Bab 16

1241 Kata
“Nggak! Nggak, nggak mau! Ngaco!” Bantah Novan. “Ayolah Van, demi kita semua kan ...” Novan mengeleng kuat. “Nggak, nggak! Ngaco! Memangnya ini kartun apa hah? Gila gila aja kalian!” Novan menolak mentah- mentah. Gisel dan Fiona saling tatap. Mereka mengernyitkan alis. “Memang idenya apaan ya?” Tanya Fiona. “Anu, itu ...” Kirana melirik Karyo. Karyo mengendikan bahunya. “Itu loh ... Mau suruh jualan gitu ...” Jawab Kirana. “Ya terus kenapa? Kan biasa aja toh jualan itu? Memangnya mau jualan apa?” Tanya Fiona. “Anu ... Itu ... Iya kita jualan kayak di pinggir jalan gitu, tapi.. Nanti si Novan yang jadi pelayannya,” jelas Kirana. “Ya, tapi Novan yang pakai baju pelayan gitu,” timpal Karyo. Mereka terbelak kaget. Mereka melirik Novan dari atas hingga bawah. Refleks, Gisel menggebrak meja. “Ini gila, tapi aku setuju!” Gisel mengajukan jempol. Fiona geleng- geleng kepala. “Agak aneh sih idenya, tapi boleh juga. Jadi kayak butler gitu gak sih,” gumam Fiona. “Kayak di anime gitu dong! Jadi maid gitu kan? Wih keren!!” Talia ikut menimpali. Dewi mangut- mangut. “Iya iya! Keren banget sih itu. Pasti bang Novan bakal lebih keren lagi pakai baju kayak gitu,” timpal Dewi. Mereka teriak kegirangan. “Iya iya! Kami setuju! Biar bang Novan jadi pelayannya!” Ujar Dewi. Talia mengangguk. “Nanti soal urusan jualannya apa gitu, makanan apa gitu, biar kami aja yang masak. Ya kan Dew?” Dewi dan Talia mengangguk bersamaan. “Kalian excited banget ya ...” Gumam Kirana. Dia tidak menyangka akan mendapatkan respon seperti ini. Karyo geleng- geleng kepala. “Memang dah cewek- cewek ini.” Novan memperhatikan mereka satu persatu. Ia menggebrak meja. Ia menatap tajam mereka. “Hei, nggak! Aku bilang enggak! Aku gak setuju! Jangan libatin aku dalam hal- hal kayak gitu! Ngaco kalian!” Kembali Novan menggebrak meja. Semua terdiam. Mereka saling lirik satu sama lain. “Udah udah. Bercanda doang Van. Bercanda doang kan tadi kita?” Karyo menyikut Kirana. Kirana mengangguk pelan. “Iya, kami becanda doang kok tadi. Selow, selow.” Kirana memperhatikan semuanya. Ia menghela napas. “Yaudah, kita jualan aja deh. Jualan gorengan aja. Jenisnya apa aja juga boleh. Dew, Tal, kalian bisa masaknya kan?” Tanya Kirana. Talia dan Dewi mengangguk. Bel masuk berdering dengan kencang. Murid- murid berhamburan masuk ke kelas. Kirana memeluk notesnya. “Oke. Kalo gitu kita sudahi rapatnya sampai di sini dulu. Selebihnya nanti kita bahas di grup chat aja ya.” Kirana bangkit dari duduknya. “Udah yuk balik kelas.” Mereka bangkit dari duduk dan kembali ke kelas masing- masing. **** Jam kosong. Kata Andi, pak Afli, guru Matematika tidak masuk. Mendadak ada urusan dan tidak ada guru pengganti. Seperti biasa, kelas kalau tidak ada guru pasti ribut. Beberapa anak ada yang pergi ke kantin, ada juga yang tetap main di kelas. Novan masih di kursinya dan mulai menjelajah sosial media. Ia berjelajah di burung biru. Dia memang tidak ada akun burung biru, akun yang ia pakai untuk menjelajah saat ini adalah akun milik Stevan. Ia tidak ingin membuat akun burung biru, cukup lihat- lihat saja dari akun Stevan. Novan asyik berjelajah, sedangkan Andi mengobrol dengan beberapa anak lain di sudut ruangan. Terdengar suara ketukan pintu. Pintu terbuka dan tampaklah seorang siswa di sana. Seketika suasana hening. Semua mata tertuju pada siswa yang berdiri di pintu. “Anu, ini ketua kelasnya siapa ya?” Tanya anak itu. Andi mengangkat tangannya. “Oh kau Ndi. Di cariin sama bu Julia tadi,” ujar anak itu memberitahu. Andi tersentak kaget. “Wayoloh. Buat salah apaan kamu sampai di panggil ke BP sama bu Julia?” Tanya Iwan. Andi mengedikkan bahunya. “Perasaan aku anak baik- baik dah, nggak ada buat masalah,” gumam Andi. “Menurut kamu kali baik, tapi enggak menurut bu Julia,” celetuk Gilang. Andi berdecak kesal. “Rese ah kau!” “Ndi buruan! Udah di tungguin!” Pinta siswa itu. “Iya iya bentar.” Andi bangkit dari duduk. Ia berdiri di depan kelas dan menatap sekeliling. “Jangan ribut kalian ya. Jangan ada yang keluar kelas. Awas kalian, ada yang keluar aku laporin ke bu Julia ini!” Suasana hening sesaat. Andi pergi keluar dengan siswa itu. Baru sebentar Andi keluar, kelas kembali ribut. **** Ini sudah setengah jam pelajaran, tapi Andi belum juga balik ke kelas. Seisi kelas mulai was- was. Bisikan terdengar dimana- mana. “Lama banget dah si Andi. Di apain ya dia sama bu Julia?” Tanya Iwan. “Emang salah si Andi apaan sampai di panggil bu Julia?” Tanya Gilang. Iwan mengedikkan bahu. “Ya kayak nggak tau aja bu Julia aja,” jawab Iwan. “Memang bu Julia gimana? Beliau siapa?” Tanya Novan. Bosan juga jelajah di sosial media. Mending dia nimbrung dengan Iwan dan Gilang. “Oh ya kamu kan anak baru. Belum tau bu Julia.” Iwan berdehem. “Bu Julia itu guru BK sekolah kita,” jawab Iwan. “Beliau galak dan tegas. Galak banget pokoknya. Sangat menegakkan peraturan pokoknya. Kalo ada yang ngelanggar, bakal di kasih hukuman nggak kira- kira sama beliau. Kadang hukumannya tuh ya, bukan kayak biasa gitu,” timpal Gilang. Novan mengernyitkan alis. “Gak kayak biasa? Maksudnya gimana?” Tanya Novan. “Biasa ya, kalo hukuman itu kan ya kayak bersihin toilet kek. Nyapu halaman, buang sampah gitu kan. Beliau enggak. Itu menurut beliau ada unsur k*******n kalau kayak gitu. Jadi beliau bikin sesuatu yang lebih unik lagi,” jelas Iwan. “Lebih unik?” Gilang mengangguk. “Iya, itu unik karena biasanya tuh hukumannya, memang buat kita jadi anak rajin dan pintar gitu. Kalau nggak di selesaikan hukumannya, bakal di tambah terus dan bakal terngiang- ngiang itu hukuman,” sambung Gilang. “Memang apaan sih hukumannya?” Tanya Novan penasaran. Hukuman apa yang bikin jadi rajin dan pintar?” “Jadi hukumannya itu ...” Belum selesai Iwan bicara, pintu di banting oleh seseorang. Semua menoleh ke arah pintu. Tampak jejeran kertas yang sampai menutupi wajah seseorang. “Gais sori ya, nggak sengaja.” Terdengar suara Andi dari balik tumpukan kertas itu. Dia jalan perlahan dan menaruh tumpukan kertas itu di atas meja guru. “Apaan tuh Ndi?” Tanya seorang siswi. “Tugas,” jawab Andi. “Dari bu Julia.” “HAH?!” Sekelas tersentak kaget. Andi tampak terengah membawa kertas sebegitu banyak. Iwan dan Gilang menoleh ke Novan. “See? Itu hukuman dari bu Julia. Bakal beliau kasih tugas sesuai dengan pelajaran yang ada di sekolah. Tapi tugasnya kalo nggak banyak, ya susah,” ujar Gilang. Novan geleng- geleng kepala. “Jadi tugasnya itu, kerjain soal yang udah di fotocopy sama beliau ini, terus di kumpulin 3 hari lagi di meja pak Afli.” Andi membagikan kertas itu ke meja- meja yang ada. Mereka terperangah melihatnya. “Kok jadi kena semua sih?! Memangnya kami ada salah apa? Kan salah kamu bukan salah kami!” Protes seorang anak perempuan, yang di susul oleh anggukan yang lainnya. “Jangan salahin aku, tapi salahin mereka.” Andi menunjuk ke arah pintu. Tiga orang anak laki- laki dan dua orang anak perempuan masuk ke dalam kelas. Mereka menundukkan kepalanya. “Mereka ketangkep sama bu Julia ke kantin, ini yang laki- laki malah mau ke kantin luar.” Sorak sorai saling menyalahkan terdengar seisi kelas. Mereka berdecak kesal. Bukan mereka yang salah, tapi semuanya kena getahnya. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN