Bab 47

1119 Kata
      “Kalo udah beres makannya, kamu jangan lupa minum obatnya.” Stevan mengingatkan setelah melihat mangkuk bubur ayam di depan Novan sudah bersih. Novan mangut- mangut. Ia mengambil dompet dan mengeluarkan obat dari sana. “Satu aja jangan banyak- banyak.”            “Iya, iya. Nggak lagi kayak begitu kok Van,” tukas Novan. Ia membuka sebungkus obat dan meminumnya. Meminum obat yang masih ia pertanyakan kenapa harus ia minum sampai sekarang ini. Stevan bangkit dari duduk dan menghampiri gerobak bubur ayam.            “Van, udah kan? Ayo berangkat!” Ajak Stevan. Novan mengangguk. Ia mengambil tasnya dan kembali ke mobil bersama Stevan. Mobil melaju perlahan menuju ke sekolah Novan. ****            “Pulang nanti di jemput nggak?” Tanya Stevan setibanya mereka di sekolah. Ia memberhentikan mobil di dekat gerbang sekolah.            “Kalau kamu sibuk, nggak usah.” Jawab Novan. Ia melepaskan seatbelt.            “Oh ya, bentar.” Stevan mencegatnya. Ia merogoh saku celananya. “Nih, jajan tambahan.” Stevan memberikan sebuah amplop kepadanya.            “Formal amat sih pakai amplop,” gumam Novan.            “Kalo nggak mau aku ambil nih.” Stevan hendak mengambil kembali amplop dari tangan Novan, tapi Novan dengan cepat menarik tangannya.            “Eh, jangan! Nggak. Udah ngasih juga lu. Makasih yak!” Novan membuka pintu mobil dan langsung keluar. Ia melambaikan tangan dan berjalan masuk ke dalam gerbang. Stevan kembali menyalakan mobilnya setelah Novan masuk lebih dalam ke lapangan.            “Woi Van!” Sapa seseorang di belakangnya. Novan menoleh. Ia melihat Gilang berlari menghampirinya.            “Eh Lang. Baru nyampek juga?” Gilang berhenti berlari dan jalan beriringan bersama Novan.            “Iya. Kirain tadi bakal telat, soalnya tadi anterin adik aku dulu. Itu anak, repotin amat dah. Baru bilang di suruh bawa bekal dari rumah, wajib, waktu pagi. Ya buru- burulah nyarinya tadi. Untung dapet.”            “Yah namanya juga anak SD. Biasalah kayak gitu mah.”            “Tapi kenapa cuma anak SD doang yang kayak gitu ya? Bingung aku.”            “Ya anak TK kan belum ada di kasih tugas kayak gitu. Palingan anak TK mah langsung di kasih tau ke orangtuanya.”            “Iya juga sih ya.”            “WOI GILANG!” Terdengar suara teriakan nyaring dari lantai 2. Kami berdua tersentak kaget dan melirik ke atas. Salah seorang anak perempuan di kelas, yang aku lupa siapa namanya, menatap ke bawah dengan tatapan tajam. Ia melipatkan kedua tangannya di d**a.            “HEH GILANG! NGGAK USAH LENYEH- LENYEH LU! BURUAN NAIK! PIKET LU!” Teriak anak perempuan itu menggelegar seisi lapangan.            “Astaga si Mela, masih pagi. Emang dah seksi kebersihan di kelas ini agak gimana- gimana,” gumam Gilang.            “Buruan naik nggak kamu Lang? Jangan sampai ini sapu aku lemparin ke kamu ya!” Anak perempuan itu mengacungkan sapu ke atas.            “Iya, iya! Anjir bawel bat dah si Mela ini!” Gilang berlari meninggalkan Novan. Novan geleng- geleng kepala melihatnya. Sebenarnya dia tidak suka kalau jalan sendirian, karena beberapa pasang mata yang menatapnya dari atas sampai bawah. Risih. Ia berusaha tidak berada di tengah kerumunan agar tidak menjadi pusat perhatian, tapi tetap saja itu tidak berhasil. Seperti ada magnet yang membuatnya menarik perhatian orang lain.            “Eh, Van!” Sapa seseorang di belakangnya. Novan menoleh. Karyo menghampirinya. “Udah sehat? Aman kan?”            “Aman.” Novan mengacungkan jempol.            “Terus, soal yang aku bilang kemarin gimana? Bisa nggak? Belum beres ya? Ya nggak apa sih kalau belum beres, kan baru juga ya aku kasih. Mana mungkin bisa secepat itu beresnya …” Gumam Karyo.            “Ya belum siaplah. Tapi udah aku kerjain sedikit- sedikit. Semangat kerjainnya karena ya lumayan kan ya …”            “Banget cuk! Kalo kamu tahu seberapa banyak mereka kasihnya, pasti kamu nggak bakal bisa nolak.”            “Anak orang kaya sih kayaknya tuh yang minta tolong.” Karyo mengangguk.            “Nggak apalah. Simbiosis mutualisme toh. Mereka bisa dapat nilainya, kita dapat cuannya.” Karyo dan Novan tergelak bersama.            “Eh tapi kamu kalo ada kesusahan bilang ya. Ini kan kita kerjain sama- sama ya,” ujar Karyo.            “Beres itu mah.” Novan mengacungkan jempol.            “Oh ya, mungkin kamu belum tahu, atau belum lihat pengumuman di grup. Kirana bilang untuk minggu ini kita nggak jualan danusan dulu.” Karyo memberitahu. Novan mengernyitkan alisnya.            “Tumben. Kenapa? Kan dari kemarin kayaknya dia tuh yang gencar banget nyuruh jualan sana- sini,” tanya Novan heran.            “Entah dah. Kayaknya butuh rehat, setelah lihat kemarin itu kamu sempat pingsan, dia pikir nggak bagus juga ya terlalu di forsir. Jadinya ya, untuk sementara kita rehat saja dulu, katanya gitu. Dewi juga capek sih kalau sering siapin risol buat jualanan sendiri. Mungkin kita bakal ngumpul lagi dan diskusi ide lain buat kumpulin dananya,” jawab Karyo. Novan mangut- mangut.            “Hem gitu ya.”            Bel tanda masuk berdering nyaring sebelum Novan dan Karyo tiba di kelas. Mereka langsung lari ke kelas bersama dengan murid- murid lainnya. ****            Bel tanda istirahat berdering nyaring. Guru sudah keluar duluan sedetik sebelum bel berbunyi. Novan menutup bukunya dan menaruh di dalam laci.            “Kamu ikut ke kantin Van?” Tanya Andi.            “Ah, Novan mah. Palingan dia sibuk sama danusan tuh,” celetuk Gilang. Novan mendengus.            “Ye, sok tau! Hari ini free kok. Yuk kantin!” Novan merangkul Andi dan Gilang. Mereka saling tukar pandang.            “Kok tumben. Anak danusan nggak mau jualan lagi apa gimana?” Tanya Gilang.            “Katanya libur dulu, soalnya kami pada kecapekan,” jawab Novan. Gilang dan Andi mangut- mangut.            “Iya sih, bener. Soalnya kan kalian tuh kayak tiap hari gitu ya jualan, jualan. Ya pasti capeklah. Bagus toh sesekali libur, jadi kalo ke kantin itu bisa beli jajan, bukan jualan doang,” timpal Andi.            “Mumpung kamu jarang ke kantin nih, traktir ya Van? Hehe …” Novan mengerlingkan matanya.            “Iya dah, boleh. Asal kalian jangan seenak jidatnya aja pesan,” jawab Novan.            “Tuh, denger Ndi! Kamu makan kayak porsi kuli nggak makan sebulan soalnya!” Gilang menyikut Andi. Andi meringis sebal.            “Iya iya, palingan cuma 3 mangkuk bakso aja kok,” ujar Andi.            “Buset dah, palingan. Itu mah banyak anjir. Sama aja!” Tukas Gilang.            “Udah, kantin aja langsung. Nanti keburu rame soalnya,” ajak Novan. Ia jalan lebih dulu, meninggalkan kedua temannya di belakang. Belum juga ia keluar dari kelas, terdengar suara seseorang memanggil.            “Woi Novan! Di cariin nih!” Iwan yang berdiri di pintu kelas.            “Siapa cariin?” Novan mengernyitkan alisnya. Iwan sedikit bergeser dan tampaklah Karyo di depan pintu kelas.            “Loh Yo? Ada perlu apa?” Novan menghampiri Karyo. Karyo tersenyum tipis.            “Hem, sebenarnya aku nggak sendirian sih kemarin. Ada satu orang lagi,” gumam Karyo. Novan mengernyitkan alisnya.            “Satu orang lagi? Siapa?” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN