bab 114

1465 Kata
“Gini aja cukup? Nggak aneh kan?” Gumam Novan sambil memperhatikan layar smartphone lamat- lamat. Entah kenapa dia merasa isi chat itu agak aneh. “Ah, nggak apalah! Buat apa di pikirin, kan yang penting aku udah bilang makasih! Udah kirim aja!” Novan langsung mengirim chat itu dan menaruh smartphone di meja. Ia kembali mengerjakan tugasnya. Tak lupa ia membuat kopi agar tidak kantuk. Akhirnya tugasnya selesai saat jam menunjukkan pukul 1 dini hari. Ia merapikan tugasnya dan menaruhnya di map. Besok akan dia jilid di fotocopy dekat sekolah. Ia kembali menyalakan smartphone yang tadi di matikan dan terbelak kaget saat melihat notifikasi yang masuk. Kirana membalas chatnya. Buru- buru ia membuka notifikasi tersebut. Kirana Larasati Novan Andriansyah Kir. Makasih ya. Selamat malam. Kirana Larasati Hah? Iya, masama. Makasih buat apa ya tapi? Ah, selamat malam juga. Novan menepuk jidatnya. Tuhan, ternyata Kirana tidak menangkap yang ia maksud. Padahal Novan hanya ingin percakapan ini satu arah, tidak perlu di balas juga tidak apa. Yah, harus dia jelaskan biar tidak ada salah paham di sini. Novan Andriansyah Itu, untuk fd tadi, juga untuk tasnya. Makasih. Kirana Larasati Oh, yang resleting tasnya nyangkut tadi ya? Oalah, iya iya. Gak apa, santai aja. Biasa itu mah. Bilang sama temenmu, lain kali fd tuh di kasih gantungan gede biar gak gampang ilang. Novan Andriansyah Iya. Malam. “Nih anak cepat amat balasnya. Jam segini belum tidur?” Gumam Novan. Ia mengedikkan bahunya. “Yah, terserahlah ya, yang penting udah nggak salah paham lagi. Oh ya, kabarin yang lain.” Novan Andriansyah Tor, aku udah kerjain ya tugasnya. Udah aku edit sikit. Udah aku print juga. Tinggal jilid aja besok. Udah beres pokoknya. Toro Oh, oke. Makasih ya Van. Nanti bilang aja berapanya ya habisnya, biar nanti kami ganti. Novan Andriansyah Print aman, aku print di rumah, jilid aja, kalo gak mahal kali nggak usah. Novan mematikan smartphone. Ia sudah tidak kuat untuk streaming video seperti yang basa ia lakukan. Matanya sudah tidak kuat lagi. Ia memilih untuk tidur. **** Bel masuk berdering. Pelajaran pertama, pelajaran Biologi dengan bu Frida. Sepertinya pagi ini anak laki- laki akan merasa sangat segar. Bu Frida penyejuk pemandangan bagi mereka, karena kecantikan beliau yang sangat paripurna. Apalagi beliau sosok yang amat lemah lembut dan sangat jarang marah, membuat mereka makin semangat. Apalagi jika sudah sampai di bab ‘Reproduksi’, kayaknya fantasi mereka mulai berjalan. Memang dasar laki- laki. Tapi ya jujur saja, belajar dengan bu Frida ini asyik. Cara beliau mengajar dengan berbagai macam metodenya yang unik, membuat kami semakin paham. Mungkin beliau mengerti cara belajar yang asyik karena umur beliau yang tak beda jauh dari kami, jadi masih pahamlah seperti apa anak muda itu. Beliau masih muda, cantik, pintar, dan single. Tidak hanya incaran para murid, tapi juga para guru muda dan tua yang sering kali lupa kalau sudah punya istri di rumah. “Selamat pagi anak- anak,”sapa bu Frida ramah. “Pagi buk,”sapa kami balik. Bu Frida menaruh tab di meja dan memperhatikan sekeliling. “Sebelum pelajaran di mulai, ada pengumuman yang mau di sampaikan oleh pak Deno,”ujar bu Frida. “Silakan pak Deno.” Bu Frida mempersilahkan. Pak Deno yang sedaritadi menunggu di depan pintu pun masuk, di ikuti oleh seorang anak di belakangnya. Sepertinya anak baru. Tampangnya tampak asing sih. “Selamat pagi anak- anak,”sapa pak Deno. “Pagi pak Deno,”sapa kami balik. “Bapak hanya sebentar saja sita waktu kalian dengan bu Frida. Bapak ada sedikit pengumuman, kalau hari ini kalian kedatangan teman baru. Sini nak, perkenalkan dirimu,”pinta pak Deno pada anak di sebelahnya. Anak itu sedikit menyibak rambutnya yang agak panjang. Ah iya, sekolahku membebaskan bentuk rambut siswanya, asal itu tidak menganggu proses belajar. Kalau si anak nakal, baru dapat hukuman cukur pitak. Anak perempuan terpesona melihat sosok anak baru ini. Lumayan juga ternyata. “Ganteng ya anaknya,”bisik Sheila. “Lumayan,”balasku. Tidak ada di dunia ini cowok yang benar- benar ganteng di dunia ini. Semuanya tampak sama saja, hanya ada sedikit lebih di beberapa orang. Seperti di si anak baru ini. “Namaku Bayani Janari Dakara. Biasa di panggil Kara. Saya pindahan dari luar pulau.” Anak baru itu memperkenalkan diri. Hum, namanya lumayan unik juga. “Kara? Santan Kara?”Celetuk Ardi, anak bandel di kelas yang menjadi gelak tawa seisi kelas. Pak Deno menatapnya tajam. “Nah Kara, kamu silakan duduk di bangku yang kosong ya,”pinta pak Deno. Anak baru yang bernama Kara itu mengangguk. Bangku yang kosong hanya ada di bagian belakang. Ia berjalan ke bangku kosong yang tepat berada di belakangku. Aku sedikit terkaget. Ada 3 bangku kosong di belakang, kenapa dia memilih untuk duduk di situ? Beberapa pasang mata anak perempuan di kelas menatapku dengan tatapan iri. Aku tidak suka di tatap seperti itu. Sheila juga menatapku dengan tatapan yang sama. “Sudah sudah, nanti saja kalian kenalan, waktu jam istirahat. Kalian lanjutkan lagi belajarnya,”perintah pak Deno. “Seperti biasa, anda cantik sekali hari ini,”goda pak Deno. Bu Frida hanya tersenyum tipis. Sekelas menyoraki pak Deno. Pak Deno adalah salah satu dari sekian banyak guru laki- laki yang masih lajang di sekolah yang mengincar bu Frida. Pak Deno masih melajang meski usianya sudah tak bisa di mulai muda lagi, hampir menginjak kepala 4. “Diam kalian”perintah pak Deno. Kupingnya sedikit memerah. Kami sekelas semakin menyorakinya. “Saya pamit dulu, maaf menyita waktu anda bu Frida yang cantik,”pamit pak Deno. Sorak sorai semakin gaduh. Bener deh pak Deno ini. “Sudah sudah, jangan ribut,”perintah bu Frida. Sorak sorai tadi diam tidak terdengar lagi, menyisakan cekikian kecil di berbagai penjuru. Bu Frida membuka tabletnya. “Oh ya, nak Kara, kamu sudah dapat kan bahan ajar hari ini di tablet kamu?”Tanya bu Frida. “Saya gak ada tablet bu,”jawab Kara si anak baru. Satu kelas menatapnya dengan tatapan tak yakin. Hah? Jaman sekarang sekolah gaada tablet? Gimana mau belajarnya? Bu Frida terdiam sesaat. “Hem, ya sudah. Kalau begitu kamu lihat materi hari ini dengan Althea saja ya. Bisa kan Teh?”Tanya bu Frida. “Loh? Saya bu?”Tanyaku lagi. Bu Frida mengangguk. “Sebentar saja. Tapi kamu besok kamu harus bawa tablet sendiri ya Kara?”pinta bu Frida. Kara mengangguk. “Udah, kamu pindah dulu ke samping Althea,”perintah bu Frida sekali lagi. Kara menarik kursinya ke sebelahku. “Oke baik, kita pergi ke halaman 113 …” Bu Frida menjelaskan pelajaran di kelas. Hologram 3D menampilkan sosok katak yang sedang mengeluarkan telur- telurnya. Aku melirik Kara. Jujur, dia memang ganteng. Oke, dia masuk ke manusia yang lumayan ganteng versiku. “Bisa kamu geserin sedikit tabletnya? Aku kurang kelihatan,”pinta Kara. Aku menggeser sedikit tablet ke arahnya. Ia mangut- mangut memperhatikan tablet, lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Aku sedikit terkejut saat ia mengeluarkan sebuah buku tulis dan juga perlengkapan menulis yang lain. Ia mulai membuka buku dan mencatat beberapa hal. Aku melongo melihatnya. “Hei,”panggilku. Kara melirik sesaat, lalu lanjut menulis. “Hei, kamu orang miskin ya?”Tanyaku. Kara memberhentikan proses menulisnya. Ia menaruh alat tulisnya itu dan menatapku tajam. “Maksud kamu apa?”Tanyanya ketus. “Chill, man. Biasanya yang masih nulis pakai buku begitu, hanya orang miskin. Ini jaman modern bung, semuanya juga pada pakai tablet. Bahkan bayi sekalipun,”jawabku. Kara menatapku intens dan tajam, lalu kembali menulis. “Pertama, tabletku rusak dan sedang di perbaiki. Kedua, aku mungkin tak sekaya kamu, tapi aku tidak semiskin yang kamu pikirkan. Hentikan pemikiran kolotmu itu, dasar orang sok modern,”jawab Kara ketus. Aku membanting meja pelan. “Apa maksudmu hah?!”Tanyaku tak kalah ketus. “Kenapa ini Althea? Kara?”Tanya bu Frida yang entah bagaimana sudah berdiri di dekat mejaku. Beliau melirik Kara. “Kamu lagi ngapain nak Kara?”Tanya bu Frida sambil memperhatikan buku Kara. “Catat materi yang ibu ajarin,”jawab Kara. Bu Frida mengambil buku catatan Kara dan membolak- balik setiap halaman. Aku tersenyum sinis. Kayaknya dia bakal kena omel bu Frida. Walau tak pernah marah, tapi kalau bu Frida mengomel sih bakalan panjang banget. Meski itu terdengar lemah lembut. “Hem, bagus bagus. Saya udah jarang liat anak- anak jaman sekarang nulis di buku,”gumam bu Frida. “Dan ini bagus. Nulis kembali materi yang di jelaskan di buku itu cara yang bagus untuk mengingat materi,”lanjut bu Frida. “Kalian bisa mencontoh cara teman kalian ini. Meski ini metode lama, tapi ini gak boleh di tinggalkan.” Bu Frida menaruh kembali buku catatan Kara di meja. Kara menatapku dengan tatapan remeh. “Lihat? Cara orang miskin bisa dapat pujian,”ujarnya begitu bu Frida pergi meninggalkan kami. Sialan! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN