Bab 113

1067 Kata
Novan berhenti berlari. Napasnya terengah- engah. Ia melirik ke belakang sekilas. Ia sudah keluar dari lingkungan sekolah dan di depan sana tampak halte yang tampak sepi. “Mana nih HP …” Novan mengesampingkan tasnya. Ternyata tasnya belum ia kancing dengan sempurna, masih terbuka sedikit di ujungnya. Ia membuka tasnya dan mengecek setiap barang. Ia menghela napas lega saat semua barangnya masih ada, terutama smartphone. Smartphone bergetar dan menampilkan nama Stevan di layar. “Ya, ha ….” “Heh! Kamu dimana hah? Masih belum selesai juga rapatnya jam segini?!” Gerutu Stevan di ujung sana. “Kamu dimana?” “Aku udah di depan gerbang, tapi gerbangnya nampak terkunci. Kalian terkunci di dalam atau gimana sih? Mana nggak ada satpam lagi …” Gerutu Stevan. “Oh, aku di halte nih. Halte biasa ….” Stevan berdecak kesal. “Yaelah elu mah. Udah di bilangin, tunggu aja di sekolah. Ya udah, tetap di sana. Aku gerak ke sana nih. Jangan pulang duluan!” Stevan mematikan telpon. Novan mengantongi smartphone di celananya. Ia kancing resleting tas dengan rapat. Syukurlah tadi Kirana memperbaikinya. Tapi ia belum mengucapkan terima kasih padanya. “Kenapa pula aku kabur tadi ya?” Gumam Novan pelan. Ia menghela napas panjang. “Nanti chat aja deh.” Ya, itu satu- satunya cara terbaik, karena dia masih tidak bisa dekat dengan perempuan. Sebenarnya dia capek dengan dirinya yang seperti ini dan terus bertanya kapan ia bisa sedikit lebih terbuka dan normal layaknya yang lain. Kalau di tanya, kenapa dia bisa sampai bisa seperti ini, dia juga akan bingung menjawabnya. Mungkin trauma masa lalu, tapi ia tidak merasa seperti itu. Jadi karena apa? Muncul dengan tiba- tiba? Ah, tidak mungkin. Pasti ada penyebabnya yang masih belum dia tahu. “Woi!” Seseorang menepuk pelan pundak Novan. Ia tersentak kaget. “Bengong mulu lu! Awas tuh, nanti malah di hipnotis sama orang!” Ujar Stevan. “Lah, kapan sampainya Van?” Tanya Novan. “Baru aja. Tadi lu udah di klakson, tapi nggak ngeh juga. Ayo masuk. Kita pulang,” perintah Stevan. Novan mengangguk. Mereka masuk ke dalam mobil bersama. **** “Udah makan belum? Mau makan dulu nggak?” Stevan menawarkan. Novan menggeleng. “Nggak usah, kita langsung pulang aja,” tolak Novan. Stevan melirik dan mengernyitkan alisnya heran. “Yakin nih nggak mau makan dulu? Ada tempat enak loh sekitar sini,” bujuk Stevan lagi. Novan menggeleng. “Nggak, pulang aja deh,” tolak Novan lagi. “Ya udah kalau nggak mau makan di tempat. Nanti di bungkus aja gimana?” Stevan kembali menawarkan. “Nggak usah, pulang aja. Ngerepotin kamu nanti, papa juga bakalan banyak nanya kalau aku bawa makanan dari luar,” jelas Novan. Stevan berdecak. “Yaelah bapakmu itu. Padahal kan bukan bawa pulang racun toh, curigaan amat,” gerutu Stevan. Novan mendengus geli. “Bukan gitu. Kalau aku bawa pulang makanan dari luar, nanti beliau ngira aku boros gitu,” jelas Novan. “Yaelah, padahal kan belinya nggak pakai uang jajan dari dia kan, tapi pakai uang kamu sendiri,” timpal Stevan. Novan mendengus. “Dunia kebalik kalau dia kasih uang jajan selain hari lebaran,” gumam Novan. Ia mendengus geli. “Itu mah bukan uang jajan, tapi THR. Beda,” sahut Stevan. “Yah, tapi menurut dia mah sama aja.” Stevan geleng- geleng kepala. “Emang agak aneh abangku yang satu itu. Eh, bukan agak sih. Aneh banget malah. Tapi sekali di kasihnya lumayan banyak gak tuh? Kan sekali doang gitu di kasihnya.” Novan mengedikkan bahunya. “Yah, meski lumayan, tapi di kasihnya kan cuma setahun sekali. Kadang ada pengeluaran yang tak terduga, jadi ya bisa di perkirakan, jauh sebelum lebaran selanjutnya sih udah habis,” jawab Novan. “Tuh alasan kasih begitu biar apaan dah?” “Biar hemat, katanya. Biar pintar ngatur uang, gitu.” Stevan mendengus. “Itu mah bukan biar hemat, tapi emang pelit aja. Kamu kalau ada kurang uang jajan, bilang aja. Selama ada, aku bakalan kasih kok.” Stevan meliriknya tajam. “Dan jangan coba lagi buka joki kayak kemarin. Cukup sekali itu aja, ngerti?” Novan menelan ludah dan mengangguk pelan. “Iya, nggak kok. Sama tugas sendiri aja udah kewalahan,” gumam Novan. “Oh ya, tugas kamu katanya kemarin di revisi ya? Gimana? Udah selesai revisinya?” Tanya Stevan. Ia tertawa kecil. “Aku nggak ngerti dah, kalian kayaknya terlalu rajin atau terlalu semangat jadi buat sebanyak itu.” Novan mengerlingkan matanya. “Tanya tuh sama yang bagi tugas, mau terlalu perfect malah jadi berlebihan gitu.” Novan mendengus kesal. “Malah kena s**l lagi. Udah capek di revisi, malah hilang pula tuh flashdisk.” “Hah? Flashdisk siapa hilang?” Tanya Stevan kaget. “Punya temanku. Tapi udah ketemu sih, untungnya,” jawab Novan. Ah, dia baru ingat kalau Kirana yang bantu menemukan flash disk itu. Ya, sepertinya dia memang harus chat Kirana nanti. “Untung ketemu. Teledor banget sih yang pegang flashdisk. Bisa- bisanya hilang,” komentar Stevan. Novan melirik Stevan dengan ujung matanya. “Ya, sori ya. Emang akunya teledor,” ujar Novan. “Oh, kamu yang hilangin toh. Dasar. Lain kali hati- hati dah.” Novan mengangguk. “Iya dah iya.” “Masih kamu pegang flashdisknya?” Novan menggeleng. “Enggak, udah temanku yang pegang. Dia takut kalau aku pegang malah bakal beneran ilang, katanya. Jadi dia kirim tugasnya lewat e-mail biar nanti aku print aja.” Stevan mangut- mangut. “Aku kalau jadi temanmu mah, nggak akan pernah lagi kasih pinjem tuh flashdisk ke siapapun.” “Yah, aku juga sih.” “Ya udah, berarti sekarang pulang aja nih? Nggak mampir beli makanan gitu?” Novan menggeleng. “Nggak, nggak usah. Pulang aja, tuh tugas belum aku print.” “Oh, oke.” ***** Novan tiba di rumah saat hari hampir menjelang magrib. Suasana rumah agak sepi hari ini karena papa, ibu, dan Mikel pergi berkunjung ke acara teman papa. Stevan sempat di ajak, tapi ia menolak. Daripada harus pergi ke acara orangtua, mending dia di rumah saja sambil mengerjakan tugas. Novan sibuk berkutat di meja belajar. Ia merengangkan badannya yang sedikit kaku karena terlalu lama duduk. “Ah, iya. Chat Kirana,” gumam Novan. Ia mengambil smartphone dan membuka aplikasi chat. Tapi harus chat gimana ya? Apa kudu basa basi dulu ya? Atau gimana? Hem, halah udahlah, yang singkat padat jelas aja. Kirana Larasati Novan Andriansyah Kir Makasih ya. Selamat malam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN