Bab 40

2111 Kata
Aku mendorong Kara kencang hingga ia terpental menabrak dinding belakang kelas. Kara meringis kesakitan sambil memegang lengan kanannya yang duluan menyentuh dinding. “Apa maksudmu hah?!”Tanyaku membentak. Aku mulai muak dengan tingkah laku Kara. Belum juga seminggu aku mengenalnya, tapi tidak ada sifat baik yang dapat kupetik darinya. Sejak awal dia sudah membuatku naik darah dengan mengatakan hal- hal buruk tentang papa yang belum tahu benar atau tidaknya. “Apa maksudmu ngatain papaku hah?! Kamu ada dendam apa sih denganku?! Aku nyari masalah denganmu juga enggak!” Aku membentaknya. Aku mengeluarkan unek- unek. Seisi kelas mengerumuni kami, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Bisik- bisik memenuhi ruangan sambil menatap kami penuh curiga. “Teh, udah Teh. Malu di liatin orang ...” Sheila berusaha merelai. Ia menarik tanganku. Aku menepisnya dengan kasar. “Diem Shei! Biar aku selesain urusan aku sama si santan Kara ini!” Aku membentak Sheila. “Tapi Teh ..” Sheila kembali membujuk. Ia masih berusaha menarik tanganku menjauh dari sana. Aku kembali menepisnya. Tidak, aku harus menghabisi anak ini. Dia yang bikin aku jadi kepikiran dengan perkataannya dan membuatku berburuk sangka ke keluarga sendiri! “Kasar banget sih jadi cewek, mainnya begini,”ujar Kara. Aku menatap tajam Kara. “Kamu yang bikin aku jadi betingkah kasar gini!”Balasku marah. Aku menarik kerah baju Kara. Aku menatapnya lamat- lamat dengan tatapan tajam, seakan ingin membelah badannya menjadi beberapa bagian dan memberikan potongannya pada burung pemakan bangkai. Layak banget si Kara ini memang jadi bangkai. “Ya ampun, tingkahmu kayak anak kurang ajar banget ya,”gumam Kara. Dia membalas balik tatapan tajamku. “Sama seperti ayahnya,”lanjut Kara. Kara menyinggungkan senyum sinis. “KAU YANG KURANG AJAR!”Bentakku penuh amarah. Tanganku sudah melayang untuk menampar Kara kuat, tapi hal itu terhenti saat pintu kelas terbanting kasar. “Apa apaan ini?!”Bentak seseorang di pintu kelas. Semua menoleh ke asal suara. Pak Arya berdiri di depan kelas. Ia berkacak pinggang sambil membawa batang kayu bambu tipis kemana- mana. Beliau adalah guru BK sekaligus guru Budi Pekerti. Sudah tugas beliau berkeliling sekolah setiap paginya untuk menjaring murid- murid yang nakal. Apes, hari ini pak Arya melewati kelas mereka di lantai 3 ini. “Ada apa ini?! Kenapa pada berkerumun?!”Tanya pak Arya. Beliau menyibak kerumunan. Sialnya, pak Arya menyaksikan aku menampar Kara karena amarah yang begitu memuncak. Suasana hening sesaat, sebelum akhirnya ... “ALTHEA MIRANDA PUTRI!” Ya, teriakan dari pak Arya memecah keheningan. Aku menoleh saat di panggil pak Arya. “Kalian berdua, ikut saya ke BK. SEKARANG!” **** Suasana ruang BK tampak mencekam, semakin merasa mencekam dengan dinginnya AC di ruangan itu. Pak Arya menatap kami intens dan penuh curiga. Beliau duduk di kursinya dengan tangan di lipat ke d**a dan jarinya yang mengetuk meja. Aku dan Kara sama- sama terdiam di tempat. Kami duduk di depan pak Arya. Kami saling lirik. Pipi Arya tampak merah dan bercak tanganku meninggalkan jejak di pipi putihnya yang mulus itu. Rasain! Pak Arya mengambil napas panjang dan membuangnya perlahan. Tampak beliau berusaha mengontrol emosinya. “Jadi... Bisa kalian ceritakan ke bapak apa yang terjadi?”Tanya pak Arya tenang. “Dia ngatain papa saya pak! Dia bilang papa saya kurang ajar!” Aku mengadu. Aku menunjuk Kara. Kara yang di tunjuk tampak kaget. Pak Arya menatap Kara yang memegang pipinya yang merah bekas tamparanku. “Maaf nak, bapak belum kenal kamu. Kamu anak baru ya?”Tanya pak Arya. Kara mengangguk. “Namamu siapa kalau bapak boleh tau?”Tanya pak Arya lagi. “Nama saya Bayani Janari Dakara pak, panggil saja Kara.” Kara memperkenalkan dirinya. Pak Arya mangut- mangut mengerti. “Jadi nak Kara .. Apa benar yang dI katakan Teh tadi? Kamu yang ngatain papanya dia kurang ajar?”Tanya pak Arya. Kara menarik napas panjang. “Bukan begitu pak maksud saya,”jawab Kara santai. Aku mengernyitkan alis. Apa maksud anak ini?! “Jadi bagaimana maksudmu?”Tanya pak Arya. “Teman saya ini, Althea, salah tangkap agaknya pak,”jawab Kara. “Saya bermaksud untuk ikut lomba coding yang akan di adakan nanti. Begitu tahu bahwa ayahnya yang membimbing lomba itu, saya bilang kalau saya ingin di ajarkan oleh ayahnya karena merasa masih kurang,”jelas Kara. Aku melongo. Waw, luar biasa sekali anak inI ya ngelesnya. Luar biasa. “Memangnya kamu bilang gimana ke Teh, kok bisa dia salah paham begitu?”Tanya pak Arya lagi. “Saya bilang, ‘aku mau dong di ajarin papamu. Soalnya kurang di ajarin sama guruku’. Lah terus dia malah marah sama saya,”jawab Kara. Aku semakin melongo. Waw, luar biasa sekali memang anak ini. Bisa- bisanya dia mengelak seperti itu? Sangat tidak logis! Aku berdecak dan geleng- geleng kepala. “Gila, t*i banget ya kau. Bisa bisanya ngeles,”ujarku sambil bertepuk tangan. Pak Arya menatapku tajam. “Althea, jaga ucapanmu!”Perintah pak Arya galak. Aku mendengus sebal. Bodoh amat dah. “Begitulah pak. Mungkin Althea salah tangkap. Mungkin dia dengarnya kurang ajar, bukan kurang di ajar. Mungkin dia tidak pernah mendengar kata itu sebelumnya,”ujar Kara. Aku melongo semakin lebar. Aku menggebrak meja kencang. Kesal karena di tuduh macam- macam. Rasanya ingin kepelintir saja itu mulut si Kara. “Heh! Kalo ngomong tuh jangan sembarangan ya! Kurang ajar kali kok kau hah?! Aku gak ada sebodoh itu ya taik!”bentakku sambil menunjuk Kara tepat di depan hidungnya. Kara sedikit menjauhkan diri dan menyingkirkan jari telunjukku di depannya. “Ya ampun, Althea. Aku kan sudah minta maaf tadi di kelas. Kenapa kamu begini denganku? Memangnya aku punya salah apa denganmu?”Tanya Kara dengan tampang tanpa rasa bersalah. Aku kembali menarik kerah bajunya. “Harusnya aku yang bilang begitu! Salah apa aku sama kau hah? Udah kau katain papa kurang ajar, ka bilang juga aku kayak gitu! Ngeles pulak lagi kau. Seakan kau korbannya. Mau kau apa hah? Salah apa aku sama kau memangnya?! Kau bilang!” Amarahku semakin memuncak. Aku menarik kerah baju Arya semakin kencang. Kara menepuk- nepuk lenganku. Wajahnya tampak kesakitan. “Sesak... Sesak ...”Gumam Kara pelan. BRAK! Pak Arya menggebrak meja menggunakan kayu bambunya. Beliau menggebrak dengan keras sehingga kayu bambu itu tampak rusak. Wajah pak Arya tampak memerah. Beliau menatap kami dengan tatapan penuh amarah. “CUKUP! BERHENTI!”Teriak pak Arya. Kami terdiam. “Bisa- bisanya kalian berantem di ruang BK. Mau kena SP kalian?!”Bentak pak Arya. “Althea, kamu lepaskan si Kara!”Perintah pak Arya. Aku mendorong Kara hingga ia jatuh terduduk di kursi. Pak Arya menarik napas dalam- dalam, lalu membuangnya. Beliau menghela napas panjang. “Oke, baiklah. Saya anggap ini hanya salah paham semata saja, tapi terlalu merembet jauh hingga terpancing emosi,”ujar pak Arya. What? Salah paham? “Tapi bukan berarti kalian tidak mendapatkan hukuman. Jelas kalian salah, sudah berantem di kelas, lanjut pula di ruang BK. Karena itu bapak akan mengatur hukuman untuk kalian,”lanjut pak Arya. “Kalian saya hukum untuk membantu mang Jajang membersihkan sekolah selama 5 hari penuh. Saya biarkan mang Jajang memberikan tugas membersihkan apa saja kepada kalian,”jelas pak Arya. Aku melongo. Apa? 5 hari? Aku tIdak pernah dapat hukuman selama itu! “Pak, kenapa 5 hari? Itu kan terlalu lama!”Protesku. “Oh, mungkin kamu lebih senang ya kalau bapak kasih SP ke orangtuamu?”Tawar pak Arya. Aku mengeleng kencang. Bisa di usir dia dari rumah kalau dapat surat SP dari sekolah. “Tidak pak,”jawabku pasrah. Pak Arya tersenyum tipis. “Baiklah. Kalian sudah boleh balik. Untuk nak Kara, sebaiknya kamu ke UKS dulu untuk mengobati pipimu,”perintah pak Arya. “Baik pak.” **** Aku berjalan menyusuri lorong kelas. Kara menyusul di belakangku. Aku berjalan dengan langkah yang berat. Kesal. Kesal. Kesal! Bisa- bisanya pak Arya lebih percaya dengan anak baru s****n ini. Apa karena dia anak baru, jadi track record nya masih kosong? Beda denganku yang track record nya sudah penuh karena sering terlambat dan membolos. Sepanjang jalan aku menggertakkan gigiku. Kesal! Kesal! “Kamu gak mau temenin aku ke UKS?”Tanya Kara. “Gak sudi!”jawabku kesal. “Tapi aku gak tau dimana UKS,”ujar Kara. “Lagian, kamu kan yang tampar aku,”lanjut Kara. Aku berhenti dan membalikkan badan. Aku berjalan mendekati Kara dan menatapnya lamat- lamat. “Chill girl, kamu gak mau kena SP kan?”Tanya Kara. Aku menatapnya tajam. “Aku gak akan nampar kamu, kalau bukan kamu duluan yang mancing emosi,”jawabku. “Ini kutahan. Lihat nanti, sekali lagi kau nyari gara- gara, kubuat kau masuk rumah sakit!”ancamku. Aku membalikkan badan dan melangkah menjauhi Kara. “Kamu jadi gak mau temani aku?”Tanya Kara lagi. “Gak!”Jawabku ketus. “Kamu tega liat aku nyasar?”Tanya Kara lagi. “Bodo amat. Ilang aja kau sana di hutan!” **** Aku tiba di kelas saat guru sedang mengajar di kelas. Tanpa memperdulikanku, beliau lanjut mengajar tanpa bertanya aku darimana. Sepertinya yang lain sudah memberitahu kalau aku habis dari BK. Aku duduk di bangku dan mengeluarman tablet pribadiku. Kali ini pelajaran Sosiologi yang diajarkan oleh bu Latifah. Beliau guru yang cuek, lebih memilih menjelaskan pelajaran hingga tuntas daripada tanya jawab dengan murid. Aku memakai earphone dan menyalakan playlist lagu di Quirk, aplikasi musik favoritku. Aku memperhatikan penjelasan bu Latifah dengan tatapan kosong. “Sepertinya bangku di belakang sana ada pemiliknya, tapi kenapa kosong?”Tanya bu Latifah sambil menunjuk bangku Kara di belakangku. Tas Kara tergeletak begitu saja di bangku. “Permisi.” Pucuk di cita ulam pun tiba. Baru saja di tanyakan, Kara sudah tiba di depan pintu kelas. “Maaf bu saya terlambat,”ujar Kara. Tampak pipi Kara yang memerah di tempel dengan kain kasa yang memenuhi pipinya. “Ya ampun, pipi kamu kenapa nak?”Tanya bu Latifah. “Berantem buk. Tadi di tampar sama Althea,”jawab Freya. Bu Latifah menatapku. “Apa benar itu nak Althea?”Tanya bu Latifah. Aku mengangguk pelan. s****n, Freya cepu banget. Bu Latifah geleng- geleng kepala. “Kalian ke sekolah itu untuk belajar, bukan untuk berantem,”ujar bu Latifah. “Apa kalian ketauan sama pak Arya?”Tanya bu Latifah lagi. “Iya bu. Tadi pak Arya masuk ke kelas. Mereka di bawa ke BK,”jawab Karina. Ini ya, geng Freya ini isinya anak cepu semua. “Ibu yakin kalian pasti sudah dapat hukuman dari pak Arya. Jangan kalian ulangi lagi ya?”Pinta bu Latifah. “Iya bu,”jawabku dan Kara berbarengan. “Sudah nak, kamu balik ke bangku. Kita lanjutkan pelajaran hari ini.” Bel pergantian pelajaran berbunyi. Buk Latifah merapikan barang- barangnya dan memasukkan ke dalam tas. Tanpa berpamitan, beliau keluar kelas. Beliau tampak begitu terburu- buru. Sheila menghampiriku. Dia menarik kursinya ke sebelahku. “Tadi gimana di BK?”Tanya Sheila tanpa basa- basi. Aku berdecak kesal. Kenapa Sheila nanyain sih? “Oke, kayaknya kamu masih kesal,”ujar Sheila. Ia pergi ke mejanya, mencari sesuatu di laci meja. “Kamu mau gak?”Tanya Sheila sambil menyodorkan sebungkus roti coklat dari toko roti langgananku. Tanpa menjawab, aku langsung mengambilnya dari tangan Sheila. Aku membuka bungkusan roti dengan kasar dan memakannya dengan lahap. Jujur saha perutku lapar. Tenagaku habis rasanya. Emosiku tad menguras begitu banyak energi. “Aku udah duga sih kamu pasti lapar. Kan selalu begitu, habis marah marah bawaan kamu pasti lapar,”ujar Sheila. Memang Sheila yang paling mengerti. “Makan dulu sampai habis, nanti baru cerita,”perintah Sheila. Aku mengangguk dan memakan roti itu dengan lahap. Tak lama, roti itu sudah habis tak bersisa. Sheila memberikanku botol minumnya. Aku meneguk isi botol minum hingga tersisa setengah. “Jadi gimana? Udah siap untuk cerita?”Tanya Sheila. Aku mengangguk. Aku menceritakan semuanya. Semua yang terjadi selama di BK. Tanpa terlewatkan, terutama saat Kara ngeles. Aku menceritakannya dengan berbisik, tak ingin Kara atau siapapun mendengarnya. Sheila mendengarkan ceritaku sambil mangut- mangut. “Wah gila,”ujar Sheila. “Luar biasa ya ngelesnya,”lanjut Sheila. “Ya kan? Kesel banget ga sih?!”Ujarku. Sheila mengangguk setuju. “Terus gimana hukumannya? Belum ada di kasih ya? Kok sama mang Jajang sih ...”Tanya Sheila. Aku mengeleng. “Belum tau. Kayaknya kerja bakti beresin sekolah sih. Duh males banget deh,”gerutuku. Gara- gara Kara s****n. “Nanti pulang telat dong?”Tanya Sheila. “Mungkin, gak tau juga ya,”jawabku. “Ya udah, nanti aku tungguin deh sampai kamu selesai.” Sheila menawarkan diri. “Beneran Shei?”Tanyaku memastikan. Sheila mengangguk. Aku memeluk Sheila erat. “Yeay! Sheila memang baik!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN