Bab 136

2108 Kata
“Kamu kenal?” Tanya Andi. “Kan famous. Dia yang anak baru itu kan? Novia Arabbel?” Kirana memincingkan matanya. “Nggak asing sih, kayak pernah lihat dimana gitu.” “Kan emang kadang muncul di TV, atau sosmed.” “Nggak, nggak.” Kirana mengeleng. “Nggak, beda. Kayak emang pernah lihat di luar TV gitu.” “Eh, eh, Kir, mau kemana?” Tanya Andi saat Kirana melangkah menjauhi mereka. “Ya pulanglah, lewat gerbang.” “Tapi kan ada mereka, ada si Sarah …” “Lah emangnya kenapa? Kan gerbang itu milik bersama.” Kirana melangkah pergi meninggalkan Novan dan Andi yang sembunyi di dalam kelas terdekat. Mereka mengintip dari balik jendela. “Duh, si Kirana itu ngapain pula dia ke sana bah.” Andi berdecak kesal. “Nah kan tuh nah, haduh.” Kirana hendak keluar gerbang, tapi di cegat oleh Sarah dan teman- temannya. Mereka berdiri di depan gerbang sambil berkacak pinggang. “Kamu ngapain kemari?” Tanya Sarah galak. “Ya, mau pulanglah, ngapain lagi emang?” “Lewat gerbang belakang sana, jangan lewat sini!” Perintah Lili. “Aku maunya lewat sini, gimana? Lebih dekat lewat sini, nggak perlu mutar lagi. Awas kalian, halangi orang aja!” Kirana mendorong The Mean Girls. Mereka limbung karena di dorong oleh Kirana dan jatuh. “Ups, sori. Nggak sengaja.” “Kamu ya …” Sarah menatap Kirana dengan bengis. “Makanya jangan halangi orang! Yuk, kita pergi.” Kirana menarik Novia menjauh dari sana. “Ini mana lagi sih satpam, malah nggak ada di tempat.” “KIRANA! s****n LU! KEMARI!” Murka Sarah. Kirana tidak peduli, ia malah lari meninggalkan gerbang sekolah. **** “Gimana? Aman?” Tanya Novan pada Andi. Mereka belum keluar dari tempat persembunyian. Andi mengintip dari balik jendela. “Si Novia nggak ada lagi sih, nggak tahu kemana. Tapi itu si Sarah dan gengnya masih di sana. Eh, mereka kok jatuh ya?” “Hah? Tadi aku juga ada dengar sih, dia panggil si Kirana marah- marah gitu,” timpal Novan. “Kan, si Kirana nih. Bentar dah, baliknya pas Sarah udah bubar aja.” Novan mengangguk setuju. Untung saja, tak lama setelah itu, satpam kembali dan memarahi Sarah dan gengnya. Mereka pun bubar pulang. Novan dan Andi menghela napas lega dan keluar dari kelas sebelum di kunci oleh janitor. “Ini lagi! Kenapa kalian belum pulang jam segini hah?!” Tegur satpam saat melihat Andi dan Novan. Andi nyengir lebar. “Permisi pak, pulang dulu …” Mereka sedikit membungkukkan badannya. “Pulang kalian, jangan keluyuran lagi. Nggak usah kalian ikut nongkrong apa itu segala.” “Siap pak. Kami pamit pulang pak.” **** Kirana dan Novi terengah- engah. Mereka sudah jauh dari sekolah. Syukurlah The Mean Girls tidak mengejar mereka. “Thank you ya,” ucap Novia. Kirana menyinggungkan senyum kecil. “Kembali. Kamu kalo di halangi begitu, ya lawan aja dong. Kan itu gerbang milik mereka,” ujar Kirana. Novia tertawa kecil. “Ya, maunya begitu. Tapi mereka keroyokan. Oh ya, kita belum kenalan. Aku Novia, anak baru di kelas XI MIPA 3.” Novia mengacungkan jabatan tangan. Kirana membalasnya. “Aku Kirana, kelas XI IIS. Salam kenal.” Kirana menyinggung senyum kecil, lalu menyipitkan matanya, memperhatikan Novia dari atas sampai bawah. “Anu … kenapa ya?” Tanya Novia risih. “Oh, nggak. Cuma kayaknya pernah lihat kamu dimana gitu, soalnya nggak asing sih wajahnya,” jawab Kirana. “Oh, mungkin kamu ada lihat aku di TV, soalnya kadang aku tampil sih di talkshow atau acara lain.” Kirana mangut- mangut. “Tapi kayaknya bukan karena itu deh. Kayak pernah lihat dimana gitu, tapi aku lupa.” “Mungkin waktu aku live manggung?” “Hem, entahlah. Aku nggak pernah nonton konser sih. Kamu yang katanya anggota girlband baru itu kan? Emang nggak apa sekolah?” Novia mengernyitkan alisnya. “Hah? Maksudnya?” “Ya, nggak apa nih kamu di sekolah umum gini? Nggak home schooling atau sekolah lain gitu?” Novia tertawa geli. “Ya nggak apalah. Dari dulu juga aku sekolah umum kok, nggak pernah home schooling.” “Oh, kirain harus home schooling. Kan kamu idol.” Kirana celingak celinguk. “Aku nunggu angkot di sana, kamu pulangnya gimana? Naik angkot juga?” “Hah? Aku? Nggak, aku di jemput supir kok. Harusnya sih udah jemput di sekolah, tapi bentar deh aku telpon dulu.” Novia mengeluarkan smartphone. “Oh, supirku nunggu di depan sekolah ternyata. Ini dimana ya? Aku mau minta jemput di sini.” “Bilang aja, jemput di halte dekat sekolah. Kamu nanti tunggu di sana aja, sekalian aku naik angkot dari sana.” Kirana menawarkan. “Oh, oke. Pak, nanti jemputnya di halte dekat sekolah aja ya pak, saya tunggu di sana.” Novia merekam voice note. “Udah? Ayo ke sana.” Kirana menggandeng tangan Novia. Novia mengernyitkan alis. Entah kenapa, dia tidak risih dengan sikap Kirana. Entah bagaimana dia merasa familiar dengan Kirana. Tapi dimana dia pernah ketemu ya? Kirana bukan anak yang terkenal dan kelihatannya juga bukan anak yang hobi nongkrong. “Itu jemputan kamu ya?” Tanya Kirana sambil menunjuk mobil keluarga berwarna hitam yang menyalakan klakson. Pak Kusmadi, supir pribadi Novia keluar dari mobil dan membuka pintu sebelah kemudi. “Silakan non.” “Makasih pak.” Novia masuk ke dalam. Ia menoleh ke Kirana. “Kamu ikut juga yuk, biar aku antar pulang.” “Nggak usah, nggak apa. Ngerepotin, rumahku jauh soalnya,” tolak Kirana. “Nggak apa. Yuk sekalian.” “Nggak usah.” Kirana sedikit mendongak. “Itu angkotku udah datang. Duluan ya.” Kirana melambaikan tangannya dan sebuah angkot berwarna biru menepi. Kirana masuk ke dalam angkot dan melambaikan tangan pada Novia. Angkot melaju lebih dulu, meninggalkan mobil Novia di belakang. “Loh? Temannya nggak jadi ikut non?” Tanya pak Kusmadi. “Nggak pak, lebih milih naik angkot dia. Aneh, padahal kan enak naik mobil,” gerutu Novia. “Ya, mungkin lebih nyamannya dia naik angkot kali non. Tapi ya non, kok kayaknya saya nggak asing ya sama teman non itu.” “Hah?” Novia mengernyitkan alis. “Maksud bapak?” “Ya, bapak kan udah lama sama non, tapi teman baru non itu kayak bapak pernah lihat dimana gitu. Kenalan non ya?” “Nggak pak, baru kenalan tadi kok.” Pak Kusmadi mangut- mangut. “Mungkin bapak yang salah ingat ya non. Maklum, udah tua, banyak lupanya.” Novia mangut- mangut. “Pak, tolong nyalain lagu yang biasa pak. “ Pak Kusmadi menyalakan playlist lagu Novia di radio. Novia selonjoran sambil mengecek social medianya. “Sarah … Sarah Claryson …” Gumam Novia sambil mengetik sesuatu di smartphone. “Oh, mudah banget ya carinya. Hem, banyak juga followersnya.” Novia mulai scroll profil sosial media Sarah. Ia menyeringai. “Tapi kasian, menang cantik doang, nggak ada talenta. Attitude juga jelek. Dasar. Teman- temannya juga sama aja, satu paket mereka itu. Ckck, kasian banget. Oh, hem, lumayan pintar juga ternyata. Hem, nggak buruk- buruk amatlah. Tapi sayang aja sih, bakat buat di dunia entertain kecil. Masih bagus dia masih bertahan jadi selebheksagram,” komentar Novia sambil menjelajahi setiap sudut profil sosial media Sarah. Tidak henti ia memberi komentar, bahkan ke hal kecil sekalipun. “Yaelah, orang kayak gini malah yang ngelabrak. Nggak ngaca kali apa ya.” Novia menyeringai. Lucu sekali. “Ngelabrak? Ada yang labrak non? Siapa non?” Tanya pak Kusmadi yang tidak sengaja curi dengar. “Ah, nggak pak. Biarin aja. Anaknya nggak sadar diri soalnya,” jawab Novia. “Non, jangan buat rusuh. Non masih anak baru. Nanti kalau nggak ada tuan dan nyonya, saya yang susah. Saya yang bakalan ke sekolah non, buat gantiin tuan dan nyonya,” pinta pak Kusmadi. Novia tertawa geli. “Aman pak, tenang aja. Saya nggak akan seret- seret bapak lagi kok.” “Semoga memang begitu ya non.” **** “Tuh muka kenapa di tekuk begitu?” Tanya Stevan. Hari ini Stevan menjemput Novan dari sekolah. Sebenarnya dia ingin tiba di rumah lebih cepat, tapi tak apalah karena Stevan mengajaknya makan. “Nggak apa,” jawab Novan cuek. “Nggak apa, tapi mukanya di tekuk begitu. Kenapa sih? Berantem di rumah? Atau ada masalah sama teman di sekolah?” Tanya Stevan kepo. Novan menghela napas. Kalau tidak ia jawab, makan Stevan akan terus mencecar pertanyaan. “Masalah sama teman di sekolah.” “Hah, kenapa tuh temanmu?” Stevan mengunyah makannya. “Kamu ini perhatian atau kepo deh? Atau cuma mau ngerumpi aja?” “Kalau bisa keduanya, kenapa enggak?” Novan mendengus. Dasar Stevan. “Jadi, keponakan kesayanganku ini kenapa? Ada masalah apa dengan temannya?” “Jadi begini …” Novan menceritakan semuanya, bermula dari ia meminjamkan heksagramnya untuk event sekolah yang malah di gunakan seenaknya oleh Valdi, sampai ia di kuntit oleh Novia. “Ih, serem abis itu cewek. Kayak apa ya, terobsesi gitu,” komentar Stevan setelah cerita panjang Novan. “Memang. Kayak di ikutin terus kemana pun gitu,” ujar Novan. Ia menyesap minumnya hingga habis. “Mau pindah ke sekolah lain?” Tawar Stevan. Novan menoleh. “Ada sekolah bagus, nggak jauh dari rumahmu dan sekolah lama juga.” “Kamu memang waliku, tapi masih ada papa.” “Ah, kamu benar juga. Masih ada abangku ya. Bisa kena hantam kita berdua kalau tiba- tiba pindahin kamu sekolah,” gumam Stevan. “Jangan yang aneh- aneh deh, susah kalau papa ngamuk. Tahu sendiri kan gimana.” “Ah, iya sih. Jangan bangunin sisi monsternya.” **** Kirana membaca artikel yang ia baca di smartphone. Artikel yang berisi info tentang Novia Arabbel Himeka, anak baru yang famous itu. “Nggak ada ya foto dia sebelum debut gitu? Ini anak udah debut berapa lama sih, mana foto di heksagramnya banyak banget,” gerutu Kirana sambil terus scroll profil heksagram Novia. “Cantik banget ya anak orang, asli dan fotonya nggak jauh beda. Mana ramah lagi, nggak sombong. Ada juga ternyata idol begitu ya,” puji Kirana. “Loh, ini orangtuanya ya? Eh, kok kayak familiar ya … hem …” “Hem … apa kita coba …” Kirana kembali mengetik nama lengkap Novia di bar pencarian dan mencari artikel paling lama. Salah satu judul artikel menarik perhatiannya, yaitu ‘Novia, Nama Panggung yang Seperti Nama Asli.’ Hem, judulnya memang click bait sih, tapi entah kenapa kelihatan menarik. Ia membaca artikel itu dan terpenjat. “Bentar, nama aslinya kayak nggak asing. Hem … bentar, dimana ya. Eh, ada fotonya jaman dulu nih.” Kirana membuka foto itu dan semakin terpenjat. Ia menundukkan wajahnya dan menyeringai. “Oalah, ternyata dunia ini memang sempit ya. Kukira siapa, ternyata dia. Hem, selamat ya kamu udah lebih sukses sekarang … Novia.” Hah, dunia memang penuh kejutan. **** “Eh, ngomong- ngomong, katanya tuh cewek yang nguntit kamu itu seleb ya?” Tanya Stevan saat mereka terjebak di perjalanan pulang. Novan hanya mengangguk. “Siapa tadi namanya?” Novan berdecak kesal. “Novia Arrabel Himeka.” Ah, bahkan menyebut namanya saja Novan enggan. Stevan mangut- mangut dan mengambil smartphone miliknya. “Halo, siapa Novia Arendel Bhineka,” gumam Stevan pada smartphone. “Mungkin maksud anda: Novia Arrabel Himeka.” “Oh iya, itu. Hem, hem, oh ini anaknya. Yah, emang kadang muncul di TV sih ya. Artis baru?” “Halah, kamu lihat ajalah tuh. Palingan banyak tuh artikel tentang dia,” jawab Novan ketus. “Iya dah, iya.” Stevan pun sibuk dengan smartphone, sambil sesekali mangut- mangut. “Lumayan nih followersnya banyak, fansnya juga. Padahal baru debut kan ya.” “Yah, begitulah.” “Gimana kalau …” Stevan melirik Novan dengan tatapan jahil. “Gimana kalau kita viralkan aja dia?” “Hah? Viralkan?” Stevan mengangguk semangat. “Iya, sekarang kan sering tuh. Salah sedikit, upload di sosmed, viral, di omongin banyak orang, di hujat, terus udah jatuh bebas dia. Gimana? Nanti aku bakal buat thread, bahas soal tingkah aneh si penguntit itu, tapi sebutin inisial aja. Palingan juga orang- orang pada nyari tahu sendiri.” “Hah? Gila lu ya? Nggak, nggak! Nggak usah yang aneh- aneh Van. Biarin aja dia yang aneh, kitanya nggak usah.” “Lah tapi tindakan dia tuh termasuk kriminal loh, nguntit begitu.” Novan menggeleng. “Nggak, nggak usah. Bikin heboh aja. Udah biarin aja, lagian nanti anaknya juga bakalan capek sendiri kalau di cuekin. Nggak usah buat yang aneh- aneh ya Van.” “Iya iya. Baik banget dah emang ponakanku ini.” Stevan mengacak- acak rambut Novan. Novan menepis tangannya dan berdecak kesal. “Dih, apaan sih?! Jalan sana, udah lampu hijau tuh!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN