, 2 soal dalam semalam sampai begadang itu agak b**o namanya.” Mereka bersungut- sungut kesal. “Ndi, Ndi.” Iwan menyikutnya. Andi menoleh. Iwan nyengir lebar sambil menaikkan alisnya. “Nengok punya kamu dong,”bisiknya pelan. “Hadeh kalian ini.” Andi mengeluarkan kumpulan soal dan tumpukan kertas HVS dari tasnya. “Nih, tapi bener salahnya aku nggak tanggung deh ya.” Mereka menerimanya dengan senang hati. Mereka membolak- balik kertas jawaban Andi. “Makasih banyak Andi!”ujar mereka serempak. Andi mengangguk. “Bener salahnya aku nggak nanggung ya. Kalo mau kalian periksa lagi aja.” “Halah. Aman itulah. Salah benernya kami nggak akan salahin kamu kok, yang penting cepet selesai ajalah ini.” “Tapi seengaknya tuh kalian periksa dulu juga …” Ipang berdecak. “Nggak usah, mau di periksa juga pun kami nggak ngerti caranya,” ujar Ipang. Andi geleng- geleng kepala. “Kamu gimana Van? Udah selesai banyak nggak?” Tanya Gilang. “Oh, si Novan mah ..” Novan langsung menutup mulut Andi dengan tangannya. Dia nyengir lebar. “Ah, aku baru selesai 7 soal kok. Masih sikit, banyakan si Andi,” jawab Novan. Andi mengernyitkan alisnya. Ia melepas tangan Novan dari mulutnya. “Lah tapi kan kamu …” Novan menyikut Andi dan menariknya ke belakang kelas. “Jangan kamu bilang ke mereka kalo udah siap 17 soal,” bisik Novan. Andi mengernyitkan alis. “Lah memangnya kenapa?” Tanya Andi bingung. Novan mengeleng kencang. “Jangan, jangan kasih tahu. Biarin aja mereka lihat punya kamu dulu. Nanti bakal heboh kalo mereka tahu,” jawab Novan. “Hah? Kamu tinggal bilang aja ke mereka jangan heboh. Mereka nggak bakalan heboh gembor sana- sini juga, palingan kerjain buat mereka bertiga aja.” Novan mengeleng. “Jangan! Pokoknya jangan! Nanti aja aku kasih ke mereka, kalo emang akunya udah selesai.” “Kasih ke aku juga ya?” Novan mengangguk. “Tapi salah benernya nggak tanggung aku ya.” Andi memberi hormat. “Siap bos!” **** Novan kembali ke tempat duduknya. Ia mengeluarkan smartphone dan chat dengan seseorang. Novan Stev Bisa bantuin tugas aku nggak? Stevan Tugas apa? Tugas yang kemaren apa tugas baru lagi? Nanti aku bantuin, pulang sekolah kamu kita kerjain lagi. Novan Tugas kemarin Stev. Gak bisa kamu bantu entaran lagi gitu Stev? Ada yang aku kurang ngerti ini Stevan Kerjain aja yang kamu ngerti dulu. Aku masih kerja. Mana memang yang kamu nggak ngerti? Novan *sent a photo* Itu yang aku lingkarin Gini bukan sih caranya *sent a photo* Stevan Oh itu Hampir bener, kerjain aja sikit lagi Atau yang kamu bisa dulu deh Nanti aku bantuin sisanya Dah ya, masih kerja. Belajar sana. Perhatiin gurunya jelasin. Jangan main HP aja. Tak ambil nanti HP-mu Novan Iya iya Novan kembali memasukkan smartphone ke dalam tas. Ia memperhatikan soal di depannya. Ia menghela napas panjang. Masih banyak. Kepalanya hampir pecah hanya karena mengerjakan satu soal saja. Ia menundukkan wajahnya ke meja. Ah sudahlah, nanti saja dia kerjakan lagi. Novan merasakan getaran dari dalam tasnya. Ah, itu pasti smartphone miliknya. Ia mengeluarkan lagi dari tas. Danusan Mencari Rezeki (7) Kirana Pagi guys. Sedikit pengumuman, hari minggu nanti kita ngumpul di rumah Talita ya. Buat bikin gorengan sama- sama Nanti kita jual di hari seninnya. Bisa gak Ta? @Taal Taal Bisa kak Tadi Talita udah minta izin sama ibu. Kirana Oke, nanti kamu shareloc aja ya Yang nggak bisa, kayak biasa, bilang. Sertakan alasan. Kalo masalah kendaraan nanti bisa di usahakan. Bilang aja pokoknya. Oke? @Gisel @Fiona @Karyo @Dewi @Novan Andriansyah Dewi Hari sabtu jam berapa kak? Kirana Oh ya, hampir lupa. Jam 12 ya. Novan menaruh kembali smartphone di dalam tasnya. Ah, sepertinya hari- hari ke depan dia bakal sibuk. Ia melirik Andi di sebelahnya. Ia saja sudah sibuk seperti ini, apalagi Andi yang memegang jabatan di OSIS? Apalagi dia yang paling sering di panggil dan di mintai bantuan oleh Valdi. Terdengar suara erangan dari depan kelas. Seorang anak perempuan mengacak- acak rambutnya. Dia mengerang kesal dan bersungut- sungut. “ARGH! Ini tugas kenapa nggak siap- siap sih?! s****n! Udah mau pecah otak aku kerjainnya dari semalam, kayak yang nggak kelar- kelar! Ck!” Ia melempar pulpen ke meja. Ia kembali mengacak- acak rambutnya. “Gara- gara kalian nih!” Ia menunjuk ke mereka yang kemarin pergi ke kantin. “Bisa- bisanya kalian kepergok sama bu Julia!” “Ya kan kami nggak tahu kalo bakalan ada bu Julia di sana! Kamu mah enak cuma kerjain soal itu aja. Nih kami nih, dapat tambahan kerjain essai. Pake bahasa Inggris pulak!” Bantah seorang anak perempuan yang kalau tidak salah ingat, namanya Tata. Anak perempuan yang rambutnya sudah acak- acakan itu menggerutu kesal. “Udahlah Wik. Mau kamu marah- marah juga nggak bakal selesai tugasnya kalo nggak kamu kerjain.” Salah seorang temannya yang rambutnya di kucir kuda berusaha menenangkan. “Tuh Wik! Bener kata si Dea. Kamu kerjain makanya biar cepet selesai, cepet ilangnya asap dari otakmu itu.” Anak perempuan yang di panggil Wik itu berdecak kesal. “Ck, terserahlah.” Dia kembali duduk. Ia mengambil pulpen dan mulai mengerjakan soal. “Ck, ini siapa deh yang mau kerjain semuanya, nanti aku bayar deh. Berapa pun gitu. Kok nggak ada joki tugas beginian sih,” gerutunya. “Ini aja pada belum selesai Wik, gimana mau buka jasa joki tugas coba,” timpal Dea. “Yah, kali aja gitu …” Novan mendengar percakapan mereka dari kejauhan. Ia mangut- mangut. Hem, terbesit sebuah ide di kepalanya. “Agaknya boleh juga.” **** Bel tanda istirahat sudah berbunyi. Pak Alam, guru Geografi, sedang merapikan buku- bukunya yang berantakan di meja. “Cukup segitu hari ini. Ini kalian catat ya, kalo udah selesai baru di hapus. Bapak pamit dulu. Selamat istirahat semuanya.” Pak Alam pergi keluar kelas sambil menenteng buku- bukunya. Begitu pak Alam melangkah lebih jauh, semua anak mengeluarkan smartphone dan memotret papan tulis. “Masih aja di suruh nyatat. Padahal tangan udah pegel ngerjain soal dari bu Julia,” gerutu seorang anak perempuan yang di susul dengan anggukan yang lain. Selesai memotret papan tulis, mereka memasukkan kembali smartphone ke kantung celana dan tas, lalu pergi keluar kelas. “Van, kamu kantin nggak?” Tanya Andi. “Entar, aku liat dulu.” Novan merogoh sesuatu dalam tasnya. Ah, ternyata memang benar. Stevan sudah menyiapkan bekal untuknya. Padahal tadinya dia ingin jajan di kantin karena kebetulan di kasih uang saku lebih banyak. Tapi nanti dia akan ketemu Stevan lagi dan Stevan bakal ngomel kalau bekalnya belum di habiskan. Ia mengeluarkan kotak bekal dari tasnya. “Aku nggak kantin deh. Udah bawa bekel.” Novan menunjukkan kotak bekal yang dibawanya. “Itu … porsi double ya?” Tanya Andi sambil menunjuk kotak bekal yang di bawanya. Novan menoleh dan tersentak kaget. Ia baru sadar kalau ada 2 kotak bekal yang di bawanya. Ia geleng- geleng kepala. Ah, memang deh Stevan. “Ternyata di bekalin banyak.” Ia menaruh kotak bekal di meja. “Kamu mau makan bareng nggak?” Tawar Novan. Mata Andi berbinar. Ia mengangguk. “Kalau boleh sih, mau banget!” Ia menarik kursi di depan Novan hingga mereka duduk berhadapan. Novan membuka kotak bekalnya dan geleng- geleng. Ada beberapa potong sandwich daging di sana dengan ukuran yang lumayan besar, juga bihun goreng dengan suwiran ayam yang berlimpah, dengan ekstra telur dadar yang sudah di iris halus dan memanjang, dan beberapa potong nugget lengkap dengan saus di tempat terpisah. Ia membuka satu kotak bekal lagi, yang ternyata isinya hidangan penutup. Beberapa potong apel, pir, dan stroberi ada di sana. “Banyak bener bekalnya. Ini mah kayak yang pernah aku lihat di sosmed itu,” komentar Andi. “Manis banget bekalnya sih. Mama kamu rajin banget ya kayaknya.” Novan tersenyum kecil. “Ya, memang dia rajinnya kadang kebangetan sih.” Novan mengambil sendok dan memberikan garpu pada Andi. “Yuk makan. Terserah mau ambil yang mana, tapi buahnya nanti aja makannya.” Andi mengangguk. Ia mengambil sepotong sandwich dan menggigitnya. “Enak! Enak banget malah daripada yang di jual di minimarket!” Puji Andi. Ia memakan sandwich itu dengan lahap. Novan mengeluarkan smartphone dan diam- diam memotret Andi yang sedang makan untuk di kirim ke Stevan. Dia pasti senang kalau ada yang makan masakannya dengan lahap seperti itu. Novan *sent a photo* Thanks ya bekalnya Nih anak makannya lahap banget, kayak gak makan seminggu Stevan Wkwkwk Temenmu ya? Enak dong kalo makannya lahap gitu. Novan Yoi Makasih ye Sering- sering gak apa. Sumpah. Stevan Aku bekalin lagi (kalo sempat) Nanti kasih juga ke temenmu itu ya.Kirim salam ya buat temenmu. Novan tersenyum kecil. Ia menaruh smartphone di meja. Ia menyendokkan sedikit bihun dan memakannya. Enak. Bihun memang tidak pernah salah. Tapi ini sedikit berbeda dengan biasa yang ia makan di rumah. Agaknya Stevan memakai mie yang berbeda dan lebih tebal, seperti kesukaannya. Ia tersenyum kecil. Ah, Stevan memang begitu dari dulu. Dia yang paling tahu persis apa kesukaan Novan dan selalu membuatnya dalam porsi banyak ketika ia berkunjung. Novan yakin, ini pasti masih ada sisa di rumahnya. Mereka memakan bekal dengan lahap. Andi makan dengan sangat bar- bar. Yah, sepertinya memang seperti itu cara dia makan. Tak butuh waktu lama, bekal itu ludes tak bersisa. Bahkan pencuci mulut pun sudah habis di makan. Mereka selonjoran di kursi sambil memegang perut masing- masing. “Btw thanks ya Van, bekalnya enak,” gumam Andi. “Sering- sering bawa bekal ya.” Novan mengangguk. “Iya iya, nanti aku bawa lebih banyak. Aku bagi ke kamu.” “Serius? Bener nih?” Novan mengangguk. “Alhamdulillah. Rejeki anak sholeh nggak kemana memang!” “Kenyang banget,” gumam Novan. Ia menutup mulutnya dan sendawa. Andi tertawa kecil melihatnya. “Bisa sendawa juga kamu ya,” gumamnya. Novan nyengir. “Yah namanya juga manusia Ndi.” Andi menghela napas sambil memegang perutnya. “Aku sih, belum banget. Masih pengen ngunyah lagi,” ujar Andi. Novan menoleh dan melongo lebar, lalu mengelengkan kepalanya. Memang deh nih anak satu, emang perut karet. “Memang dah kamu Ndi. Entah kapan kenyangnya.” Andi nyengir lebar. Ia duduk tegak di tempatnya. “Oh iya, aku nggak bawa minum. Aku beli minum dulu deh di kantin.” Ia bangkit dari duduknya. “Kamu mau nitip nggak?” “Nggak usah deh.” Bisa kena omel dia kalau botol air yang di bawanya masih bersisa. Andi pergi keluar kelas, tapi tak lama dia kembali lagi dengan tangan kosong. “Loh kenapa kok balik lagi? Ketinggalan uangnya?” Tanya Novan. “Hujan deras di luar.” Andi menunjuk ke jendela. Air hujan menetes dengan derasnya di luar sana. Yah, memang sih dari pagi tadi cuaca sudah mendung. “Oh ini aku ada payung, kayaknya.” Novan merogoh tasnya. Nah, ini dia. Ia mengeluarkan payung protable yang masih di sarung. Ia memberikannya pada Andi. “Nah, kamu pake aja.” “Thanks.” Andi menerima payung itu. Novan membereskan kembali kotak bekalnya dan memasukkan ke dalam tas serut yang di sediakan, lalu menaruhnya kembali ke dalam tas. “Bro, seriously?” Tanya Andi. Novan mengernyitkan alis. “Memangnya kena …” Ia menoleh pada Andi dan terkejut. Payung yang di pegang Andi ternyata bermotif bunga- bunga berenda dan berwarna pink. Tadinya payung itu masih di sarung dengan sarung berwarna hitam. Ia melongo. “Anu … kayaknya … ketuker sama kakak aku …” Andi mangut- mangut. “Oh, gitu.” Novan mengangguk dan nyengir lebar. “Jadi kamu pakek nggak? Kalo nggak biar aku masukin lagi aja deh ke tas.” Novan hendak mengambil payung itu dari tangan Andi. Tapi Andi menariknya lagi. “Halah udahlah, yang penting nggak basah kena hujan aja. Aku pinjam bentar ya Van!” Andi pergi keluar kelas sambil membawa payung itu. “Ah eh … tapi …” Novan bangkit dari duduk, hendak mengejar Andi. Tapi terlambat. Andi sudah pergi jauh. Ia lari di antara kerumunan anak- anak di lorong sambil membawa payung bunga- bunga pink itu. Ia membuka payung itu dan melewati lapangan menuju kantin di sebrang sana. Terdengar beberapa anak menggodanya. “Ya ampun Ndi, bunga- bunga banget payungnya.” “Ndi, itu payungnya kayak payung nenek aku loh.” Andi tidak menggubrisnya. Ia tetap ke kantin dan membeli minum, lalu membayarnya. “Berbunga- bunga kali payung kau itu ya Ndi,” komentar mpok Nah, ibu kantin. Andi menaikkan alisnya. “Berbunga- bunga seperti waktu aku melihat mpok Nah,” goda Andi. Mpok Nah nyengir lebar mendengarnya. “Diskon nggak mpok?” “Heleh kau!” Mpok Nah menjitak Andi dengan kain yang tergantung di bahunya. “Modus!” Andi tertawa kecil. “Yaudahlah. Makasih ya mpok!” Andi mengambil kembalian dan pergi meninggalkan mpok Nah. “Halo jeng Andi. Mau kemana nih? Akikah numpang dong di payungnya jeng Andi.” Andi menoleh dan tersenyum jahil. “Eh jeng. Daripada jeng numpang payung aku, gimana kalo akikah kasih pelukan hangat aja buat jeng?” Andi merentangkan kedua tangannya dan mendekati anak berbadan besar itu. Anak itu mundur teratur dan bergidik. Anak- anak di kantin tertawa melihat adegan itu. “Nggak sehat kau memang Ndi!” Gerutunya. Andi tertawa kecil. “Jadi abang ganteng ini nggak mau di peluk sama akikah?” Goda Andi lagi. Ia semakin mendekat. Anak itu memegang kedua bahunya. “Ih Andi! Pergi gak lu? Gak usah kau deket- deket heh, geli aku!” Andi tertawa kencang. “Makanya jangan kau pancing.” Andi membuka payung dan pergi meninggalkan kantin. Novan yang memperhatikan dari jauh hanya bisa geleng- geleng kepala. Ya gusti. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN