bab 137

2231 Kata
Novan langsung masuk ke kamar begitu tiba di rumah. Ia bahkan tidak menyapa Mikel yang sedang main di teras. Ia sedang tidak mood. Semakin tidak mood saat ia mengecek smartphone. Niatnya mau menghibur diri dengan streaming video atau main game. Tapi saat ia mengecek room chat, ia tidak sengaja melihat sebuah SMS yang belum ia baca. Unknown number Hai Van, ini Novan kan? Ini Novia Kamu ingat gak? Ngomong- ngomong, aku udah pindah ke kota yang sama kayak kamu. Kamu sekolah dimana? Semoga kita bisa satu sekolah ya. See you Van! Semoga kita bisa jumpa :) Novan berdecak kesal. Argh, kenapa dia baru baca chat ini sekarang? Kalau saja sedaritadi dia sudah baca, pasti dia akan mencari berbagai cara untuk ‘bolos’ hari ini. Tapi, kalau pun dia bolos, ya sama saja dia akan ketemu dengan Novia. Novan berdecak kesal. “Ck, dari sekian banyak sekolah di kota ini, kenapa di sekolahku sih?!” Gerutu Novan. Apa ini kebetulan, atau memang dia yang mencari info soal dirinya? Kan Novia agak sedikit aneh, bisa saja dia melakukan hal gila itu kan? “Nggak tahu dah, terserah!” Novan mematikan dan melempar smartphone ke atas kasur. Ia membuka laptop. Hem, mungkin lebih baik dia sibuk mengerjakan tugas. Toh, tugas dari sekolah makin hari makin menumpuk. **** Novan baru selesai mengerjakan tugasnya saat hari sudah malam. Ia merentangkan kedua tangannya untuk melakukan perenggangan. Tubuhnya kaku karena duduk terlalu lama. Tugasnya belum selesai semua sih, tapi setidaknya untuk yang di kumpulkan minggu depan sudah selesai semua. Novan mengambil smartphone dan menyalakannya. “Refreshing dikitlah. Anime baru udah keluar kayaknya deh …” Gumam Novan. Notifikasi masuk beruntun saat ia menyalakan smartphone, kebanyakan notifikasi dari grup. Novan mengabaikannya dan memilih membuka aplikasi streaming film. Ia mengambil headset dan terbuai dalam anime yang di tonton. Tapi belum selesai ia nonton, sebuah telpon masuk mengganggunya. Telpon dari sebuah nomor yang tidak ia kenal. Ia menggerutu kesal. “Ini siapa sih yang ganggu orang nonton hah?!” Gerutu Novan. Ia mematikan telpon dan lanjut menonton. Tidak sampai sepuluh menit, nomor itu kembali menelpon. Novan berdecak kesal. “Ck, ini siapa sih?” Novan kembali mengabaikan panggilan masuk itu. Akhirnya ia memilih untuk mengaktifkan mode pesawat dan menyalakan wifi, jurus ampuh untuk mengabaikan telpon yang masuk. Novan mengira, ia akan sedikit lebih tenang. Tapi ternyata ia salah. Ternyata tetap ada telpon masuk, kali ini dari kontak sosial media. Tertera nama di sana: Via Glasses. Novan dapat menebak sosok itu. “Ck, emang dah anak ini. Nggak gentar.” **** Novia berdecak kesal. Sedaritadi ia coba hubungi Novan, tapi tidak ada satupun yang di angkat. Ia SMS juga tidak di balas. Chatnya juga di abaikan. Novia gemas sendiri jadinya. Semakin susah di gapai, semakin menarik untuk ia kejar. Jarang sekali ada laki- laki yang tidak meliriknya. Biasanya ia sering mendapat perhatian dari laki- laki. Lebih buat tertarik lagi, karena laki- laki yang cuek ini adalah sosok yang tampan. “Ini anak, mubazir banget sih gantengnya,” gerutu Novia sambil menatap foto Novan. Foto Novan di sekolah lamanya yang ia ambil diam- diam. “Gimana Vi sekolah barunya? Bagus nggak?” Tanya seseorang di ujung sana. “Kayaknya sih udah banyak yang kenal kamu ya di sekolah itu.” Novia tertawa kecil. “Bagus kok sekolahnya. Yah, lumayanlah, untuk kota kecil seperti ini. Emang, biasalah ya.” Novia mengibaskan rambutnya. “Ada aja pokoknya yang nyapa, yang senyumin, ada yang minta foto. Lumayan heboh sih, kayak bukan lagi sekolah, tapi jumpa fans.” Terdengar suara tawa renyah dari ujung sana. “Ya, aku bisa bayangin. Aku juga udah duga bakalan kayak gitu. Eh tapi, katanya kamu satu sekolah sama dia ya? Gimana dia tuh? Masih kayak kulkas?” Novia mendengus. “Iya. Udah kayak kulkas sepuluh pintu tau dia! Dingin banget! Daritadi mau ajak ngobrol nggak bisa mulu, anaknya cuekin. Ngilang terus dia.” Novia menggerutu. “Terus ya, tuh ada satu orang temannya tuh, udah kayak pengawalnya tau nggak. Kemana- mana berdua terus.” “Hah? Kemana- mana berdua? Bestie gitu? Atau jangan- jangan, dia belok?” “Hush! Nggak, mana mungkin dia belok! Anak tampan begitu, normal dia kok. Cuma bestie biasa.” “Ya, kali aja. Eh, seringan yang ganteng rupawan tau yang belok! Makanya kudu hati- hati juga sama yang ganteng.” “Nggak! Dia normal tau! Terus tau nggak, yang lucunya apa? Aku ternyata satu sekolah dengan Sarah Claryson!” “Sarah? Selebheksagram itu?” Novia mengangguk. “Iya, dia. Ya ampun, anaknya songong banget tau nggak. Dia tadi cegat aku waktu pulang, terus dia ngelabrak.” Terdengar suara tawa di ujung sana. “Kasian banget lu. Masih jadi anak baru udah ada yang labrak. Bisa jadi berita nih.” “Nggak usah, biarin aja. Si Sarah sih ya, kurasa karena merasa kalah saing sih.” “Kayaknya gitu ya. Bentar deh, kalau nggak salah, si Sarah itu pernah ikutan seleksi trainee Glasses deh.” Novia terbelak. “Hah? Masa?” “Iya, dia pernah tuh. Tapi lebih duluan kamu sih, jauh. Kayaknya waktu awal dia jadi selebheksagram, dia pernah ikutan audisi trainee Glasses. Tapi dia lewatnya di tahap kedua aja, tahap ketiga udah gugur. Kayaknya aku masih ada datanya sih. Dia ikutannya sekitar tiga tahun lalu deh kalau nggak salah.” “Hah? Seriusan? Ya ampun, aku kaget banget sih asli. Nggak nyangka. Tau nggak alasannya kenapa dia nggak lolos?” “Ya.. aku nggak tahu sih. Itu kan rahasia jurinya ya. Oh ya, gimana? Kamu masih mau gaet anak itu kan?” “Ya mau dong. Masih niat banget nih, tapi anaknya aja susah banget di bujuk. Bener- bener di cuekin terus daritadi.” Novia berdecak kesal. “Semangat. Novi amah, pasti punya sejuta cara kan buat dapetinnya?” “Tenang aja, selalu ada jalan kok kalau sama Novia. Nggak akan nyerah gitu aja kok.” “Bagus. Pokoknya aku tunggu perkembangannya ya.” “Oh ya ngomong- ngomong, kan kita udah kenal lama nih ya. Kamu tahu nggak, sama anak yang namanya Kirana?” “Hah? Kirana? Yang namanya Kirana mah banyak. Kirana yang mana dulu nih?” Novia berdecak. “Ya, yang sekitar kamu gitu, yang namanya Kirana.” “Banyak. Nggak satu doang. Kenapa memangnya?” “Hem. Nggak sih, mau nanya aja. Ada di sini yang namanya Kirana, tapi entah kenapa anaknya kayak nggak asing gitu. Pak Kusmadi juga bilang kayak pernah ketemu dimana gitu, makanya aku penasaran.” “Pak Kusmadi sampai bilang gitu?” Novia mengangguk. “Hem, berarti sih itu emang kenalanmu. Mungkin teman kecilmu? Kan kamu udah banyak lupa sih ya, apalagi sejak kejadian itu.” “Diam. Aku bahkan sama sekali nggak ingat kejadian apa yang kamu maksud.” “Oh, maaf. Tapi lebih baik nggak usah kamu ingat. Udah nggak usah di pikirin, namanya pasaran, tampangnya paling juga pasaran makanya kamu ngerasa familiar.” Novia mangut- mangut. “Hem, mungkin juga ya.” ***** Novan memutuskan untuk mematikan smartphone setelah kesekian kalinya di telpon oleh Novia. Hebat sekali perempuan ini, tidak menyerah meski sudah di cuekin. Seingatnya dia sudah memblokir kontaknya, tapi kenapa masih juga bisa di hubungi sih? Sepertinya Novan harus mengganti lagi seluruh kontaknya. Repot memang, tapi ya sudahlah. Setidaknya bisa menghindari sesaat saja sudah bagus. “Abang, abang..” Terdengar ketukan pelan di pintu, di barengi dengan suara imut milik Mikel. Novan bangkit dari kasur dan membuka pintu. “Ada apa Mikel?” Novan menggendong adiknya. “Kamu ini, udah abang bilang jangan kemari. Abang takut kamu nanti malah jatuh dari tangga.” “Nggak kok bang, Mikel kan udah besal!” Mikel membusungkan dadanya dan menepuknya pelan. “Iya dah iya. Kamu ada apa kok manggil abang?” “Abang, abang di panggil mama.” Novan mengernyitkan alisnya. Hem, tumben. Kalau ibunya panggil, pasti itu dari perintah papa. Novan turun sambil menggendong Mikel. Ia melihat kedua orangtuanya sudah duduk di ruang tamu dengan pakaian rapi. “Novan, maaf ya. Papa dan mama …” “Ibu,” potong Novan. “Ya, ibu. Jadi gini bang. Papa dan ibu ada urusan malam ini, mendadak. Tantemu masuk rumah sakit, jadi kami mau menjaganya. Kami akan nginap di sana, malam ini kamu bisa jaga Mikel kan?” “Kalian nginap? Terus nanti kalau aku pergi sekolah, Mikel gimana?” “Nggak apa, nanti kak Rum datang kok. Udah ibu bilang buat datang pagi. Kami juga bakal balik secepatnya kok.” “Ya bang?” Pinta papa. Novan menghela napas panjang. “Ya, ya, terserahlah.” “Oke. Ibu udah siapin makanan kalian, termasuk buat sarapan. Nanti kamu panasin aja. Mikel udah makan malam, tinggal kamu tidurin aja ya?” Novan menganguk. “Biar mama kasih tahu, dimana letak- letak barang Mikel ..” “Nggak usah, udah tahu kok.” Lagian biasanya juga bukan kamu yang urus Mikel, lanjut Novan dalam hati. “Oh, oke. Ya udah kalau gitu, kami pergi dulu ya. Hati- hati di rumah, jangan lupa kunci pintu. Kamu nanti tidurnya di bawah aja bang, sama Mikel.” “Iya iya.” Ibu menghampiri Mikel dan mencium pipinya. “Mikel sama abang dulu ya? Nanti mama pulang secepatnya. Denger kata abang ya.” Mikel mengangguk dan menyinggungkan senyum kecil. Ia melambaikan tangan pada mereka. “Mama papa, ati- ati!” Mereka membalas lambaian tangan itu. “Jangan begadang ya. Mama papa pergi dulu!” Novan dan Mikel baru masuk ke dalam saat mobil papa sudah menjauh dari rumah. Tak lupa ia mengunci pagar terlebih dahulu dan mengunci pintu depan. Ia melirik jam dinding di ruang tamu. Sudah jam 8 malam. Perutnya mulai bergemuruh. “Mikel udah makan?” Mikel mengangguk pelan. “Abang belum makan. Abang makan dulu ya? Mikel nonton TV dulu boleh?” “Boleh, boleh!” Mikel mengangguk semangat. Novan menurunkannya di sofa dan menyalakan TV, lalu bergegas ke dapur. Ia membuka tudung saji. Ada sayur kangkung, udang asam manis, dan tempe goreng di sana. Novan mengambil satu persatu ke piring dan menambah nasi, lalu kembali ke ruang keluarga, menemani Mikel. “Abang, abang, liat!” Mikel menunjuk ke arah TV. Novan terpenjat saat melihat ternyata bukan kartun yang ia putar, melainkan siaran ulang sebuah konser. Ya ampun, dia terlalu lapar sampai lupa menyetel kartun. “Itu, itu ada gelas bang! Liat!” Novan mengernyitkan alis dan menoleh ke TV. Oh, ternyata girlband Glasses sedang tampil. “Bukan gelas, itu Glasses,” ujar Novan. “Tapi kak Lum bilangnya gelas bang!” Novan menahan tawa gelinya. Ia terpenjat kaget saat Mikel turun dari sofa dan mengikuti gerakan dance Glasses sambil bersenandung. Novan tertawa geli sambil bertepuk tangan. “Ya ampun, kok bisa kamu sih …” “Mbak Lum ajalin. Mbak Lum seling joget gitu.” Novan tertawa kecil. Ya ampun, memang anak kecil itu peniru ulung. “Mbak Lum sukanya sama yang ini! Ini! Mbak Lum bilang dia cantik!” Mikel mendekat ke TV dan menunjuk salah satu personil di sana. Novan meliriknya dan langsung membuang muka. Oh, Novia ternyata. Kenapa banyak banget fansnya ya? Novan mengambil remote dan menyetel kartun. Mikel menggerutu. “Yah.. abang …” “Nggak, anak- anak nggak boleh nonton itu. Nonton ini aja, Mikel kan suka kartun ini.” Lantunan lagu opening kartun mengalun kencang. Mikel yang tadinya cemberut seketika menjadi ceria kembali. Ia menyanyikan lagu opening sambil berjoget ria. **** Menjaga anak kecil memang tidak semudah yang di bayangkan. Ini sudah jam 11 malam, tapi Mikel belum juga tidur. Sedaritadi dia terus mengoceh, menceritakan banyak hal pada Novan. Ia juga menghamburkan kembali mainannya dari kotak mainan. Novan terengah- engah mengejar Mikel yang masih aktif berlarian di tengah malam. “Udah ya, Mikel bobok ya .. udah malem …” Pinta Novan sambil menggendong Mikel. Ia menggeleng. “Mikel belum ngantuk! Mikel masih mau main! Nggak ada mama papa, Mikel mau main!” Rengek Mikel. Novan menarik napas panjang. Ia menurunkan Mikel dan menatapnya tajam. “Ya udah kalau nggak mau. Abang mau balik ke kamar, ngantuk. Mikel sendiri ya di sini.” Novan pergi keluar kamar dan bersembunyi di balik sofa. Oke, awalnya masih aman. Hening, tidak ada suara apapun. Tak lama, terdengar suara tangis yang cukup kencang dari kamar Mikel. Novan mengintip dari balik pintu. “Abang! Abang! Huwa … abang..! Jangan tinggalin Mikel … huwa!” Mikel nangis sekencangnya. Novan akhirnya membuka pintu dan berdiri di sana. “Abang!” Mikel berlari menghampirinya. Ia memeluk Novan. “Mikel takut!” Novan menepuk- nepuk pundak Mikel. “Iya, iya. Udah, jangan nangis lagi. Ada abang di sini. Nah, sekarang kita harus apa?” “Harus tidul!” Novan mengangguk dan mengacungkan jempol. “Bagus. Nah, sebelum tidur, kita harus …?” Mikel terdiam. Ia mengernyitkan alisnya, tampak berpikir keras. “Harus sikat …” “Sikat gigi!” Sambung Mikel. “Nah. Yuk, sikat gigi dulu, biar nggak ompong. Habis itu kita tidur ya.” Novan menggandeng tangan Mikel menuju ke kamar mandi. Mikel mengangguk dan mengikuti Novan. Novan menggosok gigi Mikel agar lebih bersih, lalu menggendongnya ke kasur. Tak lupa ia menyalakan lampu tidur dan mematikan lampu kamar. “Abang, abang …” Panggil Mikel pelan. “Hem, kenapa Mikel?” “Abang celita dongeng,” pinta Mikel. Novan terdiam. Hem, dia harus cerita dongeng apa pada Mikel? “Ibu selalu celita dongeng sebelum tidul.” Ah, sudahlah. Dongeng apa saja, bebas. “Oke, tapi tidur ya.” Novan berdehem. “Jadi, pada suatu hari …” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN