bab 139

4214 Kata
Novia menghentakkan kakinya dan berdecak kesal. Ia mencari Novan dimana- mana, tapi malah tak ketemu. Kata teman sekelasnya, kalau tidak ada di kelas, yah palingan di kantin. Tapi dia sudah mencari di kantin, tapi tidak ketemu juga. Dia malah terjebak di tengah orang- orang yang ingin bertemu dengannya. Untung saja dia berhasil kabur di antara orang- orang ramai. “Loh? Novia?” Novia menoleh. Kirana tampak menghampirinya. “Kamu ngapain di sini?” “Hah? Ini memangnya dimana?” Novia celingak- celinguk. Dia baru sadar kalau dia pergi tak tahu arah. “Ini dekat laboratorium Bahasa. Kelasmu mau ke lab Bahasa?” “Hah? Nggak .. nggak kok. Aku kayaknya nyasar sih..” Novia nyengir. “Oalah. Ayo balik ke kelas, udah mau bel soalnya,” ajak Kirana. “Kalau nyasar di sekolah agak ribet, soalnya agak luas dan banyak lorongnya.” “Iya juga ya …” Gumam Novia. “Kalau sering nyasar mah maklum sih, apalagi kamu masih baru. Yah, asal kamu jangan sampai salah masuk toilet aja ya.” Kirana tertawa kecil. “Hah? Gimana ceritanya salah masuk toilet?” “Ya, soalnya kadang ada yang salah masuk toilet, karena nggak ada papan tandanya. Ada toilet di lantai 2, jarang di pakai. Mereka kira satu toilet cewek, satu lagi toilet cowok. Padahal itu keduanya toilet cowok. Toilet cewek cuma ada di lantai 1.” Novia tertawa mendengarnya. “Masa sih, ada yang salah masuk toilet?” “Sering kok. Apalagi dulu kelas 10 di lantai 2 ya, sebelum pindah ke bawah. Jadi makin sering salah masuk tuh, untung toiletnya sering kosong.” “Tapi kan repot yah kalau gitu. Kalau kebelet harus turun ke bawah dulu, kan susah,” ujar Novia. “Iya memang. Tapi sekarang udah di buat kok toilet cewek di lantai 2, paling ujung juga dekat kelas IPS. Tapi tetap jarang di pakai juga, soalnya nggak ada cermin.” “Toilet cewek tanpa cermin itu emang kurang sih,” ujar Novia. Kirana mangut- mangut setuju. “Eh, ini kita di lantai berapa ya?” “Lantai 3, ini tempatnya anak kelas 12. Kamu kok bisa sih nyasarnya sampai ke sini?” “Ah, eh .. kayaknya aku jalannya setengah sadar sih …” Novia nyengir. Kirana geleng- geleng. “Kayaknya kamu memang butuh bodyguard deh. Tau- tau nanti kamu malah nyasar keluar sekolah,” ujar Kirana. “Dan lumayan kan, buat hadapin tuh fans- fans kamu di sekolah.” Kirana menunjuk ke depan dengan dagunya. “Novia!” Panggil sekumpulan orang. Novia menoleh dan terbelak kaget. Sekumpulan anak- anak menghampirinya. “Itu anak kelas 12,” bisik Kirana. Ia menggengam tangan Novia. “Ayo kita kabur!” Kirana menarik tangan Novia dan mengajaknya lari sekencang mungkin. “Eh Novia, tunggu!” “Kabur Vi! Cepet!” **** Novan dan Andi tiba di kelas saat bel masuk berdering. “Gimana? Aman kan?” Andi menyikut Novan. Andi memperhitungkan waktunya dengan sangat tepat, bahkan memasang alaram lebih cepat dari bel masuk. Novan mengangguk dan mengacungkan jempol. Sejauh ini sih aman. Tidak tampak keberadaan Novia di sekitarnya. “Van, tadi kamu di cariin lagi sama Novia.” Gilang memberitahu. “Itu anak, masih aja nyariin ya,” gumam Andi pelan. Novan mengangguk. “Terus?” Tanya Novan. “Aku bilang kamu ke kantin. Tapi biasanya kamu memang ke kantin kan ya? Ada ketemu nggak?” “Nggak, nggak jumpa.” Novan menghela napas lega. Syukurlah dia pergi keluar dari kantin lebih cepat tadi. Novan kembali ke bangkunya dan melirik Iwan yang menatapnya dengan wajah cemberut. “Kenapa tuh muka di tekuk gitu?” Tanya Novan. Iwan melirik sekilas dan buang muka. “Kenapa tuh anak?” Tanya Andi. Novan menggeleng dan mengedikkan bahunya. “Kamu terus yang di cariin sama Novia! Memangnya sedekat apa sih kamu dulu sama Novia? Nggak ada niat mau kenalin Novia ke aku?!” Iwan akhirnya buka suara. Novan dan Andi saling tukar pandang. “Nggak dekat kok, dianya aja yang sok dekat. Kamu kan udah kenalan sama dia kemarin.” “Bukan kenalan yang begitu! Maksudnya tuh ya, ya dekatin gitu loh aku sama Novia. Kalau gitu mah, semuanya juga kayak gitu!” “Usaha sendiri dong. Masa mau PDKT mengharap sama orang lain,” timpal Andi. “Kan kalau di bantu itu jadi lebih enak. Lebih gampang gitu loh, jalannya lurus sat set aja gitu.” “Ya, tapi gampang juga buat di ghosting,” celetuk Novan. Andi tertawa geli mendengarnya. “Kalau soal ghosting mah, mau di bantu atau enggak juga berpotensi di ghosting.” “Udah tahu begitu, kenapa masih ngarep juga?” “Yah … kali aja kan, bisa dapat cewek idol tuh .. keren tau. Nggak malu- maluin, bisa di banggain dimana- mana!” Andi geleng- geleng kepala mendengarnya. “Dari awal niatnya aja udah nggak bener,” gumam Andi. “Kalau gitu mah, kasian si ceweknya, nggak bisa banggain cowoknya,” bisik Novan di telinga Andi. Mereka menahan tawa geli. “Kenapa kalian kok ketawa?” Tanya Iwan dengan tatapan curiga. Novan dan Andi serentak menggeleng. “Nggak, nggak apa kok. Udah, udah, belajar dulu di pikirin. Tuh bapak udah masuk.” Pak Broto masuk ke kelas. Anak- anak langsung duduk di tempat masing- masing. “Semuanya duduk di tempat masing- masing!” Pak Broto duduk dan membuka buku pelajaran. “Pelajaran akan kita mulai. Buka buku halaman 34, kita lanjutkan bab kemarin.” **** “Kir, hari ini kita ada rapat ya. Biasa, pulang sekolah. Rapatnya buat semua.” Valdi memberitahu. “Kamu ngapain di sini? Kan kelasmu bukan di sini,” tanya Kirana. “Oh? Numpang main kartu bentar. Kelas kita kan nggak ada guru. Eh, kamu udah keluarin kartunya? Apa nih? Oh, love.” Valdi lanjut bermain kartu dengan teman sekelas Kirana. Kirana hanya bisa geleng- geleng melihatnya. Sampai saat ini dia masih tidak mengerti kenapa Valdi bisa terpilih menjadi ketua OSIS. “Ikut main nggak Kir?” “Habis ini dah.” Kirana menarik bangku di sebelah Valdi. Ia menonton teman- temannya yang asyik bermain kartu. Mereka mulai riuh karena ada yang curang. “Oh ya Kir, kamu bisa bujuk si Novan nggak?” Tanya Valdi di sela permainan. “Bujuk buat apa?” “Bujuk biar dia gabung kepanitiaan lagi.” “Nggak tahu ya. Memangnya kenapa dia nggak gabung lagi? Perasaan baik- baik aja dah.” “Sebenarnya...” Valdi menceritakan kejadian tersebut. Kirana hanya mangut- mangut mendengarnya. “Padahal kan aku becanda doang.” “Becandaan kamu nggak lucu sih Val. Aku juga bakalan marah sih kalo jadi dia,” komentar Kirana. “Yah tapi kan aku udah minta maaf ...” “Ya minta maaf lagi.” “Tapi kan aku becanda doang. Kenapa sampai masuk ke hati?” “Nah, berarti kamu yang minta maafnya nggak tulus. Makanya dia nggak mau maafin kamu. Aku sebenarnya udah tahu soal itu, udah coba bujuk juga, tapi dianya keukeh. Mungkin dia mau gabung lagi kalau kamu minta maaf dengan tulus.” “Ya, gimana caranya?” Kirana mengedikkan bahu. “Ya, aku nggak tahu. Mungkin kamu harus sujud sembah ke dia? Atau nangis bombay? Yang penting kan keliatan tulus di mata dia sih. Dan jangan kamu bilang kalau kamu cuma becanda doang. Nggak, nggak boleh gitu.” “Iya, aku bakal temuin dia nanti.” “Temui terus nanti, pulang sekolah. Kali aja anaknya bisa di ajak rapat sekalian.” “Hem. Boleh juga sih itu.” “Eh tapi kok ya, temannya ini kayak kenal aku deh. Pernah lihat dimana gitu ..” Valdi menggaruk dagunya. “Itu, Novia. Member baru girlband Glasses, anak baru di kelas XI MIPA 3.” Valdi melongo. “Hah? Novia yang artis itu?! Beneran Novia yang itu?!” Kirana mengangguk sambil menutup telinganya. “Iya. Yang itu. Biasa ajalah, jangan teriak di telinga orang,” ujar Kirana. “Sori.” Valdi nyengir. “Kok aku nggak tahu ada anak baru?” “Masih baru banget, baru masuk kemarin. Kan kamu kemarin bolos.” “Nggak bolos itu, izin.” Kirana mangut- mangut. “Iya, izin buat bolos kan?” Valdi hendak memotong, tapi di halangi oleh Kirana. “Udahlah, aku udah tahu kok. Kerjasama kan kamu sama abangmu? Untung aja dia mau. Kamu janjiin apaan kok dia mau kerjasama gitu?” Valdi berdecak dan mengeluarkan kartu terakhirnya. “Nggak janjiin apa- apa. Lagi baik aja dianya. Kamu kok tahu aja sih? Padahal yang lain nggak ngeh.” Kirana mendengus geli. “Yaelah, kayak baru kenal kemarin sore aja. Oh ya, btw, kayaknya kamu harus ketemu dengan anak baru itu.” “Kenapa? Karena dia idol?” “Bukan. Cuma ... Kayaknya aku pernah lihat dia.” “Ya pasti pernah, kan dia idol, mungkin pernah lihat di TV atau lewat di timeline sosmed kamu. Kan biasa itu.” “Ih, bukan gitu!” Kirana menggeleng. “Coba kamu lihat aja deh nanti. Kamu pasti familiar juga! Biasanya kan, kenalanku itu kenalanmu juga.” “Hem, nanti dah. Kamu tunjukin aja anaknya yang mana nanti.” **** Kirana dan Valdi duduk di tribun lapangan sambil memperhatikan kerumunan murid yang berebutan pulang. Kirana mendongakkan kepalanya, mencari seseorang di tengah kerumunan. “Nah. Itu dia!” Kirana menunjuk ke suatu arah. Valdi menoleh ke arah yang di tunjuk. “Mana? Nggak kelihatan. Rame gitu.” Valdi mendongak, mencoba mencari sosok yang di tunjuk Kirana. “Ih, itu loh. Tuh, kamu lihat, yang di tengah kerumunan, yang cantik bersinar sendiri di sana itu.” “Man... Oh, yang itu?” Valdi menunjuk Novia yang terhimpit di tengah kerumunan. “Iya sih, cantik. Beda sendiri kelihatannya. Tapi, emang agak familiar sih.” Kirana mendengus. “Kan, udah aku bilang. Memang familiar.” “Emangnya kenalan kita ada yang idol ya? Baru tau aku. Apa mirip doang?” Kirana berdecak. “Nggak, nggak mirip. Itu memang mirip. Dia itu..” Kirana membisikkan sesuatu di telinga Valdi. Valdi terpenjat kaget. Ia melongo lebar. Kirana hanya mengangguk dan menyinggungkan senyum tipis. “Hah? Sumpah itu dia?” Lagi, Kirana mengangguk. Valdi berdecak. “Wah, dunia emang kocak ya.” Kirana mengangkat alisnya. “Kocak dan sempit. Tinggal tunggu waktu aja sampai dia kenalin kita. Kamu mau sapa nggak?” “Hah? Oh, boleh juga. Dia harus tahu dong, siapa ketua OSIS di sini.” Valdi membusungkan dadanya. “Hidih. Pede lu. Yaudah, ayo sapa dia.” **** “Hai Novia!” Sapa Kirana ramah. Novia menoleh dan menyinggungkan senyum kecil. Ia menghampiri Kirana dan Valdi. “Hai, Kirana!” Sapa Novia balik. Ia melirik Valdi di sebelah Kirana. “Ini siapa?” “Oh, kenalin. Ini Valdi. Temanku. Dia juga ketos di sini.” Valdi menyinggungkan senyum dan melambaikan tangan. “Hai, aku Valdi.” Ia mengulurkan jabatan tangan. Novia membalasnya. “Halo! Aku Novia. Salam kenal ya.” “Ya, salam kenal juga.” “Eh, kalian mau pulang kan? Pulang samaku aja yuk. Tuh supir aku udah tunggu di depan,” ajak Novia. Ia merangkul lengan Kirana. “Eh, sori nih Nov. Tapi kami masih ada rapat panitia, belum bisa pulang,” tolak Kirana halus. “Yah. Masa dari kemarin rapat mulu? Gimana sih ini ketuanya! Rapat tuh harusnya sekali. Tuh, petinggi rapat sekali juga udah kelar!” Novia menunjuk Valdi. “Bukan begitu. Kami rapat ini untuk event besar sekolah, bakal di adain kurang lebih 2 bulan lagi. Makanya kami sibuk untuk persiapan.” Valdi menjelaskan. “Yah, kok gitu ... Ya udah deh, bye bye Kirana!” Novia memeluk Kirana. “Bye juga Valdi! Aku duluan ya! Semangat rapatnya!” Novia melambaikan tangan dan pergi meninggalkan mereka. Kirana dan Valdi membalas lambaian tangannya sampai Novia masuk ke dalam mobil. “Udah deket aja kalian ya.” Valdi menyikut Kirana. Kirana berdecak. “Sekarang aja dekatnya. Nggak tahu kalau nanti, kalau udah sadar. Udah, udah, ayo kita ke ruang rapat! Ketua nggak boleh telat. Ayo, ayo!” Kirana mendorong Valdi. “Anu, kita ke kelas si Novan dulu ya. Bujuk dia.” “Iya. Iya. Kamu juga jangan lupa minta maaf ya.” ***** Novan dan Andi sedang berjalan ke pintu gerbang, tapi keburu di cegat oleh Kirana dan Valdi dari arah berlawanan. “Kalian jangan pulang dulu ya. Kita ada rapat,” ujar Valdi memberitahu. “Kalian? Kalian apanya. Andi doang, aku bukan panitia lagi,” balas Novan. “Udah ya. Duluan.” Novan lanjut jalan. Valdi mencegatnya. “Aku minta maaf. Perlu aku sembah sujud biar kau maafin?” Novan menepis pegangan Valdi. “Nggak usah becan...” Novan balik badan dan terkaget melihat Valdi yang duduk bersimpuh di lantai. “Heh. Heh, kamu ngapain ...” “Novan, maafin aku! Aku ngaku salah! Salah sebesar- besarnya. Maafin aku! Aku minta maaf! Maaf!” Valdi hendak sujud, tapi langsung di cegat oleh Novan. “Heh, heh. Kamu ngapain? Bangun heh. Malu nanti di lihat orang!” Novan celingak celinguk memperhatikan sekitar. “Aku nggak akan bangun kalau kamu nggak maafin aku! Aku bakalan sujud terus!” “Eh. Jangan! Yaudah, yaudah, berdiri dulu! Udah lupain aja, berdiri dulu!” Pinta Novan. Ia membantu Valdi berdiri. “Berarti kamu maafin aku kan?” Tanya Valdi dengan mata berbinar. Novan menghela napas dan mengangguk. “Tapi bukan berarti aku ...” “Yeay! Akhirnya! Yaudah, ayo kita ke ruang rapat sekarang! Ayo ayo!” Valdi merangkul Novan dan Andi. “Kamu juga Ndi. Ayo Kir! Kita rapat!” “Iya, iya.” Kirana menyusul mereka di belakang. Novan hendak menepis rangkulan Valdi, tapi ia merangkulnya dengan erat. “Bukan ini yang aku maksud ...” “Ayo rapat! Kita rapat!” Valdi bersenandung ria. Andi mengedikkan bahunya saat di lirik oleh Novan. “Yah, terserahlah.” **** “Permisi semuanya!” Valdi membuka pintu ruang rapat dengan kakinya. “Ayo ajudan- ajudanku sekalian, kita rapat!” Tidak ada yang membalas. Semua menatap mereka dengan tatapan tajam. Valdi nyengir lebar di lihat seperti itu. “Kamu kenapa lama sekali hah?!” “Ketua macam apa ini datangnya telat! Pecat aja jadi ketua!” “Suruh orang lain cepat datang, padahal dia sendiri telat. Dasar!” Berbagai macam protes keluar dari mulut mereka. Valdi nyengir semakin lebar. “Maaf dah, maaf. Maaf semuanya.” Valdi menundukkan kepalanya, lalu berdehem. “Ayo, ayo, biar nggak buang- buang waktu, kita mulai aja rapatnya.” “Eh, tunggu dulu, kan aku nggak bilang kalau aku gabung,” bisik Novan. Ia menepis rangkulan Valdi. “Udah, udah, duduk aja dulu. Nanggung, kamu udah sampai sini.” Valdi kembali merangkul Novan dan mendudukkannya di sebelah anak laki- laki yang tidak ia kenal. “Ayo teman- teman, kita mulai rapat kali ini.” Novan hendak bangkit, tapi badannya di tahan oleh Andi. Ia menarik kursi di sebelah Novan dan duduk di sana. Valdi kembali berdehem. “Oke. Mari kita mulai rapat hari ini …” **** Novan menekuk wajahnya sedari tadi. Rapat baru saja selesai. Beberapa anak sudah meninggalkan ruang rapat. Novan mendatangi Valdi yang sedang membereskan dokumen rapat. “Oh, hai Van. Kenapa tuh muka kok di tekuk banget?” Tanya Valdi sambil menunjuk wajah Novan. “Ya, kamu pikir karena siapa?!” Bentak Novan. “Kan udah aku bilang, aku nggak gabung kepanitiaan lagi! Kenapa aku malah jadi masuk ke bagian sponsor juga?! Kok jadi double gini kerjaanku?!” Omel Novan. “Owh, chill man. Chill. Bukan gitu, maksudnya. Maksudku, kamu tuh bantu juga anak sponsor, sedikit aja. Kan kalian tuh saling berhubungan kan ya. Apalagi dari list sponsor tadi, katanya ada satu yang kamu kenal kan orang dalamnya, jadi sekalian aja, biar lebih gampang,” jelas Valdi. Novan berdecak kesal. Duh, seharusnya dia tidak keceplosan saat ia melihat ada nama perusahaan tempat Stevan bekerja di sana. Sebenarnya ada juga sih perusahaan tempat papa bekerja, tapi dia tidak bilang. “Bantuin, mau kan?” Valdi menatapnya dengan tatapan penuh binary. Novan berdecak kesal. “Nggak tahu dah, lihat nanti!” Jawab Novan akhirnya. “Thanks ya. Kamu emang paling bisa di andelin.” Valdi menepuk pundak Novan. “Udah, udah, yuk kita pulang gais.” Valdi menggendong tasnya dan pergi keluar ruangan. “Ayo Van, kita pulang,” ajak Andi. Novan berdecak kesal dan menggendong tasnya. “Iya, iya, bentar.” Novan menyusul Andi keluar dari ruangan. Andi menunggunya di depan pintu, bersiap untuk mengunci pintu. Seperti biasa, Andi yang memegang kunci ruang rapat. “Kamu di jemput atau pulang sendiri? Kalau pulang sendiri mending bareng aja, jam segini takutnya nggak ada lagi angkot.” Andi menawarkan. “Bentar, aku coba pastikan dulu. Nanti malah udah di jemput pula.” Novan mengeluarkan smartphone dan menelpon Stevan. Terdengar nada tersambung beberapa saat, lalu .. “Hallo, Novan? Kenapa?” Tanya Stevan di ujung sana. “Hallo, Van. Kamu dimana?” Tanya Novan. “Baru pulang ngantor nih. Kenapa? Kamu dimana?” Tanya Stevan. “Oh, nggak apa. Ya udah, aku pulang dulu ya. Aku pulang sama temenku.” Novan menutup telpon. “Gimana?” Tanya Andi. “Nggak di jemputnya. Pulang sama kamu aja dah,” jawab Novan. “Oke. Nih, ambil helm.” Andi memberikan helm cadangan pada Novan. Novan memakai helmnya dan duduk di boncengan. “Yak, kita jalan ya.” ***** Sepertinya ini akan jadi yang pertama dan terakhir kalinya Novan boncengan dengan Andi. Kapok. Andi tidak kenal takut. Ia melaju dengan sangat kencang dan dengan mudah menyalip di antara kendaraan yang lalu lalang. “Nah, kita udah sampai. Di sini bukan rumahmu?” Andi memberhentikan motor di depang lorong. “Oh, ternyata memang dekat dengan rumah Gilang. Kalau rumah Gilang sih, lewat lorong satu lagi.” Andi menunjuk ke lorong di sebelah kiri minimarket. Novan turun dari motor. Kakinya seperti mati rasa. Ia masih merasa gemetar hebat sedaritadi. “Kenapa Van? Kok pucat?” Tanya Andi. Novan menijtak kepala Andi. Ia meringis kesakitan. “Apaan sih, kok di jitak.” “Ya kamu! Bawa motor kayak lagi ngeprank malaikat! Kurang kencang bawanya!” Novan terengah- engah. “Ya ampun, untung aja belum di cabut nyawaku. Ya ampun …” “Halah, lebay aja kamu. Nggak sekencang itu kok aku bawanya,” timpal Andi. Novan mendengus kesal. “Kepalamu nggak sekencang itu! Itu kencang b**o! Bisa nggak, sedikiit aja lebih pelan? Yang normal dikit gitu loh bawanya,” pinta Novan. “Itu normal kok.” “Terserah deh. Bisa- bisanya segitu kencang di bilang normal. Nggak bener nih anak.” Novan melepas helm. “Nah, nih.” Novan memberikan helm pada Andi. “Thanks, tapi tolong lain kali normal dikit bawanya.” “Udah di bilangin itu normal,” keukeh Andi. “Normal buatmu, nggak buat orang lain. Udahlah. Aku masuk dulu. Makasih ya.” “Sori nggak antar sampai depan rumah,” “Iya, nggak apa. Nggak usah juga.” Novan melambaikan tangan. “Bye. Thank you ya.” “Ya, sama- sama.” Novan lanjut jalan kaki sampai ke rumah. Sesampainya di rumah, ia membuka pintu pagar. Saat itulah, smartphone nya berdering nyaring. Novan mengeluarkannya, ia mengangkatnya tanpa melihat nama penelpon. “Hallo …” “Hallo Van. Kamu dimana?” “Aku? Aku di rumah, kenapa?” Terdengar suara decakan dari ujung sana. “Emangnya kenapa Stevan?” “Yaelah. Aku kirain kamu tadi masih di sekolah, minta jemput. Jadi aku ke sekolah ini, eh sekolahmu malah kosong.” “Lah, kan aku udah bilang kalau aku di pulang sama temenku. Kenapa malah kamu jemput?” “Yah, nggak denger. Ya udahlah, untung jarak sekolahmu deket. Aku balik dulu.” “Iya, ya udah. Hati- hati.” Novan mengantongi kembali smartphone. Ia membuka sepatunya dan menentengnya masuk ke dalam rumah. “Abang pulang …” Salam Novan sambil membuka pintu. Ia tersentak kaget saat melihat ayahnya sudah berdiri tegak di dekat pintu sambil melipat tangannya di d**a. “Papa nggak kerja?” “Nggak, papa off hari ini.” Papa menatap Novan dengan tatapan penuh selidik. Novan menelan ludah. “Ada yang mau papa tanyakan ke kamu.” Waduh kan, mampus dah. Ini bakalan di tanya apa … gerutu Novan dalam hati. “Mau nanya apa pa? Sebentar pa, abang taruh sepatu dulu.” Novan sengaja mengulur waktu. “Jangan lama- lama. Nggak perlu itu terlalu di masukin segala. Taruh asal aja kayak biasa, udah!” Bentak papa. “Siap pa!” Novan menaruh sepatunya sembarangan ke dalam laci dan menutupnya. “Anu .. papa mau nanya apa?” Papa menghela napas panjang. “Tadi pagi, kamu sendiri yang jaga Mikel?” Novan mengangguk. Papa menatap Novan lamat- lamat. “Benar?” “Benar pa.” Novan kembali mengangguk. “Baik. Tapi kenapa … Mikel bilang kalau ada om Novan yang temani dia? Siapa om Novan?” Novan menelan ludah. Ia tidak menyangka papa menanyakan hal itu. Duh, dia harus jawab apa? “Mungkin .. mungkin Mikel salah bilang kali pa. Maksudnya mau bilang bang Novan, bukan om Novan! Kan namanya mirip!” Jawab Novan gelagapan. Papa menatapnya dengan tatapan tajam. “Benar begitu?” Tanya papa memastikan. Novan mengangguk yakin. “Hem, ya sudah. Baguslah. Jangan sampai kamu berhubungan dengan orang itu.” Papa membuang muka dan berdecak kesal. “ Ck, kenapa dia malah ada di sini. Harusnya kita nggak satu kota lagi dengannya.” “Anu pa … abang naik ke kamar ya?” Pinta Novan. Papa hanya mengangguk dan pergi meninggalkan Novan yang dengan cepat ngacir ke kamarnya. **** Novan mengganti seragam sekolah dengan baju rumah dan langsung menelpon Stevan. Ini gawat. Stevan harus tahu kalau papa sadar dia kemari. Mereka tidak boleh bertemu, atau nanti akan terjadi perang dunia. “Hallo? Tumben kamu nelpon aku duluan. Ada apa?” Tanya Stevan di ujung sana. “Van, gawat! Kayaknya papa tahu kalau kamu kemari,” jawab Novan panik. “Hah? Apa? Abang tahu? Tunggu, tunggu, abang kok bisa tahu? Aku yakin kalau aman, nggak sembunyi lagi.” “Makanya, dengar dulu. Tadi waktu aku pulang, aku langsung di introgasi sama papa. Papa nanya soal siapa itu om Novan, katanya Mikel ada sebut nama- nama om Novan.” “Hah? Siapa om Novan?” Tanya Stevan bingung. “Nah, aku awalnya juga agak bingung kan siapa om Novan itu. Rupanya Mikel salah sebut nama, dia kira nama kita sama. Jadi dia bilang kamu om Novan.” Terdengar suara tawa geli di ujung sana. “Ah, sori. Lanjut.” “Nah, terus papa nanya jadinya siapa om Novan, apa benar aku sendiri tadi pagi yang jagain Mikel. Aku jawab aja iya, kalau aku yang jaga sendiri. Aku bilang mungkin Mikel typo, jadi kesebut aku om Novan gitu. Ada untungnya juga sih kalau nama kita sama.” “Padahal namanya kan sama karena itu ide abang,” ujar Stevan. “Terus? Gimana?” “Terus papa larang aku buat tahu soal kamu, ketemu kamu.Papa kesal karena malah jadi satu kota samamu.” “Wait, tunggu. Darimana dia tahu kalau aku tinggal di kota yang sama? Padahal kami udah lost kontak lama, kok bisa dia tau?” Novan mengedikkan bahunya. “Entahlah. Nggak tahu. Kalian emangnya udah berapa lama lost kontak?” “Aku udah nggak kontakan lagi sejak aku masuk SMA. Kan aku SMA di luar kota, nggak di kota lama kalian. Aku nggak bilang dia aku ada dimana, dan aku baru pindah kemari saat kuliah dan kerja.” “Hem, mungkin … entahlah … mungkin dia masih cari kabar tentangmu kali ya …” komentar Novan. Stevan mendengus. “Ah, nggak mungkin. Nggak, abang nggak kayak gitu.” “Yah, siapa tahu? Kan gimana pun, dia tetap abangmu. Dia pasti ada kok rasa khawatir sama adiknya, walau sedikit. Gengsi aja buat di nampakin.” “Entahlah. Tapi aku nggak yakin sih. Yaelah tuh orang, malah sok- sokan gengsi. Bilang sama papamu, makan tuh gengsi sampai mati. Kebiasaan banget dari dulu dah, apa- apa bawa gengsi. Makan tuh gengsi,” omel Stevan. “Jangan bilang samaku dong. Bilang sama papa!” Stevan mendengus. “Nggak! Kamu aja yang sampaikan! Jangan harap aku mau ngomong sama dia!” “Yaelah, sama aja mah kalian berdua. Dasar, abang adik gengsian,” celetuk Novan. “Tapi, emangnya nama kita sama itu karena itu ya? Karena papa nyontek dari namamu?” “Iya, kata kakak gitu. Abang bilang, namaku keren. Jadi abang mau buat nama yang hampir mirip kalau anaknya cowok. Eh, beneran kan yang lahir cowok. Karena nama kita yang mirip, orang- orang pada ngira kalau kamu itu adikku. Hadeh. Padahal kan bukan ya, kita aja nggak mirip …” Novan tertawa kecil mendengarnya. Ia teringat waktu kecil, sering mengikuti Stevan main keluar, tapi Stevan melarangnya dan selalu menyuruh untuk pulang. Teman- teman Stevan yang melihat ia memarahi Novan sontak bilang, “Jangan begitu ke adikmu. Udah, biarin aja kalau dia mau ikut.” Tapi begitu Stevan bilang kalau aku bukan adiknya, melainkan keponakannya, semua langsung mengejek Stevan dengan panggilan “om Stevan”. “Kamu kenapa ketawa hah?” “Nggak, nggak apa kok, om Stevan …” Novan kembali tertawa. “Heh! Jangan panggil aku om!” Omel Stevan. “Panggil aku bang! Enak aja, kita nggak beda jauh ya umurnya!” “Iya iya, om Stevan.” Novan kembali tergelak. Ia yakin Stevan sudah mencak- mencak di sana. “JANGAN OM!” Klik. Stevan mematikan telpon, meninggalkan Novan yang masih tergelak. Novan yakin, Stevan saat ini sedang mengomel sendiri di apartemennya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN