Bab 24

3327 Kata
Novan mengerjapkan matanya. Perlahan cahaya lampu di kamar menyapa. Sepertinya ia ketiduran tadi. Ia melirik jam weker di mejanya. Sudah jam 11 malam. Pantas saja sudah sepi. Ia menggeliat dan duduk bersandar di pinggiran kasur. Ia menguap lebar. Ia ketiduran tanpa mengganti seragamnya. Perutnya berbunyi. “Hem, ganti baju dulu dah.” Novan bangkit dari kasur. Ia mencium badannya. Walaupun dia tidak kegerahan di apartemen Stevan, tapi ia merasa badannya bau dan lengket. Ia mengambil handuk dan pergi mandi. Mandi bebek saja, karena sudah terlalu malam. Tak sampai 10 menit, dia sudah selesai mandi. Ia mengambil piyama dari lemari dan memakainya. Ia melongokkan kepalanya keluar pintu kamar. Sudah sepi. Ya, memang sih jam segini sudah jam tidur di rumah. Ia mengintip ke bawah. Semua lampu lantai bawah sudah di matikan. Ia menyalakan senter di smartphone dan menuruni tangga perlahan. Ia mengendap- endap pergi ke dapur. Ia mengecek seisi dapur, berharap masih ada makanan yang tersisa. Kalau tidak ada, ya tandanya dia harus bersabar sampai pagi. Walaupun ada mie instan, dia juga tidak bisa membuatnya. Syukurlah ibu Novan menyisakan sisa makan malam di kulkas. Ia mengeluarkan ayam goreng dan sup sayur, lalu memanaskannya di microwave. Ia membuka rice cooker. Masih ada sedikit nasi, ya cukuplah untuk dirinya sendiri. Ia menuangkan nasi ke piring dan mengeluarkan lauk dari microwave. Ia membawa itu semua ke meja makan. Ia duduk di sana dan menyantap makan malam sendirian. Baru saja dia makan sesuap, pintu dapur terbuka. Ayah Novan berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. “Kenapa baru makan jam segini?” Tanya ayah Novan dengan nada ketus. “Baru bangun yah,” jawab Novan. “Oh. Ya memang asik ya tidur terus. Habis main 2 hari nggak pulang, nggak ada telpon ke rumah. Eh pulangnya langsung tidur, terus makan enak.” Ayah Novan geleng- geleng kepala. “Kamu kapan belajarnya sih? Kenapa main terus? Kamu itu udah kelas 12..” “Kelas 11 yah,” potong Novan. “Halah, sama aja. Kelas 11, kelas 12, sama aja. Itu kan udah mau dekat dengan waktu ujian masuk universitas. Kamunya malah asik main sana sini. Ayah sekolahin kamu di sana karena sekolahnya bagus, banyak anak- anak di sana yang tembus ke universitas favorit. Kamunya malah asik main sampai nggak pulang.” Ayah Novan mengomel. Novan menghela napas. “Kan Novan udah bilang, Novan kerjain tugas di rumah temen yah. Tugasnya banyak, jadi Novan nginap di sana biar cepet selesai.” Novan menjelaskan. Ayah Novan berdecak. “Halah, alasan aja! Mana mungkin kerjain tugas sampai nginap di rumah teman 2 malam hah? Tugas apaan itu memang?” “Tugas matematika yah. Soalnya banyak, cuma di kasih waktu 2 hari. Itu kami kena hukuman karena …” “Hah! Lihat itu! Baru pindah udah kena hukuman! Kamu ini ya. Ayah sekolahin kamu itu buat jadi anak pinter, baik budi, bukan jadi anak bandel yang baru pindah belum sebulan udah kena hukuman.” “Bukan gitu yah, tapi …” “Pokoknya ayah nggak mau ya sampai dapat surat panggilan dari sekolah karena kamu bandel. Baru pindah bisa- bisanya sudah kena hukuman.” Novan berdecak kesal. Ia menggebrak meja makan. Ia melirik ayahnya dengan ujung mata, lalu memalingkan wajah. “Iya dah terserah ayah. Memang Novan kan anak bandel.” Novan membawa makanannya ke dalam kamar. “Hei! Novan! Novan!” Ayah Novan memanggil dari bawah. Novan tidak peduli. Ia tetap menaiki anak tangga satu persatu dan masuk ke kamarnya sambil membanting pintu. “Huh, memang anak bandel satu itu.” Novan berdecak kesal. Ia menaruh piring ke meja belajarnya. Ia menatap kosong ke depan. “Ayah memang nggak pernah mau ngertiin,” gumamnya pelan. Ia menghela napas panjang. Ia menyendokkan nasi tanpa memakannya. Ia tidak selera makan lagi karena mendengar omelan ayahnya. “Selalu begitu. Nuduh dulu, nggak denger dulu penjelasannya. Dasar ayah.” Ia meletakkan sendoknya. “Kapan ayah berubahnya sih?” Ia melirik makanan di depannya. Ah sudahlah, dia sudah tidak selera makan lagi. Dia juga lupa bawa minum. Terlalu malas rasanya untuk turun ke bawah lagi hanya untuk ambil minum. Sudahlah. Lebih baik tidur lagi saja. Toh, tidak makan sesekali itu tidak masalah kan? **** Alaram jam weker berdering kencang. Novan meraba- raba sekeliling untuk mematikan jam wekernya. Ia melempar selimutnya ke sembarang tempat. Ia tidak bisa tidur semalaman karena perutnya yang keroncongan. Ia melirik ke meja belajarnya. Makan malamnya masih ada di sana, tanpa ada semut yang mengerumuni. Ia menuju ke meja belajar. Ia mengendus makanannya dan mencicipinya sedikit. Oke, ayamnya masih aman, tapi sup sayurnya sepertinya hampir basi. Ia memakan ayam dan nasi yang sudah dingin dengan lahap. Selesai makan, ia turun ke bawah untuk menaruh piring kotor dan mengambil minum. Sesampainya di dapur, ia melihat ibunya yang sedang menyiapkan sarapan. Ia tidak menyapanya. Ia menaruh piring di westafel dan langsung mencucinya. “Loh, tumben kamu udah bangun,” ujar ibu Novan. Novan hanya mengangguk. “Hm.” “Kamu nggak tidur ya semalam, makanya jam segini udah bangun?” Tebak ibu Novan. Novan tidak menjawab. Ia mengelap piring yang di cuci hingga bersih dan menyusunnya dengan rapi di rak piring. “Kamu cuci apaan sih? Oh ya Van, kamu makan ya sisa makan malam itu?” Novan mengangguk. “Kamu emang makan jam berapa itu?” “Jam 11.” Novan mengambil gelas dan menuangkan air dari dispenser ke sana. “Oalah. Lain kali jangan di pendem piringnya di kamar. Langsung kamu cuci dong. Kalo kamu pendem di kamar nanti jadi susah di cuci piringnya, lengket- lengket nodanya.” “Hem, iya buk.” Novan meminum airnya sampai habis, lalu menaruh gelas kosong di atas meja. “Novan mau mandi dulu.” “Ibu siapin sarapan dulu ya.” Novan mengangguk. Ia pergi meninggalkan dapur. Samar- samar dari pintu dapur, ia dapat mendengar suara menggerutu. “Ck, anak ini. Udah besar masih aja pilih- pilih makanan. Malah di buang semua lagi sup sayurnya. Tau gitu aku simpan aja buat aku sendiri di kulkas, buat makan waktu bangun subuh,” gerutu ibu Novan. Novan berdecak kesal. Semuanya sama saja. Ia kembali ke kamarnya. Ia mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Dinginnya air di pagi hari cocok untuk menyegarkan pikirannya yang membuncah sejak semalam. ***** Novan turun ke bawah setelah selesai mengenakan seragamnya. Ia melihat adiknya, Mikel, sedang di suap oleh ibunya sambil bermain balok. Mikel menoleh padanya. “Abang!” Mikel lari mendekatinya. “Eh hati- hati Kel, nanti kamu jatuh,” ujar Novan. Mikel menaiki anak tangga dengan cepat dan memeluk Novan. “Abang, abang mau kemana kok wangi banget? Kok abang rapi banget?” Tanya Mikel. “Abang mau ke sekolah Kel,” jawab Novan. “Ke sekolah? Abang ngapain ke sekolah? Mikel ikut!” “Eh, nggak boleh. Abang ke sekolah buat belajar, biar pinter. Lagian di sekolah abang itu nggak ada anak- anak. Ramenya abang- abang dan kakak- kakak. Mikel nggak ada temen main nanti.” Mata Mikel berbinar mendengarnya. Ia memeluk Novan. Ia sempat limbung dan nyaris saja terjatuh kalau tidak berpegangan pada pinggir tangga. “Mikel ikut! Mikel mau ikut! Mikel mau ketemu kakak- kakak dan abang- abang! Mikel mau main sama mereka!” Pinta Mikel. “Eh, jangan. Nggak boleh. Kakak- kakak dan abang- abang di sana tuh sibuk belajar, mereka nggak sempet temenin Mikel main. Mikel di rumah aja ya, main sama mama,” ujar Novan. Mikel cemberut. “Tapi Mikel mau ke sekolah abang …” “Mikel bisa kok ke sekolah, tapi nggak ke sekolah abang. Mikel ada sekolah sendiri, di sana banyak temen Mikel. Mereka mau main sama Mikel, belajar sama Mikel.” Mata Mikel kembali berbinar mendengarnya. “Beneran bang, mereka mau main sama Mikel?” Tanyanya antusias. Novan mengangguk. “Iya, nanti Mikel bisa main sepuasnya sama mereka.” Mikel bersorak riang. Ia turun ke bawah sambil loncat. “Mama, mama! Mikel mau sekolah ma!” Mikel menghampiri ibu Novan. Ibu Novan tersentak kaget mendengarnya. “Mikel mau sekolah? Kenapa?” Tanya ibu Novan. “Biar kayak abang!” Mikel menunjuk Novan. “Terus, terus, biar Mikel ada temen main. Kata abang, kalo di sekolah banyaak temen mainnya. Bisa main sepuasnya dengan mereka.” “Sekolah itu tempat belajar Mikel, bukan tempat main,” timpal ayah Novan yang keluar dari dapur. Ia menoleh pada Novan. “Kamu ajarin apa sih ke adik kamu? Jangan ajarin yang enggak- enggak. Cukup kamu aja yang sekolahnya main- main, jangan di turunin ke adik kamu.” Yah, lagi. Novan melengos melewati ayahnya. Tidak perduli sedikit pun. Ia memakai kaus kaki di ruang tengah. Ayah Novan menghampiri Mikel dan mencium puncak kepalanya. “Papa, papa, Mikel mau sekolah pa!” Pinta Mikel. “Iya, tahun depan Mikel ayah daftarin ke TK ya,” jawab ayah Novan. “Tapi nanti kamu kalo udah sekolah jangan asik main aja, jangan tiru abangmu. Kamu belajar yang rajin, biar pinter, oke?” Mikel mengangguk. “Iya, Mikel nanti mau belajar yang rajin biar pinter! Kayak yang abang bilang, sekolah tempat buat belajar! Tapi Mikel mau belajar, tapi belajarnya sama temen. Terus Mikel mau main sepuasnya dengan temen. Boleh kan pa?” Ayah Novan melirik Novan. Novan mengedikkan bahunya. Ayah Novan mengangguk dan tersenyum kecil. Ia mengelus pelan pipi Mikel. “Iya, boleh. Asal Mikel belajar yang rajin, Mikel boleh main sepuasnya.” “Yeay! Mikel sayang papa!” Mikel memeluk erat ayah Novan. Novan mengerlingkan matanya. Ia bangkit dari duduk. “Novan pergi dulu.” “Kamu nggak sarapan dulu Van?” Tanya ibu Novan. Novan mengeleng. “Nggak usah buk, masih kenyang,” tolak Novan halus. “Ya udah kalo gitu, ibu bawain bekal aja ya. Bentar ibu siapin dulu.” Ibu Novan bangkit dari duduk. “Nggak usah bu.” “Bawain aja bekal ma,” timpal ayah Novan. “Jangan habisin uang kamu buat jajan nggak jelas di luar sana. Mendingan kamu tabung. Ayah kasih kamu uang jajan bukan untuk foya- foya, tapi untuk keperluan kamu. Pokoknya kamu harus bawa bekal.” Novan menarik nafas dalam. “Iya ayah.” “Ya sudah, biar ibu siapin bekal kamu ya.” Ibu Novan melesat ke dapur. Novan menunggu di teras sambal memakai sepatunya. Tak lama, ibu Novan datang sambil membawa kotak bekal dan botol minum. “Ini bekal kamu ya. Sama minumnya.” Ibu Novan menyodorkan kotak bekal kepada Novan. “Masukin terus ke tasnya.” Novan mengangguk. Ia membuka tas dan memasukkan kotak bekal itu ke dalam tasnya. Ia menaruh botol minumnya di kantung pinggir tas. “Novan berangkat dulu,” pamit Novan. “Salim dulu nggak?” Tanya ibu Novan. Novan menoleh, lalu membuang mukanya. Ia melengos pergi meninggalkan ibunya. “Hati- hati di jalan.” **** Novan berusaha mengatur nafasnya sepanjang jalan. Ia merasa sedikit sesak dan jantungnya berdebar kencang. Ia mengepalkan jarinya erat- erat. Ah, ia selalu benci saat berada di rumah. Satu- satunya alasan dia untuk pulang adalah Mikel. Ia kangen dengan adik kecilnya yang selalu ingin tahu itu. Hanya Mikel yang menjadi penyejuk hatinya di rumah, meski kadang ia tidak suka jika Mikel mulai tantrum. Novan baru keluar lorong rumahnya dan mendengar suara nyaring klakson mobil. Novan menoleh dan tersentak kaget melihat mobil Stevan di sebrang jalan sana. Ia dapat melihat Stevan dari kaca mobil yang setengah terbuka. “Woi Van! Sini!” Panggil Stevan. Novan menyebrangi jalanan yang sepi dan mendekat ke mobil Stevan. “Kamu ngapain di sini Stev?” Tanya Novan. “Ya jemput kamulah!” Stevan membuka pintu mobil. “Masuk gih. Biar aku antar ke sekolah,” ajak Stevan. “Gak usah, aku naik angkot aja Stev …” Tolak Novan. “Maaf ya, aku nggak mau denger penolakan. Masuk!” “Okey.” Novan masuk ke dalam. Ia menutup pintu mobil dan memakai seat belt. Stevan memutar kunci mobil dan menekan pedal rem. Mobil perlahan maju meninggalkan lorong rumah Novan. “Kamu udah nungguin aku di situ dari kapan?” Tanya Novan. “Baru aja sih, nggak lama. Hem, 10 menit gitu mungkin,” jawab Stevan. “Pulang dengan selamat kan semalam?” Novan mengangguk. “Ada di kena omel nggak sama orang rumah?” Novan menghela napas. “Ya, ayah sih yang ngomel. Ayah kira aku pergi main makanya nggak pulang, jadi di omelin.” Novan menjelaskan. Stevan geleng- geleng kepala mendengarnya. “Suudzon aja deh ayah kamu itu. Nggak ada berubahnya memang,” komentar Stevan. “Tapi aman kan ya? Cuma di omelin doang kan?” Novan mengangguk. “Harusnya kemarin jangan kamu chat doang sih, harusnya di telpon gitu. Atau nggak video call, biar lebih percaya ayah kamu tuh.” Novan mendengus. “Memang kamu mau aku video call ayah, terus nampakin kamu gitu?” Stevan terdiam sesaat, lalu berdehem. “Sudahlah. Biarin aja. Memang peringainya begitu,” jawab Stevan. “Udah sarapan belum? Ini jam berapa ya?” Stevan melirik jam tangannya sekilas. “Oh, udah jam segini. Nggak bakal sempet sih buat turun sarapan doang. Kamu udah sarapan belum? Mau beli makanan?” “Belum sih, tapi ibu udah bawain aku bekal,” jawab Novan. “Oh, jadi kamu nggak mau beli makanan nih?” Tanya Stevan lagi. “Em, beli ajalah. Bubur ayam di simpang itu enak Van, di perempatan setelah lampu merah.” “Oke. Kalo gitu kita ke sana. Tapi di bungkus aja ya.” “Oke.” **** Mobil berhenti di dekat pintu gerbang sekolah. Novan melepas seatbelt. Ia menoleh pada Stevan. “Kenapa?” Stevan mengernyitkan alisnya. “Mau salim.” “Dih! Nggak usah! Ngapain kamu salim sama aku coba? Belum tua aku tuh!” Stevan menolak. “Yaudah dah.” Novan membuka pintu mobil dan keluar. Stevan membuka setengah kaca mobil. Ia melonggokkan kepalanya. “Nanti di jemput nggak?” Tanya Stevan. “Nggak usah, aku naik angkot aja.” “Oke. Aku jemput. Tunggu di sini atau di halte kemarin. Kamu ada sampaikan salamku ke orang rumah nggak?” “Kamu kira aku sempat kepikiran hal itu?” “Ah, ya mana mungkin kamu kepikiran sih. Ya udahlah. Nggak apa. Udah sana masuk!” Stevan menutup kaca mobil. Ia menghidupkan klakson sebelum meninggalkan lingkungan sekolah. Ia baru jalan beberapa langkah dan terdengar suara klakson motor. Ia menoleh. Tampak Andi di belakang dengan sepeda motornya. “Oi Van!” Sapa Andi. Ia membawa motornya ke parkiran. Setelah memarkir motor, ia menghampiri Novan. Novan merangkul Andi. “Ndi, udah sarapan belum?” Tanya Novan. “Kenapa memangnya?” “Kantin dulu sebelum ke kelas, mau nggak?” “Mau bangetlah!” Andi merangkul Novan. “Yuk!” Mereka pergi ke kantin. Ini masih pagi, tapi ternyata ada beberapa anak di kantin. Mereka duduk di salah satu tempat yang kosong. “Kamu pesen apa Van?” Tanya Andi. “Ah enggak, aku udah beli tadi.” Novan mengeluarkan kotak styrofoam berisikan bubur ayam. “Oalah. Bentar dah, aku mau pesen dulu.” Andi bangkit dari duduk. “Eh nggak usah!” cegat Novan. Ia mengeluarkan kotak bekal dari tasnya. “Nih, kamu makan ini aja.” “Serius nih boleh?” Novan mengangguk. “Iya. Habisin aja nih.” Novan menyodorkan kotak bekalnya. “Wah, thank you!” Andi menerima kotak bekal itu. Ia membuka kotak bekal itu dan matanya berbinar. “Wow! Chicken katsu bukan nih?” Novan melongokkan kepalanya, lalu mengangguk. Nasi yang di lapisi dengan chicken katsu, salad sayur dengan mayones, telur dadar gulung, dan potongan buah apel. Bekal yang lumayan mewah. “Ini beneran buat aku nih? Kamu nggak mau?” Tanya Andi memastikan. Novan mengangguk. “Makan aja, aku lagi pengen makan bubur ayam.” “Alhamdulillah rejeki anak sholeh!” Andi mengambil sendok. “Mari makan!” Andi memakan sepotong chicken katsu. Ia mengangguk- anggukkan kepalanya dan bersenandung. Novan tersenyum kecil. Andi tampak sangat menikmati bekal yang di bawanya. Syukurlah ia memberikan itu kepada Andi. Ia tidak ingin memakan bekal itu, tapi bakal berabe kalau dia pulang dengan bekal yang masih utuh. “Bekal enak gini kenapa nggak kamu makan sih?!” Tanya Andi di sela makan. “Nggak apa sih, bosan aja makannya,” jawab Novan. Andi terbelak. “Kebiasaan makan enak sih di rumah. Makanya udah bosen ya makan yang kayak gini- gini? Dasar, anak berada!” Novan tertawa kecil. “Nggak, nggak berada juga kok. Biasa aja. Tapi ya, kadang ibu emang kelebihan rajin kayaknya dan ada aja idenya gitu.” Andi mangut- mangut. “Oh, kukira kamu berada. Soalnya kan sering aku liat kamu di antar jemput mobil, lah aku mah panas dingin naik motor terus.” “Baru ini aja kok. Itu juga kebetulan ketemu abang. Biasanya juga naik angkot sih.” “Oh itu abang kamu ya? Yang antar naik mobil itu?” Novan mengangguk. Yah, lebih tepatnya ‘abang- abangan’ sih. “Edan, abangmu kaya yo berarti. Udah kerja toh ya? Enak dong kamu bisa minta jajanin dia.” “Ya mana bisa sering- sering minta di jajanin. Malu.” “Ya nggak apalah, kan sama adik sendiri juga. Jangan pelit- pelit sama keluarga, nanti seret rejekinya. Kata orang sih, gitu.” “Agak aneh sih, tapi nggak salah juga.” “NAH, DI SINI KAU RUPANYA! ANDI!” Terdengar teriakan meleking memanggil Andi dari ujung sana. Semua mata menoleh ke asal suara. Orang itu melangkah mendekati mereka. Wajahnya masam. “Kenapa Dindaku?” Tanya Andi dengan nada gombal. Perempuan yang di panggil Dinda itu bersungut kesal. Ia menjewer kuping Andi. “KAU NANYA KENAPA LAGI HAH?! MAU AKU TEMPELENG HAH?! SEMENTANG KETUA KELAS MALAH MANGKIR PIKET KAMU YA!” Omelan Dinda terdengar ke seluruh penjuru kantin. Kini semua mata tertuju pada kami. Andi meringis kesakitan. “Duh, aduh Din … iya maaf, maaf. Aku di ajak si Novan ini ke kantin, jadi …” “HALAH ALASAN!” Dinda semakin kuat menjewer kuping Andi. Andi semakin meringis kesakitan. “KAN BISA KAMU TOLAK. EMANG KAMUNYA AJA YANG MAU MANGKIR PIKET KAN? AKU LAPOR KE WALI KELAS NIH! BALIK BURU!” “Eh, eh, aku belum siap makannya Din …” “NANTI AJA MAKANNYA! BALIK!” Dinda menarik Andi dan menyeretnya pergi dari sana. “IH BELUM HABIS MAKANNYA! VAN, TOLONGIN!” Pinta Andi. Novan hanya mengacungkan jempol. “Good luck. Bekalnya aku tutup lagi deh, biar kamu bisa makan nanti,” jawab Novan. Andi mendengus kesal. “Bacot lu, diem! Piket dulu baru lanjut makan!” Perintah Dinda. Andi mengangguk. “Iya ibunda ratu.” **** Novan kembali masuk ke dalam kelas. Kelas sudah lumayan ramai. Andi terduduk lemas di tempatnya. Seragamnya tampak basah dengan keringat. “Udah kelar piketnya?” Tanya Novan. Andi mengangguk lemah. “Gelo memang si Dinda. Kayak ibu tiri. Baru masuk udah suruh nyapu, bersihin debu- debu di lemari, beneran kayak babu di buatnya. Mana galak banget tuh anak kayak ibu tiri. Heran, cewek tapi tenaganya nggak main- main.” Andi memijit pundaknya. Ia menghela napas panjang. “Ya kamu sih, nggak bilang kalo piket. Kan bisa aku ajak nanti makannya.” Novan menyodorkan sebotol teh dingin pada Andi. “Nih.” “Thank you!” Andi menegakkan duduknya. Ia mengambil sebotol teh dingin itu dan langsung menegaknya. “Ah, tenagaku seperti sudah kembali setengahnya.” “Setengahnya lagi kemana?” “Setengahnya lagi di bekal kamu.” Andi nyengir lebar. “Aku lanjut makan boleh nggak?” “Boleh aja sih, tapi …” KKKRIIINNGG!! “… Nanti aja waktu istirahat,” lanjut Novan. “Yah …” Andi menggerutu. “Lapar banget aku dah Van, capek nguli tadi.” “Nanti aja nanti, lebih tenang kamu makannya nggak di buru waktu.” “Lapar Van … satu suap aja plis …” Pinta Andi. “Makan buahnya aja nih, buat ganjel sementara.” Novan membuka kotak bekalnya dan memberikan cup berisi potongan buah. Andi cemberut, tapi tetap menerimanya. “Ya udahlah ya, daripada lapar.” Andi memakan sepotong apel. Tak perlu waktu lama, cup berisi potongan buah itu sudah habis. “Selamat pagi anak- anak …” Pak Gugun masuk ke dalam kelas. “Selamat pagi pak.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN