BAB 155

1026 Kata
“Jadi gimana?” Tanya Stevan saat mereka tengah menyantap sarapan bersama di ruang tengah. Novan mengernyitkan alis. “Gimana apanya?” Tanya Novan balik. “Itu, abang. Abang gimana sekarang? Masih marah atau gimana?” “Oh, papa.” Novan mengedikkan bahunya. “Entahlah. Kayaknya masih sih. Papa kalau marah mana bisa reda sebentar.” Stevan menghela napas. “Abang mah memang selalu gitu. Nggak berubah dari dulu. Aku udah ngira sih dia bakalan marah kalau ketahuan kita sering ketemu, tapi ya aku nggak nyangka dia akan semarah ini.” Stevan menyeruput kopinya. “Aku minta maaf udah buat kekacauan di rumahmu.” “Ya, nggak apa. Toh gimana pun nanti juga bakalan ketahuan kan. Kalian sebenarnya cuma perlu komunikasi lebih aja.” Stevan mendengus. “Mana bisa komunikasi sama abang. Tuh papa kamu, ya tahulah kan, gengsi banget.” Novan mengangguk. Ya, benar juga sih. “Ibu kamu gimana? Katanya pergi dengan Mikel kan? Kemana mereka?” “Mereka nginap di wisma pinggir kota. Nggak tahu dah berapa lama, tapi ibu nggak mau pulang malam ini. Ibu mau menjauh dari papa dulu. Kasian ibu, semalam kena getahnya saat rebut itu. Malah ibu yang jadinya di pukuli papa.” “Abang? Main tangan?” Tanya Stevan kaget. Novan mengangguk. Ia melongo. “Tadi aku lihat, lengan ibu lebam, terus ada bekas luka juga di sudut bibirnya. Aku nggak suka ibu, tapi aku tak tega melihatnya seperti itu …” Novan menundukkan wajahnya, menyembunyikan air mata yang nyaris keluar. Stevan menepuk pundaknya dengan lembut. “Nggak apa Van. Nggak apa kalau kamu nggak suka ibumu, tapi tolong kamu jaga dia ya. Jangan sampai dia terluka lagi. Kasian juga kan Mikel nantinya,” ujar Stevan. Novan mengangguk. “Iya. Mikel belum boleh tahu soal ini, dia masih kecil. Tapi … Van, aku boleh tanya sesuatu?” “Apa itu?” “Kamu dan papa … kenapa nggak akur? Bukannya kalian dulu nggak gitu? Kalian kan dulu akrab? Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan papa?” Stevan terbelak kaget mendengar pertanyaan itu. Ia menelan ludah. “Karena satu masalah … dan merembet ke yang lainnya …” “Masalah apa?” “Kamu nggak perlu tahu.” “Harus tahu dong. Kan ini menyangkut papa dan kamu, kan ini urusan keluargaku juga.” “Nggak, belum saatnya kamu tahu. Nanti kamu juga akan tahu sendiri. Ini urusan orang dewasa.” Novan mendengus sebal. “Selalu saja begitu. Aku udah gede juga tau, bukan bocah lagi!” “Udah gede itu kalau udah lepas seragam putih abu- abu!” Stevan mengacak rambut Novan. Novan yang risih langsung menepisnya. “Tapi ibu kamu nggak seburuk yang aku kira ya. Ternyata dia peduli juga denganmu.” “Yah, aku juga nggak nyangka. Aku kira dia masih misuh- misuh denganku.” Novan menyeruput habis kopinya. “Terus sekarang kamu mau ngapain? Mau langsung pulang atau gimana?” Tanya Stevan. “Nggak dulu deh, kapan lagi nanti aku bisa keluar kan? Nanti aja pulangnya sorean, udah deket waktunya papa pulang ngantor gitu.” “Ya udah kalau gitu maumu. Terus sekarang kita ngapain?” Novan menyinggungkan senyum kecil. Ia bangkit dari duduknya dan pergi ke ruang tamu, lalu kembali sambil membawa satu tas besar. Ia mengeluarkan isi tas yang penuh dengan buku. Stevan terbelak kaget melihatnya. “Apa nih?” “Tugas- tugasku,” jawab Novan. Ia menyinggungkan senyum kecill. “Bantuin ya?” “Tugasmu memang sebanyak ini?” Tanya Stevan. Novan mengangguk. Stevan geleng- geleng kepala. “Gile, tugas anak sekarang banyak banget yak.” “Makanya. Bantuin ya? Ya?” Stevan mendengus. “Iya, iya. Aku bantuin.” “Yeay! Thank you Van!” “Kayaknya kalau kamu bolos sehari aja, bakalan makin menggunung ya tugasnya…” “Ya memang!” **** Waktu berlalu dengan cepat. Stevan sedaritadi membantu Novan mengerjakan tugas sekolahnya. Stevan mengerjakan tugas Fisika dan Kimia, sedangkan Novan sisanya. Mereka terus mengerjakan dan tanpa sadar hari sudah sore. “Eh, udah sore nih Van,” celetuk Stevan. “Jam berapa sekarang?” Tanya Novan. “Udah jam 5 sore sih …” Novan terbelak kaget. “Hah?! Udah jam 5?!” Novan mengeluarkan smartphone. Tampak beberapa notifikasi chat dari ibu. Novan membukanya. Ibu Abang dimana? Udah sore, kamu udah pulang? Katanya papa lagi di jalan pulang, barusan chat ibu. Abang pulang terus ya nak. Novan terbelak kaget membacanya. Ia menoleh pada Stevan. “Gawat Van! Katanya papa lagi di jalan pulang!” “HAH?! APA?! Cepat- cepat kita bereskan! Cepat!” Stevan dan Novan kalang kabut. Mereka membereskan buku- buku yang berantakan dan memasukkannya ke dalam tas. Novan memakai kembali bajunya. Tadi ia hanya memakai singlet dalaman dan boxer. “Ini gimana? Mau aku antar aja?” Tawar Stevan. “Jangan, jangan! Nanti kalo ketahuan papa berabe! Mending kamu pesanin aku ojek online aja!” “Oh, oke oke. Aku pesanin!” **** Novan menghela napas lega. Ia sampai di rumah lebih cepat dari dugaannya. Untung saja pengemudi ojek online tadi mau di ajak ngebut, tapi tetap aman. Ia memberikan tip lebih pada pengemudi itu. Novan membuka pintu pagar. Sepi, tidak ada orang. Mobil juga tidak ada di garasi. Sepertinya papa belum pulang. Syukurlah. “Novan pulang,” ujar Novan sambil membuka pintu rumah. Sepi. Tidak ada yang menjawab. Ah, dia jadi kangen dengan Mikel. Biasanya Mikel yang menyapanya lebih dulu. Dia baik- baik saja kan di sana? Novan menaruh sepatunya ke dalam rak dan menyalakan semua lampu, lalu pergi ke kamar. Ia baru saja merebahkan badannya saat terdengar suara bantingan pintu di bawah. Novan mengintip dari balik pintu. Papa baru pulang. Wajahnya merah dengan napas yang menggebu- gebu. “Novan! Novan! Novan Andriansyah!” Panggil papa lantang. Novan turun ke bawah dengan perlahan. “Ya pa?” “Kenapa rumah sepi? Mana ibu kamu hah? Mama! Mama! Widya! Widya Ningrum! Mikelo Ferdinan!” Panggil papa lantang dan terdengar menggema. “Anu … ibu … ibu pergi pa …” Papa menoleh dan melotot. “Kemana dia?” “Nggak tahu, dari tadi aku sendiri di rumah. Ibu nggak ada bilang,” jawab Novan. Papa melotot makin lebar dan wajahnya semakin memerah. “WIDYA!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN