Bab 138

3007 Kata
Novan tersentak bangun dan melirik jam dinding di kamar Mikel. Ia terbelak kaget. Hilang sudah rasa kantuknya. “Oh, s**t! s**l, s**l!” Novan segera bangkit dari kasur. Ia mengguncang pelan badan Mikel. “Kel, bangun. Udah pagi, bangun!” “Ngghh …” Ngigau Mikel. Novan berdecak kesal. Duh, tidak akan sempat kalau begini. Akhirnya ia menggendong Mikel keluar kamar. Ia menidurkan Mikel di sofa. Ia pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan dengan cepat, lalu membawanya ke ruang tengah. “Hei, Mikel! Sarapan dulu! Ayo bangun, nanti abang telat ke sekolah!” Novan kembali mengguncangkan badan Mikel pelan. Mikel bangun dengan mata setengah terpejam. Novan berdecak kesal. “Haduuh, ayo kita cuci muka dulu!” Novan menggendong Mikel dan membawanya ke kamar mandi. Ia mencuci muka Mikel dan memaksanya untuk sikat gigi. Mikel terlihat lebih segar setelah mencuci muka. “Nah, nah, sarapan dulu kita. Ini udah abang buat sereal.” Novan mendudukkan Mikel di kursinya dan menaruh semangkuk sereal di sana. Mikel memakannya sambil menonton film kartun. “Haduh, jangan lama- lama makannya Mikel. Duh, suapnya yang bener dong.” Novan kelimpungan. Akhirnya ia menyuapi Mikel karena gemas. “Udah ya, sisanya kamu makan sendiri bisa kan? Abang mau ganti baju dulu.” Mikel hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari film kartun. Novan melesat ke kamarnya dan mengganti bajunya dengan seragam. Ia menyalakan smartphone dan saat itulah dering telpon terdengar nyaring. Stevan menelponnya. “Ya, hallo …” “Heh! Kamu kemana aja hah? Dari semalam aku chat nggak balas, di telpon juga nggak bisa,” protes Stevan di ujung sana. “Kamu udah siap? Biar aku jemput, aku udah di jalan.” “Duh, ck. Aku udah siap, tapi …” “Tapi apa?” Novan berdecak. “Hem, kamu bisa ke rumah bentar nggak? Bentar aja. Aku nanti share location deh. Rumahku yang pagarnya warna putih, cat biru. Kalau dari g**g itu lurus aja, muat mobil kok.” “Hah? Ya, oke oke.” “Nanti kalau udah dekat, kamu telpon aja ya. Biar aku keluar.” “Oke. Kirim lokasinya aja.” **** “Jadi … ini siapa?” Tanya Stevan sambil menunjuk Mikel yang di gendong Novan. Mikel memeluk Novan erat, merasa terintimidasi dengan kehadiran Stevan. “Ini adikku,” jawab Novan. “Oh, yang pernah kamu ceritain ya? Halo.” Stevan menyinggungkan senyum kecil, yang ternyata malah membuat Mikel menangis kencang dan mempererat pelukannya. “Eh, eh, kok malah nangis kejer …” Stevan kelimpungan. “Nggak, nggak apa kok. Jangan takut. Itu om kamu,” bujuk Novan. “Om?” Tanya Mikel di tengah sesengukan. “Iya, halo. Aku om Stevan. Yuk, kita kenalan dulu yuk.” Stevan mengulurkan jabatan tangan. Mikel hanya menatapnya dan kembali memeluk Novan. “Belum terbiasa, nanti juga udah biasa,” ujar Novan. “Jadi, ada apa kok kamu tumben suruh ke rumah?” Stevan melongok ke dalam. “Kok sepi amat? Pada kemana orang rumah?” “Pergi, jenguk adeknya ibu dari semalam. Kami tinggal berdua doang di rumah.” Stevan mangut- mangut. “Lah, terus kamu nanti pergi sekolahnya gimana? Kan nggak mungkin di tinggalin gitu aja. Titip ke tetangga?” “Nggak, nanti ada datang kok ART. Mereka juga katanya mau pulang pagi sih, cuma sampai sekarang belum pulang.” “ART kamu datangnya jam berapa?” “Jam 9 sih katanya.” “Lah, masih lama dong. Keburu telat kamu ke sekolah. Terus sekarang gimana dong?” “Nggak apa, mereka lagi jalan pulang katanya, sebentar lagi. Jadi sekarang, aku minta tolong kamu, bantuin aku ya? Aku kewalahan urusnya, bantuin ya?” Pinta Novan. Stevan melirik Mikel sekilas. “Oh, bocah doang mah, gampang itu.” ***** “Gampang ya …” Ejek Novan. Stevan berdecak kesal. Saat ini, baju Stevan dan Novan sudah basah. Niatnya mau memandikan Mikel, malah mereka yang ikutan basah. Mikel mandi sambil main air, sangat susah memandikannya. Belum lagi saat mengeringkannya dengan handuk. Baru saja keluar dari kamar mandi, dia sudah berlari kencang mengelilingi rumah dengan badan t*******g basah kuyup. Terpaksa mereka mengejarnya. Belum lagi saat pakai baju, masih saja drama lari- larian itu terjadi. Untung saja Stevan dengan sigapnya menangkap Mikel. “Gampang loh dulu! Aku kan sering bantu ngurusin kamu waktu kecil!” Bantah Stevan. Novan mangut- mangut. “Ya tapi, di bantu sama kakak sih, aku bagian liatin aja.” “Yaelah, sama aja. Aku juga bisa kalau gitu!” Novan mendnegus. “Tapi ini anak bener- bener ya, kayak nggak ada habis tenaganya.” Stevan melirik Mikel yang sudah wangi dan rapi sedang loncat- loncat di kasur. “Namanya juga anak kecil, kalau diem mah udah tanda- tanda nggak beres,” tukas Novan. “Hei, hati- hati Mikel. Nanti jatuh …” GUBRAK! Baru saja Novan mengingatkan, Mikel sudah terjatuh duluan dengan kepala yang menyentuh lantai terlebih dulu. Novan dan Stevan berteriak panik dan menghampiri Mikel. “Ya ampun nak, kamu nggak apa?” Stevan menggendong Mikel dan mendudukkannya di kasur. “Benjol nggak? Berdarah nggak? Ya ampun, kan udah di ingatin tadi …” Novan mengelus kepala Mikel, memeriksa apakah ada luka atau tidak. Mikel melongo, terdiam sesaat. Matanya berkaca- kaca dan menangis kencang. “Huwa … SAKIITT!” Mikel memegang kepalanya. “Mana yang sakit? Mana yang sakit?” Tanya Novan panik. Mikel tidak menjawab, malah tangisnya semakin kencang. “Duh, lantainya ini bandel! Bandel! Udah udah, udah om marahin lantainya! Nggak apa, udah nggak apa,” bujuk Stevan sambil memukul lantai. “Nggak guna hei, nggak ada salah lantainya itu. Cuma diam doang dia di sana! Ini masih nangis dianya! Cup cup, udah ya.” Novan menggendong Mikel dan mengelus- elus kepalanya pelan. “Sakitnya hilang. Sakitnya hilang!” Novan menghembus puncak kepala Mikel dengan lembut. “Udah, udah hilang sakitnya kan?” Novan mengelus pelan puncak kepala Mikel. Mikel menatap Novan dengan mata yang sembab, lalu mengangguk pelan. “Nah, udah kan. Udah yuk, kita nonton kartun aja dulu yuk.” Novan menggendong Mikel keluar dari kamar. Stevan mengikuti dari belakang. Ia mendudukkan Mikel di sofa dan menyalakan kartun kesukaannya. “Untung udah berhenti nangisnya ya,” gumam Stevan. “Jadi kapan orangtuamu balik? Ini udah jam segini, udah hamper telat loh kamu.” “Hem, bentar.” Novan mengeluarkan smartphone dari kantung celananya. Ia terpenjat kaget. “Hah, mereka udah di jalan, udah mau sampai! Van, Van, gawat!” “Hah? Mereka udah mau sampai? Oke oke, aku balik duluan ke mobil. Kamu ganti dulu seragamnya, jangan pakai yang basah itu! Cepet ya!” Stevan buru- buru pergi keluar. Novan mengacungkan jempolnya. Ia segera naik ke atas dan mengganti seragamnya dengan cepat, lalu turun ke bawah. Terdengar suara klakson mobil dari luar. Novan buru- buru keluar dan tampak mobil papa sudah tiba. Novan membuka pagar dan mobil masuk ke dalam garasi. “Gimana kalian? Aman kan? Maaf ya, kami telat balik. Tadi nunggu dokternya datang dulu,” Tanya ibu begitu keluar dari mobil. Novan mengangguk dan mengacungkan jempol. “Aman. Beres semua. Mikel udah makan, udah mandi juga.” “Baguslah. Makasih ya bang.” “Kamu ngapain masih di sini? Udah, berangkat sekolah terus sana. Nanti kamu telat,” perintah papa. Novan mengangguk. Ia kembali ke dalam untuk mengambil tas dan memakai sepatunya dengan cepat. “Abang pergi dulu ya!” Novan melambaikan tangan dan berlari kencang meninggalkan rumah. Papa dan ibu membalas lambaian tangannya dan masuk ke rumah. “Halo anak mama sayang …” Sapa ibu ramah. Ia mencium pipi Mikel. “Hem, udah wangi anak mama.” Mikel menyinggungkan senyum kecil. “Iya dong. Tadi abang yang mandiin aku, sama om!” Ibu mengernyitkan alis. “Om? Om siapa?” “Ada om tadi! Om … om .. om Novan!” Papa dan ibu saling tukar pandang, lalu tertawa kecil. Gantian Mikel yang mengernyitkan alis, bingung kenapa orangtuanya tertawa. “Mikel, Novan itu nama abang. Masa abang kamu bilang om sih.” “Namanya memang Novan ma! Sama kayak abang! Omnya juga kayak abang!” Ibu mangut- mangut. “Iya iya. Yuk, sekarang kita masuk kamar dulu ya.” **** “Nih.” Novan mengeluarkan kemeja dari tasnya. “Nanti ganti aja bajumu pakai ini. Nggak mungkin kan kamu basah- basahan ke kantor.” “Wah, thanks!” Stevan menerimanya. “Kamu ganti aja terus tuh, di minimarket itu. Nanti keburu masuk angin,” perintah Novan. “Oke deh, bentar.” Stevan keluar dari mobil sambil menenteng kemeja. Novan menunggu Stevan sambil lanjut menonton anime di smartphone. Sebuah chat masuk menyita perhatiannya, chat dari Andi. Andi Kamu dimana Van? Sekolah nggak? Novan Andriansyah Sekolah. Lagi otw. Kenapa? Andi Jangan lama. Kamu kebagian piket hari ini. Novan Andriansyah Lah? Iyakah? Oke, otw. Stevan kembali tak lama kemudian dengan kemeja yang lain. Kemejanya yang basah ia masukkan ke dalam plastik. “Ayo cepat, katanya aku hari ini piket.” Novan mengencangkan kembali sabuk pengamannya. “Loh? Kenapa baru bilang?” “Aku juga baru tahu. Udah yuk buru.” “Bentar, bentar.” Stevan mengencangkan sabuk pengamannya. Mobil perlahan maju meninggalkan lorong rumah Novan. ***** Sepertinya harapan Novan untuk sampai di sekolah lebih cepat pupus sudah. Saat ini mereka terjebak macet yang panjang. Tentu saja, jam kerja seperti ini sudah pasti jalanan padat merayap. “Nggak bisa ini sampai cepat. Udah, bilang aja sama temanmu itu, nanti kamu piketnya. Hapus papan tulis,” ujar Stevan. “Hem, ya udahlah, mau gimana lagi. Oh ya, kamu tadi ada papasan sama papa nggak? Soalnya tadi papa sampainya nggak lama setelah kamu keluar.” “Ada, nggak papasan sih. Aku sembunyi waktu papamu datang, terus buru- buru balik ke mobil. Kayaknya sih dia nggak lihat aku,” jawab Stevan. “Udah lama nggak lihat, ternyata dia udah banyak berubah ya. Hem, kelihatan banget sih berumurnya.” “Memang, papa kan udah tua.” “Tapi nggak setua itu. Dia … kelihatan lebih tua dari umurnya …” Stevan melirik keluar kaca mobil. “Padahal dulu dia tidak begitu.” “Papa yang sekarang dan dulu menurutku sama saja,” timpal Novan. Stevan mengeleng. “Nggak. Beda. Kamu sepertinya tidak kenal papamu, tapi dia yang dulu orang baik, meski keras. Sekarang, entahlah … bagaimana dia di rumah?” “Seperti biasa.” Novan melirik Stevan yang di balas mangut- mangut olehnya. “Aku nggak tahu harus buat apa, saat ini cuma bisa bilang sabar saja dulu. Kalau ada apa- apa, kamu ke tempatku saja. Sabar, sampai waktunya aku jemput.” Novan mengangguk. Ia menatap kosong keluar mobil, terpaku pada sosok ayah yang sedang mengantar anaknya pergi sekolah dengan motor. Melihat anaknya berpelukan erat pada ayahnya, ia jadi sedikit iri. Kapan ya, terakhir kalinya dia pergi sekolah dengan papa? Kapan juga terakhir kalinya ia bisa santai bicara dengan beliau? Novan rindu masa- masa yang tak mungkin terulang itu. Semua sudah berubah, ia hanya harus kuat menjalaninya saja. ***** Kirana turun dari angkot yang berhenti di halte dekat sekolah. Ia jalan ke sekolah dengan beberapa anak lain, sampai sebuah mobil menyalakan klakson dan berhenti di sampingnya. Kaca mobil sedikit turun dan tampaklah Novia dari dalam sana. “Hei!” Sapa Novia ramah. “Kamu anak yang kemarin kan? Kirana bukan?” “Oh, kamu si idol itu! Novia bukan?” Tanya Kirana balik. “Eh, bareng yuk, daripada jalan.” Novia menawarkan. “Ah, nggak usah. Deket kok. Jalan dikit juga sampai,” tolak Kirana. “Kita jumpa di pintu gerbang aja.” “Oh, oke. Aku tunggu kamu di pintu gerbang ya.” Kirana mengacungkan jempolnya. Mobil Novia kembali melaju, meninggalkan Kirana di belakang dan berhenti di depan gerbang. Novia keluar dan melambaikan tangan pada Kirana, yang di balas oleh yang lainnya. “Pagi Novia!” Sapa mereka serentak. Tampak beberapa anak mengerumuni Novia. “Kak, bagi skincare routine dong kak, sehat banget kulit kakak.” “Kak, kapan Glasses manggung lagi?” “Kalau Glasses manggung, kakak bakal ikutan kan? Berarti kakak balik lagi dong ke kota lama?” “Kak, bagi tips cantiknya dong. Cantik banget sih, kakak pakai make up apa?” “Ah, eh … anu … satu- satu tanyanya …” Novia kelimpungan karena menerima banyak pertanyaan beruntun. “Kak, boleh minta tanda tangannya nggak?” “Kak, foto boleh nggak?” “Hah eh … bentar, satu- satu …duh … eh, eh …” Badan Novia sedikit limbung karena di tarik oleh seseorang. Ia menoleh pada sosok yang menariknya. “Ayo kita kabur,” bisik Kirana, lalu membawanya kabur lebih jauh. Mereka berhenti lari di depan ruang guru. Nafasnya terengah- engah. “Maaf ya, aku tarik kamu gitu aja. Sakit nggak?” Tanya Kirana sambil memeriksa tangan Novia. Bisa kena tuntut dia kalau sampai buat lecet tangan idol. “Nggak, nggak apa kok.” Novia menggeleng dan menepis tangannya. “Makasih ya. Aku tadi kelimpungan karena di kerumuni begitu, untung kamu ajak kabur.” “Ah, iya, sama- sama. Bahkan kamu pun juga kebingungan ya kalau di kerumuni begitu. Kukira artis bakalan biasa aja.” Novia tertawa geli. “Yah, kan artis manusia juga. Aku nggak suka sih kalau di kerumuni, apalagi sama wartawan yang banyak tanya. Biasanya sih kalau begitu ada bodyguard ya, tapi kalau di sekolah mah mana ada.” Kirana terpenjat kagum. “Waw, sampai ada bodyguard ya.” “Ya, biasalah. Memang kalau lagi manggung selalu ada yang jagain, tapi kalau kegiatan biasa nggak kok. Aku sempat di tawarin bawa bodyguard ke sekolah, tapi aku tolak. Kan risih ya, kalau di ikuti terus.” Kirana mangut- mangut. “Iya sih, benar juga. Tapi lain kali kalau di kerumuni begitu, kamu kabur aja kalo emang nggak nyaman.” “Iya, aku coba deh nanti.” Novia melirik Kirana. Ia memperhatikan Kirana lebih dalam. Hem, seperti familiar. Kalau di lihat, Kirana tidak terlalu buruk. Kulitnya yang kuning langsat nyaris kecoklatan, hidungnya yang sedikit mancung. Hei, dia tidak buruk juga. Sedikit polesan sudah membuatnya jadi lirikan banyak orang. “Kenapa nengokin aku gitu? Ada yang aneh ya? Ada apa di wajahku? Kotoran burung? Selai coklat?” Tanya Kirana sambil menyentuh wajahnya. “Ah, enggak.” Novia menggeleng. “Kamu … kalau di perhatikan manis juga ya.” Kirana terpenjat dan tersipu malu. Jarang ada yang memujinya seperti itu. “Makasih ..” Gumam Kirana pelan. Ia melirik Novia. Sepertinya Novia masih belum sadar kalau mereka pernah saling kenal sebelumnya. Tapi ya, setidaknya Novia sudah jauh lebih baik daripada yang dulu. Sepertinya begitu. **** “Tumben telat Van,” ujar Andi begitu Novan tiba di kelas. Ia tiba saat pintu gerbang hampir di tutup. Novan terengah- engah masuk ke kelas karena berlarian masuk ke sekolah. “Iya, tadi ngurus adik bentar. Orangtuaku lagi pergi.” Novan menaruh tasnya dan duduk di sana. Ia menundukkan wajahnya ke meja. Ah, masih pagi tapi sudah lelah. “Novan!” Mejanya di gebrak oleh seseorang dengan kencang. Novan tersentak kaget dan menoleh. Seorang anak perempuan dengan badan tinggi berdiri tegak di depannya. Ia menatap Novan dengan tatapan galak dan melipat tangannya di d**a. “Udah tau piket, malah datang telat pula!” “Vin, kan dia tadi udah bilang. Dia telat karena jagain adiknya dulu, sebelum orangtuanya pulang,” tukas Andi. Anak perempuan bernama Vina itu mendengus. “Alasan. Pokoknya nanti pulang sekolah kamu piket ya. Kamu yang nyapu dan ngepel, wajib pokoknya pulang sekolah nanti!” Novan mengangguk pelan. “Iya iya, udah sana. Dia pasti lakuin kok, nanti aku pantau. Udah, tenang aja. Sana, sana. Tuh kamu liat tuh, si Iwan kabur piket lagi.” Andi menunjuk Iwan yang mengendap- endap keluar dari kelas. Vina menoleh ke arah yang di tunjuk. “HEH, IWAN! JANGAN KABUR KAU YA!” Vina mengejar Iwan sampai keluar kelas. Novan melongo melihatnya. “Memang sering gitu. Kamu jangan heran ya, seksi kebersihan emang lebih galak daripada ketuanya,” ujar Andi. “Aku kira tadi kamu datang telat karena mau hindarin si Novia itu.” “Yah, mungkin sekalian? Tapi ini emang nggak di sengaja sih telatnya.” “Sini, sini. Aku kasih strategi biar kamu bisa hindari si Novia selama di sekolah. Nanti aku bantu dah. Mau nggak?” Hem, menarik. “Strategi gimana tuh?” Andi mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Novan. Novan mangut- mangut mendengarnya. “Jadi caranya tuh begini …” **** “Pertama, kamu bisa hindari dia dengan datang terlambat. Ya, kalau kamu datang terlambat, dia nggak akan bisa temuin kamu pagi- pagi. Kemungkinan buat ketemu tuh kecil. Tapi ya, jangan sampai yang telat banget juga sih. Kayak yang sekarang juga cukup sih. Terus …” “Van, kantin?” Tanya Andi. “Ayo.” “Sesuai rencana kan?” Tanya Andi. Novan mengangguk dan menjetikkan jarinya. “Ya, sesuai rencana.” “Oke, ayo.” Novan dan Andi berlari sekencang mungkin ke kantin. Mereka segera membeli jajanan yang mereka mau sebelum ramai. Setelah mendapat jajanan, mereka membawanya ke taman belakang. Taman ini sangat sepi, jarang ada anak lain yang kemari karena jauh dari gedung sekolah. Saking jauhnya, bel pun terdengar samar- samar dari sini. “Ini aman nggak? Nanti kita malah telat masuk kelas lagi,” Tanya Novan ragu. “Nggak apa, aku udah hafal kok jam berapa masuknya. Jadi aku udah atur jam alaram buat kita.” Andi menunjukkan alaram yang ia setel di smartphone. “Kayaknya kamu penuh persiapan banget ya,” komentar Novan. Andi menyinggungkan senyum kecil sambil mengacungkan jempolnya. “Setiap strategi itu harus udah di pikirkan dengan matang sebelumnya, baru di laksanakan. Itu baru namanya strategi.” Novan mangut- mangut. “Dan yang lebih bagusnya.” Andi menunjuk ke pintu pagar yang tidak terkunci. “Kita bisa bolos dari sana, aman. Jarang ada guru yang lewat. Dan ... di sana juga ada yang jualan soto enak banget dan murah. Mantap dah pokoknya.” Novan melongo. “Waw, aku nggak nyangka kamu sebegitu prepare. Good.” Novan mengacungkan jempol. Andi menggosok hidungnya dan mendengus. Ia membusungkan dadanya dan berkacak pinggang. “Andi gitu loh. Jauh, aman, dan dapat jajan enak. Mantap kan?” Novan mengangguk dan mengacungkan jempolnya. “Ya udah, ayo makan. Nanti keburu bel masuk.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN