Bab 25

3216 Kata
Pertengahan jam pelajaran ketiga, pintu kelas di ketuk. Semua mata tertuju ke sana. Pak Wido, guru Fisika, berdiri tegap di sana. "Maaf saya menganggu waktunya sebentar," ujar pak Wido. "Ya, ada apa pak?" Tanya bu Lidya. Pak Wido melongok ke dalam kelas. "Oh, itu. Kamu yang anak baru. Novan kan namanya?" Pak Wido menunjuk Novan. "Saya pak?" Novan menunjuk dirinya. Pak Wido mengangguk. "Iya, kamu. Kamu bawa tas kamu sekarang ya, ada yang jemput kamu. Katanya ada hal yang genting," pinta pak Wido. "Maaf ya bu menganggu waktunya. Izin anaknya bu, udah di tungguin." "Oh ya, monggo pak." Novan mengernyitkan alisnya. Ia mengemas barang- barangnya. Semua mata kini tertuju padanya. "Ada apa kok di jemput?" Tanya Andi. Novan mengedikkan bahunya. Ia menggendong tasnya dan pergi keluar kelas. "Anu pak, siapa yang jemput saya pak?" Tanya Novan. "Hm, ada itu anak laki- laki. Sebaya anak saya katanya. Katanya masih besan sama kamu ya, gitu dah katanya. Kamu kenal?" Tanya pak Wido balik. Anak laki- laki? Novan mengeluarkan smartphone dari kantung celana dan terbelak kaget. Stevan menelponya berkali- kali, tapi tidak dia angkat karena mengaktifkan mode silent. "Ya, saya kenal pak. Tadi dia ada telpon saya, tapi nggak saya angkat." "Oh, syukurlah. Bapak takut nantinya malah orang asing yang ngaku kenal kamu. Terus kamunya di culik. Itu, dia udah nungguin kamu di meja piket." Pak Wido dan Novan pergi ke meja piket. Stevan sudah menunggu di sana sambil membolak- balikkan buku izin di meja piket. Novan menepuk pelan pundak Stevan. "Ck, kamu ini. Daritadi aku telponin kok nggak di angkat sih?" Gerutu Stevan. "Sori sori, tadi aku silent sih," jawab Novan. "Jadi kamu nggak baca chat dariku juga?" Tanya Stevan. Novan mengernyitkan alis. "Chat? Chat apa?" Tanya Novan balik. Stevan menghela napas. "Ah, ya sudahlah. Kamu pamit dulu dengan gurumu, biar kita pergi sekarang," pinta Stevan. "Anu pak, saya pamit dulu pak." Novan menyalim pak Wido. "Oh iya nak, hati- hati ya kalian." "Makasih pak, maaf merepotkan bapak. Kami pamit dulu ya pak." Stevan sedikit membungkukkan badannya. "Iya, iya, hati- hati ya kalian." Stevan membimbingku keluar sekolah. Kami menuju parkiran mobil khusus untuk guru dan tamu. Stevan mengeluarkan kunci mobil dan membuka kunci pintunya. Mereka masuk ke dalam mobil. "Memangnya kita mau kemana Van?" Tanya Novan. "Kamu inget gak, dengan yang aku bilang kemarin itu? Aku bilang kemarin itu udah janji sama bakal temuin kamu dengan seseorang kan?" Novan mengerlingkan matanya, berusaha mengingat. "Oh, yang kemarin itu ya? Tapi bukannya kamu bilang hari rabu yak? Ini kan masih hari jumat." "Ya, tadinya begitu. Tapi tadi dia konfirmasi kalau dia nggak bisa di hari rabu, jadi dia ganti mendadak dengan hari ini." Stevan melirik Novan. "Kamu tau kan kita bakal temui siapa?" Novan mengangguk pelan. Stevan menarik napas dalam. "Tenang saja, dia baik kok. Dia akan bantu kamu. Kamu harus siap dengan apapun yang terjadi ya." Novan mengangguk pelan. "Ya." **** Mereka tiba di salah satu gedung yang besar. Gedung itu tampak ramai orang berlalu lalang. Tepat di bagian atas gedung, terpampang namanya dengan jelas. Rumah Sakit Umum Medika Kencana. Stevan memarkirkan mobil di parkiran. Ia melepas seatbelt dan menarik napas panjang. "Gimana? Siap?" Stevan menoleh pada Novan. Novan bergeming di tempat. Tatapannya kosong. Stevan menghela napas. Dia yakin, Novan pasti gugup. Memang ini bukan pertama kali, tapi setiap kali ia melakukan ini gugup itu selalu datang. "Novan." Stevan menepuk pelan pundak Novan. Novan tersentak kaget dan menoleh. Stevan tersenyum kecil. "That's okay. Nggak apa. Yuk bisa yuk." Novan menghela napas panjang, lalu mengangguk. Ia mengepalkan tangannya erat. Ia melepas seatbelt dan membuka pintu mobil. "Kita ambil nomor antrian dulu ya. Berkasnya udah aku bawain semua," ujar Stevan. Novan mengangguk. Sudahlah, ikuti saja maunya Stevan kali ini. Toh untuk kebaikannya juga. "Nih, pakai ini." Stevan memberikan masker. Novan memakainya. Stevan juga memakai masker. Untung saja Stevan membawa masker ini, setidaknya dia bisa sedikit menyamar dan berharap tidak ada yang mengenalnya. Mereka masuk ke ruang tunggu. Rumah sakit tampak ramai, meski ini masih pagi. Stevan mendatangi salah satu resepsionis. "Maaf mbak, saya mau ambil nomor antrian," ujar Stevan. "Baik pak. Ada janji dengan dokter siapa ya?" Tanya penjaga resepsionis. "Saya sudah buat janji dengan pak Rizaldi," jawab Stevan. "Oh baik, sebentar." Penjaga resepsionis mengecek sesuatu di komputer. "Ada bawa berkas- berkasnya?" "Oh, ini mbak." Stevan memberikan berkas. Resepsionis memeriksa satu persatu berkas yang ada. Setelah itu ia mengetik sesuatu dan suara printer terdengar. "Ini mas, nomor antriannya. Ini berkasnya juga. Nanti mas kasih lagi ke mbak di sana. Silakan tunggu dulu ya mas." Resepsionis memberikan nomor antrian. "Makasih mbak." Novan sedikit membungkukkan badannya, lalu menghampiri Novan. "Udah dapat nomor antrinya?" Tanya Novan. "Belum. Ini untuk antri ambil nomor di poli." Stevan duduk di sebelah Novan. "Lah, kirain udah siap. Agak repot juga ya." Stevan mengedikkan bahunya. "Tunggu aja sih, ini juga nggak lama lagi." Mereka menunggu dalam diam. Novan memperhatikan sekitar. Kebanyakan yang menunggu di sini adalah kakek dan nenek yang sudah lanjut usia, bapak paruh baya, dan ibu paruh baya yang sedang menggendong anak. Sepertinya hanya mereka yang masih muda dan segar. "Nomor antrian B27." Terdengar suara panggilan dari speaker. "Itu kita. Ayo." Stevan bangkit dari duduk. Novan mengikutinya. Ia mengekorinya dari belakang. Stevan duduk di depan meja resepsionis. "Mana berkasnya mas?" Stevan memberikan berkas kepada resepsionis. Ia memeriksa satu persatu berkas yang ada, lalu mengetik sesuatu di sana. "Ini yang mau ke poli mas? Atau mas yang di belakangnya?" Tanya resepsionis sambil melirik Novan yang sembunyi di belakang Stevan. "Oh, dia mbak. Bukan saya." Stevan menunjuk Novan. Resepsionis mangut- mangut. "Mas yang di belakang boleh tanda tangan di sini." Resepsionis menunjuk sebuah pen tab di sana. Novan menelan ludah. Ia menarik napas dalam, lalu maju perlahan tanpa melepaskan tangan dari bangku Stevan. Ia menandatangani dengan cepat. Setelah itu, printer mengeluarkan nomor antriannya. "Ini mas nomor antriannya. Silakan." Resepsionis memberikan nomor antrian. Stevan mengambilnya. "Makasih mbak." Novan menarik Stevan dari sana. Stevan menggandeng Novan keluar dari ruang tunggu dan masuk ke dalam rumah sakit. Ia berkeliling mencari poli yang di daftar. "Itu Van, tapi agak ramai." Stevan melongokkan kepalanya. Ramai yang menunggu di depan poli dr. Rizaldi. Novan melongok sekilas, lalu sembunyi di belakang Stevan. "Van, ini masih lama gak nunggunya?" Tanya Novan. "Hem ... ini jam 12 ya ... ada waktu kosong 2 jam lagi sih." Stevan melirik jam tangannya. "Masih lama. Kenapa cepat banget kamu jemput aku sih?!" Gerutu Novan. "Ya, biar nggak lama nanti antrinya. Makin sore kamu pulang, di cariin nanti sama bapakmu. Lagian nggak bisa aku daftar kalo yang berkepentingan nggak ada." Novan mendengus. "Nunggu di sini 2 jam? Bosan." Gerutu Novan. "Ini udah jam makan siang sih. Kamu mau makan siang di luar dulu?" "Boleh. Ayo." **** Mereka berhenti di salah satu warung tenda di pinggir jalan yang menjajakan ayam geprek. Mereka duduk di kursi yang kosong. "Tumben kamu mau makan di sini. Kemarin makannya di tempat mewah mulu. Udah bokek ya?" Tanya Novan. "Heh! Ini langganan aku, di sini enak ayam gepreknya. Apalagi sambelnya." "Pesen apa bang?" Tanya pelayan yang datang membawa catatan kecil. "Ayam geprek sambel ijo ya mas. Minta sambel lebih ya, sambel lebihnya di pisah. Kamu apaan Van?" "Ada apa aja bang selain ayam geprek ada apa bang?" Tanya Novan. "Ada ayam geprek, terus itu ada ayam kalasan juga, ayam goreng biasa juga ada ..." "Ayam kalasan aja bang, satu. Minumnya es teh tawar." "Oh ya, saya es teh manis ya mas." "Oke mas." Pelayan pergi meninggalkan mereka. Novan memperhatikan sekitar. Ini jam makan siang, jadi ramai karyawan kantor di sini. Bau rokok menyebar dan menusuk hidung Novan. Meski tertutup masker, tapi bau rokok itu masih tercium jelas. Ia terbatuk. "Kamu nggak apa?" Tanya Stevan. Novan mengangguk. "Banyak banget yang merokok di sini. Ini bapak- bapak, apa nggak tahu ya bahaya ngerokok apa? Bakar- bakar duit aja. Udah gede kok nggak sadar sih," gerutu Novan. Stevan tertawa kecil mendengarnya. "Yah, namanya juga udah candu. Udah ketergantungan, jadi susah buat lepasinnya." Novan berdecak kesal. Ia menatap tajam Stevan. "Kamu ngerokok nggak Stev?" Tanya Novan. "Hah? Ya enggaklah. Enak aja. Mana mungkin aku ngerokok elah, apa itu asap- asap nggak jelas itu ..." Novan menatap Stevan lamat- lamat. "Bener nih kan? Kamu nggak bohong?" Stevan mengangguk mantap. "Iyalah. Aku juga nggak suka orang merokok kok, jadi ngapain aku ngerokok? Jangan- jangan kamu pula lagi yang ngerokok?" Tanya Stevan balik. Novan mendengus. "Ya enggaklah! Aku bersih kok, nggak ngerokok, nggak mabok, nggak make." Novan menepuk dadanya dengan bangga. Stevan hanya mangut- mangut. "Iya deh iya, memang kamu keren deh." Stevan mengacungkan jempolnya. "Pesanannya mas ..." Seorang pelayang datang sambil membawa nampan berisi pesanan mereka. Ia menaruh pesanan itu satu persatu di atas meja. "Makasih ya bang." Pelayan itu mengangguk dan pergi meninggalkan mereka. "Ayo makan." Stevan mencelupkan tangannya ke mangkuk berisi air kobokan. Novan melakukan hal yang sama. "Van, kamu nggak takut kan masuk ke poli nanti?" Tanya Stevan. Novan yang hendak menyuap makanannya langsung berhenti dan menatap Stevan. "Kita lihat saja nanti. Semoga saja aku berani." ***** Mereka tiba di Rumah Sakit Umum Medika Kencana pukul 14.30 WIB. Mereka terlambat setengah jam dari waktu yang di tentukan. Semakin ramai orang yang menunggu di dekat poli. "Lah, makin ramai ya ternyata. Aku kira poli begini bakal sepi," gumam Stevan. Novan mengangguk. Ia menoleh ke layar TV yang menampilkan antrian yang ada. "Waw, rame juga ya. Itu sampai nomor 29," gumam Novan. "Kita nomor berapa tadi Stev?" Stevan merogoh kantung celananya. "Hem, nomor 17. Ini masih nomor ... 13? Hem, masih agak lama ternyata ya." "Loh? Kan tinggal 4 nomor lagi toh? Harusnya kan cepet Van." "Ya, doain aja cepet. Tapi aku nggak yakin sih. Duduk ajalah dulu sambil nunggu." Stevan menoleh ke belakang. "Tuh di belakang sana kosong." Stevan menunjuk ke kursi paling belakang. Mereka duduk di sana. Novan memperhatikan sekeliling. Ramai. Ia benci keramaian ini. Ramai yang asing dan tidak ramah. Keringat dingin mulai mengucur. Ia mengusap- usap kedua tangannya. "Nggak apa, nggak bakal kenapa- kenapa kok. Tenang aja." Stevan menepuk pundak Novan pelan. "Nggak sendiri, ada aku." Novan mengangguk pelan. Ia menarik napas dalam- dalam. Tak apa, tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Semuanya akan baik- baik saja. Novan terus mengepalkan tangannya yang mulai dingin. Ia menundukkan kepalanya. Ia menggaruk jempolnya dengan kuat. Stevan mengeluarkan Ipad dari tasnya. "Maaf ya Van, aku urus kerjaan sebentar." Novan mengangguk. Stevan tampak sibuk menyelesaikan pekerjaanya. Novan menatap langit- langit. Bosan. Dia mengeluarkan smartphone. Sepertinya nonton satu episode anime tidak ada salahnya, sambilan menunggu. Novan terbuai dengan anime yang ia tonton. Menit demi menit berlalu, hingga terdengar suara dari speaker. "Nomor B17. B17." "Van, Van, giliran kita!" Stevan mengguncangkan bahunya pelan. Novan tersentak kaget. Ia melepas headset yang di pakai. "Kenapa Van?" Tanya Novan linglung. "Ini udah giliran kita Van!" "Nomor B17." Speaker kembali mengumumkan. "Oh." Novan langsung bangkit dari duduk. Ia menyimpan smartphone ke dalam kantung celananya. Mereka terburu- buru dan tanpa sengaja, Novan menyenggol seseorang. "Ah, maaf ..." Novan menoleh. "Oh iya mas. Nggak apa." Novan terbelak kaget. Keringat dingin mengalir deras. Pandangannya mulai kabur dan ... "Novan! Novan!!" Samar- samar ia melihat wajah panik Stevan, sebelum pandangannya mulai gelap. **** Novan mengerjapkan matanya. Silau cahaya lampu menyapa. Samar ia melihat gorden besar. Tercium bau menyengat dari segala penjuru. Bau yang tak pernah ia suka. "Novan? Van? Novan!" Terdengar suara Stevan memanggilnya. "Ste ... Stevan..?" Stevan memeluknya erat. "Ya ampun. Syukurlah kamu udah sadar." Novan melepas pelukan. "Stev... Aku kenapa?" Tanya Novan linglung. "Kamu tadi nggak sengaja nyenggol orang, terus pingsan. Jadinya kamu di gotong ke dalam." Stevan menjelaskan. Ah, Novan ingat. Tadi dia buru- buru sebelum nomor antriannya terlewat dan dia tidak sengaja menyenggol seorang perempuan. Dia pingsan saat melihat perempuan itu menoleh padanya. Novan celingak celinguk. Tidak ada orang lain selain Stevan di sana. "Mbak yang tadi minta maaf. Dia tadi ikut anterin kamu kemari. Dianya tadi juga mau temenin kamu sampai sadar, tapi aku larang. Jadi dia pamit pulang duluan, dia bilang maaf kalau dia bikin kamu pingsan, katanya." Stevan menjelaskan semuanya. Novan menghela napas panjang. "Padahal itu bukan salah mbaknya ..." Gumam Novan pelan. "Ya, aku tahu." Stevan menepuk pundak Novan. "Aku ngerti, mereka yang belum ngerti." "Oh, kamu sudah sadar?" Tanya seseorang di belakang Stevan. Mereka menoleh. Seorang dokter paruh baya dengan jas putih menyapa mereka. "Gimana kondisi kamu nak? Mereka pada kaget karena kamu tiba- tiba pingsan begitu," tanya dokter itu. "Anu, anda ..." "Oh ya. Maaf saya belum memperkenalkan diri. Saya dokter Rizaldi, spesialis penyakit jiwa." "Ini dokter kenalan aku. Pamannya temanku waktu sekolah," jelas Stevan. Novan mangut- mangut. "Ini yang kamu ceritain ya Stev?" Tanya dokter Rizaldi. Stevan mengangguk. "Iya dok." "Anu dokter, apa pasiennya sudah sadar?" Tanya seseorang di belakang dokter Rizaldi. Ia melongokkan kepala. Seorang perawat perempuan yang masih muda dan cantik. Novan menelan ludah. Keringat dingin kembali mengucur deras. Pandangannya kembali buram. Ia pingsan untuk kedua kalinya. **** Novan mengerjapkan matanya. Samar- samar ia melihat wajah panik Stevan. "Van! Van!" Stevan memanggilnya berkali- kali. Novan membelakkan mata. Ia bangkit dari duduknya dan terantuk dengan jidat Stevan. Stevan meringis kesakitan. "Ah, maaf Van." Stevan mengangguk. "Iya, gak apa kok, gak apa," ujar Stevan. Novan menghela napas panjang. Ia duduk meringkuk di kasur dan membenamkan wajahnya di sana. "Maaf, maaf... Maaf dok ... Saya merepotkan ..." Gumam Novan pelan. Ia sesengukkan. "Maaf dok .. Maaf ... Saya pingsan berkali- kali ... Saya ... Venustraphobia dok ... Saya takut perempuan ..." Hening sesaat. Stevan menggenggam tangan Novan. Ah, Novan malu sekali. **** Novan duduk meringkuk di kasur. Ia berusaha mengatur napasnya. Hanya ada dirinya, Stevan, dan dokter Rizaldi di ruangan ini. "Semua perawat sudah saya suruh keluar. Saya suruh security jaga di depan, jadi tidak ada yang masuk ke dalam ruangan," jelas dokter Rizaldi. "Maaf dok merepotkan .." Gumam Novan. "Tak apa. Demi keselamatan pasien juga toh. Kita pindah mau gak? Duduk di sana." Dokter Rizaldi menunjukkan meja konsultasi di sebelah kasur. Novan mengangguk pelan. "Baiklah. Sini saya bantu turun dulu." Dokter Rizaldi membopong Novan turun dan duduk di kursi pasien. Dokter Rizaldi tersenyum simpul. "Kamu juga duduk aja Stev," pinta dokter Rizaldi. "Oh ya, makasih dok." Stevan duduk di sebelah Novan. "Jadi, maaf sebelumnya. Nak Novan ini berapa ya umurnya? Nama lengkapnya?" Tanya dokter Rizaldi. "Saya Novan Andriansyah, umur 16 tahun." Dokter Rizaldi mencatat. "Hum, masih SMA ya. Kalo umur 16, berarti SMA kelas ..." "Kelas 11, pak." Dokter Rizaldi mangut- mangut. "Oke. Jadi, kamu ... Em, pengidap venustraphobia ya ..." Novan mengangguk. "Anu ... Ini hanya analisa saya saja awalnya dok, saya hanya lihat lewat internet." Novan menjelaskan. "Sebenarnya self diagnose itu nggak baik, tapi terkadang itu bisa membantu untuk ketemu dengan profesional." Dokter Rizaldi berdehem. "Tapi melihat reaksimu tadi, ya, seperti itu memang. Kasus seperti ini jarang ada, bukan berarti tidak ada. Biasanya lebih banyak di idap oleh laki- laki." "Dan biasanya ini di sebabkan karena adanya trauma di masa lalu yang membekas dan terbawa hingga sekarang." Dokter Rizaldi menatap Novan lamat- lamat. "Sudah berapa lama kamu merasa takut seperti ini? Apa kamu takut dengan semua perempuan?" Tanya dokter Rizaldi. Novan terdiam. Dia tidak ingat kapan dia merasa takut seperti ini. Dulu dia tidak begitu. Ya, dulu. "Saya .... Saya tidak takut dengan semua perempuan dok. Hanya saja, saya lebih memilih menghindar. Saya tidak ingin dekat dengan mereka, nanti mereka malah menjauhi saya karena mengidap itu." Dokter Rizaldi mengangguk dan mencatat yang Novan jelaskan. "Hem, baiklah. Saya mengerti. Menghindar demi kebaikan. Ya, ya." "Anu dok, dia ini murid baru di sekolahnya. Keluarganya baru pindah dari luar kota." Stevan memberitahu. "Oh, begitu. Gimana sekolah barunya? Udah dapat temen belum? Kalo kamu ganteng gini mah, kayaknya banyak yang mau temenan samamu ya," tanya dokter Rizaldi beruntun. "Ah eh.. Ya .. Udah dapat sih, sedikit. Saya nggak tau mereka mau temenan atau nggak dengan saya, karena saya nggak mau nyapa mereka." "Oh, masih malu ya. Masih agak segan gitu ya. Tapi gak apa sih, sapa aja mereka. Temenan aja sama yang cowok- cowoknya." Novan mengangguk. "Ya, sudah mulai sih dok.." "Bagus itu. Pertahanin. Agak susah memang jadi anak baru, apalagi yang pindahnya jauh gitu ya. Tapi kamu ganteng gitu, pasti ada yang mau kenalan sama kamu juga dong yang perempuannya?" Tanya dokter Rizaldi. Kali ini Stevan yang mengangguk. "Oh ada dok. Saya ada lihat tuh, waktu jumpa dia pertama kali. Dia di ajak kenalan dengan cewek cantik, selebgram pula. Tapi dianya malah kabur sama saya." Dokter Rizaldi tertawa kecil. "Ya, namanya juga takut sih. Tapi hebat juga bisa gaet selebgram segala." Novan nyengir. Ia menyikut Stevan dan menatapnya dengan tatapan tajam. "Oke. Jadi kamu belum tahu ya kapan phobianya ada. Karena phobia biasanya ada penyebab pendukung di belakangnya ya. Hem .. Apa akhir- akhir ini ya, kamu ada ngerasa kayak ... Sering melamun? Gelisah?" Tanya dokter Rizaldi. Novan mengangguk. "Kadang keringat dingin kan ya? Atau kayak mules gitu kan? Kamu mudah lupa nggak?" Tanya dokter Rizal beruntun. "Hem.. Kalau mudah lupa, saya sendiri merasa saya pelupa dari dulu .." "Hem, hem, baiklah. Saya paham." Dokter Rizaldi mencatat semuanya. "Lalu, bagaimana rasanya pindah ke tempat baru?" ***** Mereka berada di ruangan selama satu jam. Dokter Rizaldi sangat ramH dan friendly. Tadinya Novan canggung untuk menceritakan hidupnya, tapi dia malah menceritakan banyak hal. "Jadi, ini resepnya ya .. Kalian tembus saja nanti di apotik. Oh ya, kertas antriannya jangan sampai hilang. Nanti di minta bukti kalau udah bisa di ambil obatnya," jelas dokter Rizaldi. Ia memberikan kertas resep obat kepada Novan. "Makasih dok." Novan menerima kertas resepnya. Dokter Rizaldi tersenyum simpul. "Gak apa, jadi orang yang ramah aja, biar banyak dapat temennya. Sapa temen- temen kamu." "Iya dok. Makasih banyak ya dok. Pamit dok." Novan membungkukkan badannya. Mereka berjalan menuju pintu. "Anu. Stevan?" Panggil dokter Rizaldi. Stevan menoleh. "Ya dok?" "Kamu walinya kan? Bisa kita bicara sebentar?" **** Novan menunggu Stevan di apotek. Syukurlah apotek tidak terlalu ramai, jadi dia bisa mendapatkan obatnya lebih cepat. Stevan datang tak lama kemudian. "Udah ada ya obatnya? Cepet." Novan mengangguk. Ia menyimpan obatnya di dalam tas. "Yuk balik. Aku antar kamu pulang ke rumah ya," pinta Stevan. "Kamu tadi kemana? Kok lama?" Tanya Novan. Stevan menghentikan langkahnya. "Aku ke kamar mandi tadi, sakit perutnya. Kayaknya karena kebanyakan makan sambel tadi." Stevan nyengir lebar. Novan mendengus. "Kan. Makanya, inget tuh perut udah lebih tua dari umur." Stevan tertawa kecil. "Iya ya, perutku tua duluan sebelum waktunya." **** "Anda walinya Novan kan?" Tanya dokter Rizaldi. Stevan mengangguk. "Iya dok. Ada apa ya?" Tanya Stevan balik. Dokter Rizaldi berdehem. "Begini Stev. Kasus seperti Novan ini, jarang ada, dan juga jarang ada obat- obatnya. Tadi saya meresepkan vitamin saja, vitamin otak. Karena saya rasa dia membutuhkan itu. Tapi saya tidak bisa menyembuhkannya begitu saja. Saya rasa, Novan membutuhkan bantuan psikolog, untuk terapi lebih lanjut." Stevan terdiam. Dokter Rizaldi menyodorkan kartu nama. "Ini kartu namanya. Ada alamat praktiknya juga di sana. Maaf. Saya rasa dia lebih membutuhkan ini. Kalau kamu mau ke sana, saya akan menghubungi beliau dan membuat janji untuk kalian." Stevan melihat kartu nama itu. Wirawan Gustian, M. Psi., Ph.D. "Dia lulusan terbaik dari universitas di luar negeri. Sepertinya dia lebih bisa membantu dengan banyaknya ilmu yang ia dapat." Stevan menghela napas dan mengangguk. "Baik dok. Terima kasih. Saya akan coba ke sana." Stevan melirik Novan yang duduk di kursi depan. Ia terbuai kembali dalam anime yang di tonton. Stevan menghela napas panjang. Bagaimana dia akan mengajak Novan ke psikolog? ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN