Bab 46

1074 Kata
      Bunyi alaram dari jam weker berdering dengan nyaring. Novan mengerjapkan mata dan meraba mejanya untuk mematikan alaram. Ia membuka matanya perlahan dan langsung di sapa dengan samar- samar cahaya lampu tidur.            Ya, tadi hanya mimpi. Mimpi yang seperti nostalgia, seakan dia di tarik ke masa lalu. Mimpi yang lumayan menyenangkan. Novan menggeliat dan duduk di tempat tidurnya. Matahari masih belum menampakkan cahayanya di ujung sana. Dia terkadang memasang alaram lebih pagi, biar ada lebih banyak waktu itu mengerjakan tugas atau pergi sekolah lebih cepat.            Ia tesenyum kecil mengingat mimpinya tadi. Memang hanya samar- samar yang bisa ia ingat, tapi ia bisa merasakan secuil rasa bahagia di sana. Ia bisa merasakan keluarga yang harmonis di sana.            “Ah, ternyata dulu Stevan anaknya tengil ya,” gumam Novan. Dia jadi ingat bagaimana sosok Stevan dulu. Ia sempat melupakan kehadiran Stevan karena sudah lama tidak bertemu. Ia mengambil smartphone dan segera menghubungi Stevan. Novan Van, tadi aku mimpi aneh Di mimpinya ada kamu wkwkwk. Kamu masih kecil. Tengil bat lu dulu Btw, aku nebeng ya. Thank you.            Novan menyalakan lampu kamarnya dan mematikan lampu tidur. Ia merapikan selimutnya tanpa mengibas kasur. Setelah itu dia ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi. Masih terlalu pagi untuk mandi. Novan memperhatikan sekeliling kamarnya. Hem, daripada dia bosan, mungkin ada baiknya dia mengerjakan tugas saja. Semampunya saja.            Ia mengambil kertas coretan dan mulai coba mengerjakan tugas joki yang diberikan. Ia tengah konsentrasi mengerjakan tugas dan saat itulah smartphone miliknya bergetar dan menampilkan notifikasi dari Stevan. Stevan HAHAHAHAHHA YA AMPUN BISA BISANYA ELU MAH. Malu bat aku inget jaman bocah dulu. Asli emang tengil. Oke aku jemput nanti. Makan di luar aja ya, Aku jemput cepet ni. Novan Oke, bilang aja kalo udah mau jemput.            Novan menaruh smartphone di sebelahnya. Ia melirik jam weker di meja. Hem, kurang lebih 15 menit lagi dia sudah bisa mandi, kalau memang Stevan mau cepat jemputnya. Kayaknya dia kerjain semana bisanya saja. Ia tenggelam dalam tumpukan soal. Menit demi menit berlalu. Smartphone berdering nyaring, ada telpon masuk dari Stevan.            “Ya, hallo Van.”            “Woi, ini aku udah siap ya. Meluncur ke tempatmu bentar lagi. Kita sarapan di luar ya, kamu udah siap belum?”            “Hah? Memangnya ini udah jam berapa …?” Novan melirik jam wekernya dan terbelak kaget. Sudah jam 06.10. Jauh lebih telat dari perkiraannya. “Heh? Kok udah jam segini aja hah? Udah ya, aku matiin dulu Van! Aku mandi dulu!”            “Yaelah bocah malah belum mandi. Yaudah, buru. Aku jalan duluan nih, takut macet.”            “Iya, terserah. Udah ya.”            Novan menutup telpon. Ia melempar smartphone ke kasur dan langsung menyambar handuk. Ia mandi secepat kilat. Sudah tidak ada waktu lagi, sebelum ia terjebak di tengah kemacetan dan terlambat. ****            Syukurlah tidak perlu waktu lama untuk bersiap. Ia memasukkan bukunya sembarangan, yang penting ada bawa buku aja deh ke sekolah. Perkara ketinggalan, dia bisa pinjam ke yang lain. Stevan sudah menunggunya sambil menikmati kopi hangat di depan minimarket.            “Sori Van, lama nggak?” Tanya Novan terengah- engah.            “Nggak, nggak lama kok. Baru duduk juga.” Stevan bangkit dari duduknya. “Nggak usah buru- buru gitulah, kamu belum terlambat kok.”            “Tapi nanti macet Van …” Stevan meringis.            “Kamu kira kota ini bakalan tiap hari macetnya? Ya enggaklah!” Stevan menyeruput kopinya. “Mau?” Novan mengeleng.            “Nggak kuat kopi.”            “Hum, oke.” Stevan menyeruput kopinya hingga habis dan membuang gelas kopinya di tong sampah. “Ayo kita berangkat.”            “Oke.” ****            “Kamu beneran mimpiin aku semalam?” Tanya Stevan di tengah perjalanan. Novan mengangguk.            “Mimpi, jaman kamu masih bocah. Masih tengil. Akunya juga masih kecil, kecil banget. Saking masih bocahnya aku bisa dah kamu bodoh- bodohin,” jawab Novan. Stevan tertawa kecil.            “Emang dari dulu kan aku sering usilin kamu.” Novan meringis.            “Emang kelakuan.”            “Terus di mimpi itu juga ada papa. Papa masih muda banget, belum tumbuh kumis. Terus ada juga orang lain. Hem, cewek, ya ibu rumah tangga gitulah. Aku nggak kenal dia, tapi …”            “Tapi…?” Tanya Stevan.            “Kamu … panggil dia mama …” Stevan mengernyitkan alis.            “Hah? Aku panggil dia mama?” Novan mengangguk. Stevan mengernyitkan alis dan terbelak. “Kamu ingat nggak tampangnya gimana?”            “Hem, samar. Tapi tampangnya seperti bukan orang Indonesia. Seperti orang campuran gitu. Kamu tahu?”            “Ah, itu …”            “Ah, udahlah.” Tukas Novan. “Hanya mimpi, jangan terlalu di bawa serius kan. Mana mungkin kan yang di mimpi ada di dunia nyata.” Novan memandang keluar jendela. Mimpi yang aneh. Ia mengenal semua yang ada di mimpi itu. Stevan dan papa, kecuali perempuan itu. Perempuan yang mengaku mama. “Kuakui dia cantik, tapi entah gimana, aku tidak setakut itu dengannya. Apa mungkin karena mimpi ya?” Novan menghela napas. “Andai saja aku bisa seperti itu tidak hanya di mimpi saja.”            “Van, kenapa aku bisa kayak gini ya?”            Stevan tidak menjawab. Ia fokus menatap ke depan. Ah, Stevan mana mungkin bisa menjawabnya.            “Kamu ada bawa obat?” Tanya Stevan. Novan mengangguk.            “Ada, aku selalu selipin di dalam dompet.” Stevan mengangguk.            “Bagus. Sekarang bukan waktunya kamu tanya kenapa, tapi yang harus kamu lakuin adalah mencari cara biar kamu bisa sembuh. Bisa normal. Aku akan bantu, kemana pun, cara apapun itu, aku akan lakuin. Yang penting kamu harus yakin kalau kamu itu bisa sembuh.”            “Aku bisa sembuh?”            “Kamu harus yakin. Kamu bisa.” Novan mengangguk. Stevan menyinggukan senyum kecil.            “Jadi, kamu mau sarapan dimana? Belum makan kan?” Tanya Stevan.            “Mana aja terserah sih.”            “Oke, mana aja kan ya?” ****            Mereka berhenti di salah satu warung  bubur ayam yang katanya langganan Stevan. Meski masih pagi, tapi warung bubur ayam ini sudah agak ramai dengan pengunjung. Stevan pergi memesan makanan, sedangkan Novan duduk di tempat yang kosong.            “Di sini bubur ayamnya enak, makanya selalu rame meski masih pagi,” ujar Stevan. Novan mangut- mangut. “Terus ini yang paling the best di antara semuanya, nih! Sate hati! Ususnya juga enak!” Stevan menunjukkan side dish yang tersedia. Novan hanya mangut- mangut.            Novan mengambil satu tusuk sate hati untuk pengganjal perut. Ia makan dengan pikiran kosong. Pikirannya masih melayang ke mimpinya semalam. Ia masih bertanya- tanya, siapa sosok yang di panggil ‘mama’ dalam mimpinya itu. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN